November 24, 2024

Tenaga Kerja Berkualitas Modal Utama Kemajuan Ekonomi

0

Edi Hardum

SEBUAH negara dikatakan maju kalau ekonominya bagus. Ekonomi negara bagus maka rakyat sejahtera, serta keberadaan negara yang bersangkutan sangat diperhitungan oleh negara-negara lain.

Modal utama ekonomi sebuah negara bagus adalah sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja yang berkualitas. Banyak negara yang secara sumber daya alam (SDA) kurang memadai bahkan tidak ada namun karena SDA berkualitas maka negara maju. Contoh Singapura, Israel, Brunei, dan sebagainya.

Indonesia mempunyai SDA melimpah, namun ekonominya berada di bawah negara-negara lain yang secara SDA rendah. Salah satu sebabnya adalah daya saing dan produktivitas tenaga kerja Indonesia rendah.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro menyebutkan, kualitas SDM Indonesia lebih rendah dibanding negara tetangganya di ASEAN seperti Malaysia, Thailand hingga Filipina.

Daya saing SDM Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya peringkat 65 dari 130 negara dengan skor 69,12. Indonesia tertinggal dengan Malaysia di peringkat 33, Vietnam 64, Thailand 40, dan Filipina 50.

World Economic Forum (WEF), pada 17 Oktober 2018, merilis indeks daya saing global tahun 2018 dalam laporan bertajuk Global Competitiveness Report.

Di dalam laporan tersebut, peringkat daya saing Indonesia naik dua peringkat ke peringkat 45 dari 140 negara.

Dari peringkat ini, Indonesia kalah jauh dibandingkan Singapura, yang berada pada peringkat pertama dalam indeks daya saing global.

Singapura mencatat skor sangat baik untuk beberapa pilar, antara lain institusi (skor 80,7), infrastruktur (95,7), stabilitas makroekonomi (92,6), sistem keuangan (89,3), dan kesehatan (100).

Selain itu, Malaysia dan Thailand juga lebih unggul dibanding Indonesia. Malaysia berada pada peringkat 25, sementara Thailand berada pada peringkat 38. Malaysia mencatat skor sangat baik dalam sejumlah pilar, yakni stabilitas makroekonomi (100), sistem keuangan (84,1), pilar kesehatan (82,6).

Sedangkan Thailand mencatat skor sangat baik dalam pilar stabilitas makroekonomi (89,9). Thailand juga unggul dalam pilar sistem keuangan (84,2) dan kesehatan (87,3).

Sementara Indonesia hanya unggul dari ketiga negara tersebut dalam satu pilar, yakni pangsa pasar dengan skor 81,6 atau peringkat 8 global. Hal ini sangat wajar karena penduduk Indonesia mencapai 262 juta jiwa. Indonesia juga mencatat skor yang cukup baik dalam pilar stabilitas makroekonomi, yakni 89,7. Dalam pilar ini, Indonesia berada pada peringkat 51 dunia.

Demikian juga dalam hal produktivitas tenaga kerja. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) 2016, menyebutkan bahwa produktivitas tenaga kerja Tanah Air masih lebih rendah dari rata-rata negara anggota Asian Productivity Organization (APO) atau Organisasi Produktivitas Asia.

Singapura memiliki tingkat produktivitas tertinggi di dunia pada tahun 2015, yaitu sekitar US$ 121,9, sementara Indonesia hanya sekitar US$ 21,9. Posisi Indonesia pada 2015, juga masih berada di bawah Malaysia dan Thailand bahkan Sri Lanka, dan di atas Filipina dan Vietnam.

Di Indonesia, produktivitas tertinggi terjadi di sektor pertambangan dan penggalian sekitar Rp 137, 2 juta per tenaga kerja per tahun, sedangkan terendah terjadi di sektor pertanian, sekitar Rp 8,7 juta pada 2013.

Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, awal Juli 2019, mengatakan, jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 129 juta orang. Dari total tersebut, 58% di antaranya merupakan lulusan SD dan SMP.

Hanif menjelaskan, sebagai perbandingan, dari 10 orang tenaga kerja, 6 di antaranya merupakan lulusan SD dan SMP. Selanjutnya dari sisanya, yaitu 4 orang yang lulusan SMA/SMK dan 2 dari perguruan tinggi yang di antaranya memiliki pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Permasalahan

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, SDM Indonesia kalah dibandingkan Vietnam karena masih lebarnya missmatch antara kebutuhan pasar tenaga kerja dengan lulusan perguruan tinggi. Ini terlihat dari tingginya pengangguran lulusan SMK maupun perguruan tinggi, masing-masing 8,64% dan 6,24% per Februari 2019. Sementara rata-rata pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 5,01%.

Jika ditelusuri lebih jauh, kata Bhima ada permasalahan dari efektivitas institusi pendidikan dalam menyiapkan SDM yang siap kerja. Di mana, kurikulum belum adaptif terhadap perkembangan dunia usaha yang bergerak cepat, kemudian tenaga pengajar kualitasnya belum merata.

Masalah lain, sambungnya ada di efektivitas dana pendidikan yang besarnya mencapai 20% dari APBN. Tiap tahun pemerintah sudah alokasikan Rp 400 triliun lebih untuk mendorong pendidikan yang lebih berkualitas, tapi habis untuk belanja operasional. Sementara Vietnam yang sama-sama alokasikan belanja pendidikan 20% dari APBN, menghasilkan kualitas SDM yang jauh diatas Indonesia.

Sementara Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar, mengatakan, rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia selama ini disebabkan, pertama, selama ini pemerintah dan pengusaha hanya bangga dengan industri padat kaya yang hanya diisi tenaga kerja dengan upah murah dan berpendidikan rendah.

Kedua, keberadaan BLK-BLK baik yang dikelola pemerintah daerah maupun yang dikelola pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan hanya untuk bancakan proyek, yang mendatangkan uang untuk oknum-oknum. “Penunjukan Kepala BLK selama ini juga tidak terlepas dari tujuan proyek pimpinan di atasnya. Jadi BLK ya tidak serius untuk mencetak tenaga kerja terampil,” kata dia.

Ketiga, pendidikan vokasi seperti SMK selama ini sungguh tidak link and match dengan dunia kerja. Menurut Timboel, akibat dari semua itu adalah produktivitas tenaga kerja Indonesia rendah, daya saing juga rendah.

Solusi

Menurut Hanif Dhakiri sektor pendidikan masih harus digenjot karena sampai saat ini rerata pendidikan Indonesia hanya 8,8 tahun. Pemerintah masih terus kerja keras mengajak masyarakat dan dunia usaha untuk menggenjot pendidikan vokasi agar kualitas SDM makin baik.

Hanif Dhakiri mengatakan, untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, dilakukan, pertama, penggalakan pendidikan vokasi yang link and match dengan perusahaan. Kedua, dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan di seluruh BLK baik yang dikelola pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun BLK yang dikelola pihak swasta.

Menurut Timboel, kalau pemerintahan Jokowi serius membangun SDM yang berkualitas maka, pertama, tingkatkan anggaran untuk cetak SDM. Kedua, pilih orang profesional untuk menjadi menteri ketenagakerjaan. “Jangan orang dari Partai Politik (Parpol), nanti lebih banyak main proyek untuk kepentingan Parpolnya,” kata dia.

Ketiga, awasi sekolah-sekolah vokasi yang dibangun. “Ingat pengangguran tertinggi selama ini justru lulusan pendidikan vokasi. Ini aneh,” kata dia.

Menurut Bhima Yudhistira untuk membenahi masalah-masaalah di atas, maka sebagai solusi ada lima yang bisa dilakukan. Pertama, kerja sama yang lebih intens antara perguruan tinggi, sekolah vokasi dengan dunia usaha. “Ini bisa dimulai dari program pemagangan dan sharing expertise, pelaku usaha mengajar di sekolah vokasi,” ujar ia.

Kedua, mendorong insentif fiskal dan non fiskal untuk menggerakan kerjasama pelaku usaha dan sekolah vokasi. Ketiga, perkuat pengawasan dana pendidikan, yang mana KPK perlu dilibatkan di awal penganggaran untuk kurangi prilaku korup oknum di level pemerintah pusat maupun daerah.

Sementara itu, Ekonom Universitas Surakarta R Agus Trihatmoko mengatakan, dalam konteks bisnis korporasi, dirinya tidak sependapat bahwa daya saing SDM Indonesia kalah dengan negara lain. Banyak korporasi swasta nasional dan multinasional dipimpin oleh orang lokal Indonesia.

Secara umum bahwa kualitas SDM Indonesia tidaklah seburuk seperti yang sering menjadi perdebatan publik. Bahkan, kultural masyarakat Indonesia dapat diyakini sebagai orang yang ulet dan gigih sejak zaman perang kemerdekaan.

Sementara Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menuturkan, produktivitas dari SDM merupakan hal penting yang akan selalu diharapkan dari pengusaha. Untuk itu, pada ulang tahun ke-51 Kadin akan kembali mengangkat SDM sebagai isu utamanya. “SDM adalah hal penting yang selalu kita angkat. Jadi, nanti akan kami pertajam dan kami fokuskan di bidang yang bisa cepat ada dampaknya ke perekonomian,” ujarnya.

Rosan mengaku, upaya meningkatkan kualitas SDM membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Semua harus dilakukan secara masif dan tersrtuktur.

Menurut Rosan, salah satu solusi yang harus dilakukan adalah revolusi mental. Konsep pembangunan SDM yang sudah dilakukan Presiden Joko Widodo ini tepat mengatasi permasalahan kemunduran intelektual.

Solusi lain adalah melalui program vokasi. Pelatihan dalam pendidikan vokasi kini bergerak masif dan dijalankan pemerintah secara gencar termasuk Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Bahkan, dana Rp 480 triliun telah disiapkan dalam APBN untuk aplikasi vokasi ini.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menilai, pendidikan di Indonesia lebih banyak menerapkan ilmu murni, bahkan dari jumlh 4.000 perguruan tinggi hanya 40% diantaranya yang sifatnya aplikasi. Sehingga, Indonesia kekurangan tenaga kerja yang siap pakai dan seringkali tidak sesuai dengan bidangnya. Padahal, dunia usaha di negara manapun tengah membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. “Ke depan yang sifatnya ilmu terapan harus diperbesar kapasitasnya. Kalau mau jadi negara industri, pemerintah harus benahi mutu pendidikannya,” katanya.

Hariyadi menambahkan, pendidikan harus ditata kembali supaya sinkron dengan kebutuhan dunia usaha. Tenaga terampil di Indonesia, tidak banyak ditemui padahal Indonesia punya potensi besar untuk menjadi negara industri.

Sambung Hariyadi, kekurangan jumlah tenaga kerja yang mumpuni menjadi faktor industri pada karya tak berkembang optimal. Ambil contoh di industri tekstil dan produknya, Indonesia sekarang kalah dibanding Vietnam. Hal itu bisa dilihat dari ekspornya, di 2005 ekspor Indonesia capai US$ 8,6 miliar sedangkan Vietnam hanya US$ 5,3 miliar, namun di 2014 ekspor Vietnam melambung hingga US$ 26 miliar sementara Indonesia US$ 12,7 miliar. [SP/Lona Olivia dan Edi Hardum]

Tabel

Daya Saing Global (WEF 17 Oktober 2018, dari 140 negara di Dunia)

1. Singapura peringkat 1

– Institusi (skor 80,7)

– Infrastruktur (95,7)

– Stabilitas makroekonomi (92,6)

– Sistem keuangan (89,3)

– Dan kesehatan (100).

2. Malaysia peringat 25

– Stabilitas Makroekonomi (100)

– Sistem Keuangan (84,1)

– Pilar Kesehatan (82,6).

3. Thailand peringkat 38

– Stabilitas Makroekonomi (89,9)

– Sistem Keuangan (84,2)

– Dan Kesehatan (87,3).

2. Indonesia peringkat 45

– Pangsa Pasar dengan skor 81,6 atau peringkat 8 global.

– Stabilitas Makroekonomi 89,7.

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *