PT Taspen Segera Akhiri Kelola Jaminan Kecelakaan Kerja
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam periode kedua pemerintahannnya harus lebih realistis dan obyektif untuk menjalankan jaminan sosial yaitu sesuai prinsip-prinsip sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Pemerintah harus lebih focus mendukung peningkatan kesejahteraan seluruh pekerja baik swasta maupun aparatur sipil negara (ASN) tanpa perbedaan manfaat, serta efisien dalam pembiayaan dari APBN.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch, Timboel Siregar, Senin (12/8) pagi.
Menurut Timboel, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK) dengan dana yang besar dan pengalaman puluhan tahun mengelola JKK dan JKm akan sangat mampu melaksanakan jaminan kecelakaan kerja dan kematian untuk seluruh pekerja. “Oleh karenanya BPJS Watch meminta pemerintah segera merevisi PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Selain itu, segera menggabungkan pengelolaan JKK dan JKm kepada BPJSTK,” kata dia.
Menurut Timboel, ada beberapa ketentuan direvisi di PP Nomor 44 Tahun 2015 yang manfaatnya meningkat, seperti fasilitas home care sebagi fasilitas baru, menaikkan nilai santunan kematian, santunan tidak mampu bekerja, biaya pemakaman, biaya transport, beasiswa termasuk anak yang mendapatkan dan jenjangnya hingga perguruan tinggi, serta biaya penggantian lainnya.
Dengan kemampuan dana kelolaan yang sudah mencapai Rp 32,5 triliun (JKK) dan Rp 11,8 triliun (JKm) maka kenaikan-kenaikan tersebut dengan mudah bisa dilakukan oleh BPJSTK.
Timboel mengatakan, tentunya tidak hanya dari sisi manfaat, dari sisi regulasi pun seharusnya yang mengelola program JKK dan JKm bagi ASN adalah BPJSTK, bukan PT Taspen. Bila membaca Pasal 5 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor109 Tahun 2013, Pasal 92 ayat (2) dan Pasal 106 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, sudah sangat jelas bahwa program JKK dan JKm dikelola oleh BPJSTK karena BPJSTK adalah institusi yang sesuai dengan seluruh prinsip sistem jaminan sosial nasional (SJSN) seperti nirlaba, gotong royong dan dana amanah.
“Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mewarning adanya inefisiensi sebesar Rp 775 miliar per tahun dari APBN dalam pelaksanaan program JKK dan JKm bagi ASN di PT Taspen, maka sudah seharusnya Program JKK dan JKm bagi ASN diserahkan ke BPJSTK,” tegas Timboel.
Timboel mengatakan, kehadiran program jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJSTK terus memberikan manfaat bagi pekerja di Tanah Air.
Khusus untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), jumlah peserta JKK dan JKm per 31 Desember 2018 sebanyak 30.555.414 pekerja, dengan total kasus kecelakaan kerja yang dijamin sepanjang tahun 2018 sebanyak 173.415 kasus dengan total pembayaran klaim sebesar Rp 1,22 triliun.
Kasus kematian yang dijamin selama 2018 sebanyak 25.883 kasus dengan total pembayaran manfaat kepada ahli waris sebesar Rp 710 miliar.
Di tahun 2019 ini, jumlah klaim JKK hingga 31 Juli 2019 tercatat ada 85.109 kasus kecelakaan kerja dengan total pembayaran jaminan sebesar Rp 704 miliar. Sementara untuk program JKm tercatat ada 14.496 kasus kematian peserta dengan total pembayaran manfaat sebesar Rp 397 miliar kepada ahi waris pekerja.
Ada pun total dana kelolaan program JKK dan JKm per 31 Juli 2019 tercatat sebesar Rp 32.5 triliun dan program JKm sebesar Rp 11,8 triliun. Dana kelolaan ini adalah dana amanah dan dana gotong royong dari seluruh pekerja yang menjadi peserta JKK dan JKm.
Semua manfaat JKK dan JKm yang diberikan kepada peserta dan ahli warisnya tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015. Mengacu pada Pasal 29 dan Pasal 36 PP Nomor 44 tahun 2015, besarnya iuran dan manfaat program JKK dan JKm bagi peserta dilakukan evaluasi secara berkala paling lama setiap dua tahun. Tentunya dengan dana kelolaan program JKK sebesar Rp 32.5 triliun dan program JKm sebesar Rp 11,8 triliun manfaat JKK dan JKm harus bisa ditingkatkan, tanpa harus dinaikkan iurannya.
Mengacu pada Pasal 29 dan Pasal 36 tersebut seharusnya pemerintah telah mengkaji manfaat JKK dan JKm pada tahun 2017 dan tahun 2019 ini dikaji lagi. “Namun ternyata hingga saat ini pemerintah belum juga pernah mengkaji manfaat JKK dan JKm, seperti yang diamanatkan dua pasal tersebut,” kata dia.
Timboel menyayangkan tindakan pemerintah yang sampai saat ini belum juga menyelesaikan pengkajian manfaat JKK dan JKm. Ini artinya pemerintah dengan sengaja menghalangi pekerja dan keluarganya mendapatkan kesejahteraan lebih dari program JKK dan JKm. Beberapa serikat pekerja/serikat buruh telah mengusulkan peningkatan manfaat JKK dan JKm tersebut sejak 2016 lalu dengan harapan di tahun 2017 lalu sudah ada peningkatan manfaat di program JKK dan Jkm.
BPJS Watch berusaha mencari tahu keberadaan draft revisi PP Nomor 44 Tahun 2015 tersebut. Berdasarkan investigasi BPJS Watch, draft revisi saat ini ada di kantor Menko PMK dan sedang menunggu untuk diparaf Menko PMK, Puan Maharani. Tentunya proses revisi yang lama ini dikontribusi oleh kementerian-kementerian yang memang sepertinya tidak senang dengan adanya revisi ini.
Timboel menduga kuat, terlambatnya proses revisi PP Nomor 44 Tahun 2015 khususnya tentang manfaat JKK dan JKm sarat dengan politisasi jaminan sosial oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan manfaat JKK dan JKm tidak dinaikkan. Ada pejabat yang kerap kali menyampaikan alasan kalau manfaat JKK dan JKm dinaikkan maka akan mengganggu keberlangsungan program JKK dan JKm ke depan.
Menurut Timboel, argumentasi tersebut tidak mendasar dan salah besar. “Saya duga lagi, alasan yang dikemukakan tersebut hanya untuk memposisikan manfaat JKK dan JKm yang diterima ASN lebih bih baik daripada manfaat JKK dan JKm bagi pekerja swasta yang diatur di PP Nomor 44 Tahun 2015,” kata dia.
Setelah membaca Surat Edaran Nomor SE – 2 /DIR/2018 tentang Petunjuk Teknis Kepesertaan, Pengajuan Permohonan Klaim, dan Pembayaran Manfaat Program JKK dan JKm bagi ASN dan Pejabat Negara sebagai regulasi operasional dari PP Nomor 70 Tahun 2015 junto PP Nomor 66 Tahun 2017 yang mengatur JKK dan JKm bagi ASN, ada beberapa isi dari surat edaran tersebut yang nilainya relatif lebih rendah dibandingkan ketentuan di PP Nomor 44 Tahun 2015.
Pertama, point G angka 1a tentang kriteria kecelakaan kerja mensyaratkan dengan ketat adanya perintah secara tertulis, yang diketentuan BPJSTK cukup dengan kronologi dan keterangan dari perusahaan.
Kedua, point G angka 2b tentang kriteria meninggal dunia dalam menjalankan tugas disyaratkan melalui jalan yang biasa dilalui dan wajar, tidak melanggar peraturan lalu lintas, dan bukan karena kesalahan/kelalaian yang bersangkutan. Diketentuan BPJSTK tidak mensyaratkan hal-hal tersebut sehingga memudahkan ahli waris peserta mendapatkan santunan.
Ketiga, point G angka 3a (3-5) tentang perawatan peserta yang mengalami kecelakaan kerja di faskes terdekat, namun bila tidak bisa di fasilitas kesehatan (faskes) terdekat dapat juga di faskes lainnya di seluruh Indonesia dengan biaya perawatan paling tinggi sama dengan biaya perawatan klas I pada RS pemerintah propinsi/kabupaten/kota dimana peserta dirawat.
Demikian juga peserta dapat dirawat di luar negeri tapi dibatasi biayanya sebatas tarif tertinggi klas I RSCM. Di BPJSTK tidak ada pembatasan biaya, semuanya disesuaikan dengan indikasi medis.
Keempat, point H angka 1j yang menyebutkan dalam hal peserta yang dirawat di faskes yang tidak bekerja sama dengan TASPEN dan BPJS Kesehatan maka seluruh biaya perwatan tidak ditanggung oleh PT. TASPEN. Kalau BPJSTK tetap menanggung seluruh biaya walaupun peserta dirawat di faskes yang tidak kerjasama dengan BPJSTK.
Kelima, point H angka 2 tentang pembayaran santunan ke ahli bagi peserta yang tewas dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tentunya proses tersebut cenderung lama dan birokratis. Hal ini beda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang di tingkat cabang pun bisa mengeksekusi pembayaran santuan ke ahli waris.
Keenam, bila membaca lampiran XI dari SE ini maka ada ketentuan Tarif TC tiap tipe RS untuk jenis kasus kecelakaan kerja. Ini artinya ada pembatasan biaya perawatan peserta yang mengalami kecelekaan kerja. BPJSTK membiayai seluruh proses perawatan hingga sembuh tanpa ada pembatasan biaya.
Dengan fakta di atas seharusnya Program JKK dan JKm bagi ASN dikelola oleh BPJSTK sehingga ASN bisa lebih mudah mengakses pelayanan dan pembiayaan serta santunan bila mengalami kecelakaan kerja atau kematian.[TVP/Edi Hardum]