Indonesia akan Segera Kirim TKI PRT ke Arab Saudi
Jakarta – Pemerintah Indonesia akan segera mengirim pekerja migran Indonesia (PMI) atau tenaga kerja Indonesia (TKI) pekerja rumah tangga (PRT) ke beberapa kota di Arab Saudi. Rencana pengiriman TKI PRT ini tertuang dalam kesepakatan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi dengan sistem penempatan satu kanal (one channel) TKI PRT.
Penempatan satu kanal artinya TKI pekerja rumah tangga dikirim dengan jumlah terntu dan dalam waktu tertentu ke Arab Saudi.
Penandatanganan kerja sama yang dimaksud dilakukan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dengan Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi Ahmed bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi, di Jakarta, Kamis (11/10). Namun, sayang jumlah tertentu TKI yang akan dikirim dan waktu tertentu, tidak dijelaskan.
Pada Mei 2018, pihak Kemnaker sudah mengumumkan bahwa pemerintah akan segera mengirim TKI sektor pekerja rumah tangga ke kota-kota tertentu di Arab Saudi dan Qatar.
Pemerintah melalui Kemnaker menghentikan pengiriman TKI ke seluruh negara Timur Tengah sejak April 2015. Alasannya, negara-negara Timur Tengah (Timteng) belum mempunyai undang-undang yang melindungi pekerja asing. Selain itu TKI banyak mengalami masalah di negara-negara Timteng.
Menurut Hanif, kerja sama ini dalam rangka pembenahan tata kelola penempatan PMI, baik terkait perlindungan maupun peningkatan kesejahteraan. Penandatangan yang dilakukan kedua menteri dilanjutkan dengan penandatangan tehnical arrangement oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Marulli A. Hasoloan dan Wakil Sekretaris Hubungan Internasional Menteri Tenagakerja dan Pembangunan Sosial Saudi Arabia, Abdulaziz al Amr.
“Bagi Indonesia, kerja sama bilateral ini bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena banyak kasus yang menimpa PMI di Arab Saudi, seperti pelecehan, kekerasan, pelecehan seksual, gaji yang tidak dibayar, eksploitasi, ancaman hukuman mati yang mempengaruhi persepsi publik,” kata Hanif.
Oleh karenanya, Hanif berharap, kerja sama bilateral ini benar-benar meningkatkan mekanisme penempatan dan perlindungan PMI. “Kami optimistis, dengan berbagai perbaikan yang terintegrasi melalui satu sistem yang disepakati kedua negara menjadikan penempaan dan perlindungan PMI berjalan jauh lebih baik” ungkap Hanif.
Kerja sama ini bersifat uji coba secara terbatas, yakni dengan jumlah PMI tertentu, dilakukan evaluasi setiap tiga bulan, lokasi tertentu (Jeddah, Madinah, Riyadh, dan wilayah timur, yaitu Damam, Qobar, Dahran) dan jabatan tertentu seperti baby sitter, family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper.
Pada kesempatan tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi Ahmed bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi mengatakan, pihaknya berharap uji coba kerja sama ini akan berjalan dengan baik.
“Kerja sama ini dalam kerangka melindungi hak pekerja migran dan mengatur hubungan kerja antara majikan dan pekerja migran sesuai dengan hukum dan peraturan di kedua negara dan konvensi internasional,” ujarnya.
Setidaknya, ada 21 poin penting pada Sistem Penempatan Satu Kanal, yang pada kerja sama sebelumnya tidak diatur, dan menjadi titik lemah dalam perlindungan pekerja migran.
Poin baru tersebut antara lain, proses rekrutmen dan penempatan PMI melalui sistem online terintegrasi yang memungkinkan kedua pemerintah melakukan pengawasan, pemantauan dan evaluasi.
PMI tidak lagi bekerja dengan sistem kafalah (majikan perseorangan), melainkan sistem syarikah (perusahaan yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada pemerintah Arab Saudi). Sistem ini mempermudah PMI dan pemerintah Indonesia melakukan perlindungan.
Perjanjian kerja juga mengacu pada kontrak kerja yang telah ditetapkan berdasarkan prinsip kerja yang layak. Gaji dibayarkan melalui perbankan, sehingga pembayaran gaji dapat diawasi dan apabila terjadi keterlambatan pembayaran dapat segera terdeteksi.
Kedua negara sepakat membentuk Joint Committee yang bertugas mengawasi/mengevaluasi implementasi proses rekrutmen dan penempatan PMI di lapangan, termasuk terdapat call center khusus yang menangani masalah ketenagakerjaan dengan Bahasa Indonesia. PMI juga mendapatkan akses komunikasi dengan keluarga.
Hanif menjelaskan, SPSK tidak berarti mencabut Peraturan Menteri Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan ke kawasan Timur Tengah.
Sebaliknya, SPSK adalah kebijakan untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan penghentian dan pelarangan PMI ke Timur Tengah.
“Pengiriman PMI juga berdasarkan jabatan dan keahlian tertentu. Bukan sebagai pembntu rumah tangga yang mengerjakan semua pekerjaan domestik,” ujarnya. [DR]