November 22, 2024

Sengketa Tanah di Rangkapan Jaya, Pemilik Tanah Minta Hakim Pakai Hati Nurani

0

Nyonya FX.Mulwanto (78 tahun), di tengah, bersama ibu-ibu lainnya sebagai penggugat dalam kasus tanah Kavling Deplu di Rangkapan Jaya, Depok, Jawa Barat, di sela-sela mengikuti sidang lokasi kasus sengketa tanah tersebut, Jumat (13/9/2019).

Jakarta, Topvoxpopuli.com [TVP] Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok (PN) diminta memutuskan perkara dengan adil. Putusan perkara dengan adil pasti menggunakan hati nurani.

Demikian dikatakan para penggugat dalam kasus sengketa tanah yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat, dalam sidang lapangan atau lokasi Jumat (13/9/2019). Sidang Depok dalam kasus itu yang dipimpin hakim Ramon Wahyudi, S.H.MH.

Para penggugat dalam perkara ini adalah 46 ahli waris Pegawai Negeri Sipil Kementerian Luar Negeri, diantaranya, Betsy Sujanto dan Tony Hartono, dkk.

Para penggugat menggugat Muchdan Bakrie yang merupakan ahli waris almarhum HMT Bakrie (Tergugat I), Koperasi Pegawai dan Pensiunan Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo-tergugat II), Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Cq. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Cq. Kantor Pertanahan Kota Depok (turut tergugat I), Gubernur Jawa Barat (turut tergugat II), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Cq. Pejabat Pembuat Komitmen (P2K) Pengadaan Tanah Jalan Tol Depok – Antasari (turut Tergugat III).

Hahalongan Simbolon, salah satu penggugat mengatakan, ia dan semua penggugat sangat berharap kepada hati nurani hakim. “Argumentasi hukum kami sudah jelas sebagaimana disampaikan kuasa hukum kami. Semoga majelis hakim benar-benar membaca dan memperhatikan argumentasi kami,” kata pensiunan diplomat RI ini.

“Tanah ini jiwa suami saya. Kami memiliki tanah ini sebagai bukti kami telah berbakti kepada bangsa dan negara Indonesia”, kata  Nyonya FX.Mulwanto (78 tahun)  di sela-sela mengikuti sidang lokasi kasus sengketa tanah  tersebut.

FX.Mulwanto sepanjang usia kerjanya bekerja sebagai diplomat Republik Indonesia yang bertugas di banyak negara (sering pindah). “Kami memiliki tanah tersebut atas pemberian negara, dan kami telah mempunyai alas hak atas tanah dengan sertifikat hak milik”, kata nenek tiga cucu ini.

Nyonya FX.Mulwanto berharap majelis hakim menerima gugatan mereka. “Kami berharap hakim memutus memakai hati nurani. Hakim harus adil”, kata ibu dua anak ini.

Senada dikatakan Abdul Latif Fakih (85 tahun). Kakek tiga cucu ini mantan diplomat RI. Ia mengaku heran tanahnya seluas 400 m2 itu tiba-tiba diklaim oran lain. “Saya mohon hati nurani hakim”, kata Abdul.

Sidang lapangan (lokasi) pagi hingga siang itu selain dihadiri para kuasa hukum masing-masing pihak juga dihadiri puluhan pemilik tanah itu serta ahli waris mereka.  Sebagian dari para penggugat yang hadir berusia sudah sepuh sekali seperti Nyonya FX.Mulwanto dan Abdul Latif Fakih. Mereka jalan pakai tongkat dan tertatih-tatih. Mereka melakukan itu berjuang untuk mempertahankan hak milik mereka.

Tergugat mengklaim tanah tersebut dengan dasar  dasar Girik C 1730, Persil 17 D.I seluas ± 12,9500 ha, yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.

Pada tahun 1971, ayah tergugat I (almarhum HMT. Bakrie) telah menerima tanahnya atas dasar Girik C 1730, Persil 17 D.I seluas ± 12,9500 ha, yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, namun kemudian tanah tersebut terkena ketentuan tanah guntai/absentee, yakni tanah guntai adalah tanah yang pemiliknya bukan dari daerah bersangkutan. Tanah ini dikenakan sebagai tanah guntai/absentee berdasarkan ketentuan pemerintah.

Para penggugat memiliki tanah tersebut dengan alas hak sertifikat hak milik. Namun, ke-111 sertifikat hak milik yang dimiliki penggugat dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pada sidang sebelumnya, pakar Hukum Pertanahan dari Universitas Pancasila Jakarta, B.F. Sihombing, mengatakan, sertifikat hak milik tidak bisa dibatalkan PTUN. Sebab keputusan PTUN bersifat administratif, yang tidak bisa membatalkan hak perdataan memiliki tanah. “Yang bisa membatalkan sertifikat hak atas tanah sebagai hak keperdataan adalah pengadilan negeri. Keputusan hakim-hakim yang disidangkan di Pengadilan Negeri,” tegas Sihombing.

Sihombing mengatakan,  tanah yang sudah terkena sebagai guntai/absentee otomatis giriknya dicoret dan tidak berlaku laku lagi sejak dicoret oleh pejabat terkait.

Sampai saat ini masing-masing kavling milik para penggugat tersebut telah ada Site Plannya dan sejak saat diperoleh hingga saat gugatan ini diajukan, fisik tanahnya masih dikuasai oleh para pengggugat.

Menurut Sihombing, tanah yang secara fisik dikuasai seseorang atau oleh satu pihak, maka siapa pun atau pihak lain tidak bisa menggugat ke PTUN.

“Menguasai secara fisik artinya menempati tanah itu dengan batas-batal masih jelas. Kalau pun tidak ditempati tapi di atas tanah yang dimaksud ada bukti kepemilikan seperti pohon yang ditanam, kuburan, bangunan serta batas-batal masih jelas,” kata dia.

Tarsisius Triyanto, salah satu kuasa hukum dari 46 orang yang merupakan ahli waris dan pensiunan PNS Deplu (Kemlu) yang bertindak sebagai penggugat dalam kasus ini mengatakan, sebelum tanah tersebut dimiliki oleh para penggugat, tanah tersebut merupakan tanah negara.

Dimana negara telah menguasai tanah yang terletak di Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Kabupaten Bogor atas dasar  Undang-Undang Pokok Agraria Nomo 5 Tahun 1960, L.N. Tahun 1960 Nomor 104 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Agraria tertanggal 8 Januari 1962 No.SK-VI/6/Ka dan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 tentang Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara absentee atau guntai.

Dimana tanah milik ayah tergugat I (Alm. HMT Bakrie) atas dasar Girik Nomor 1730, Persil 17 D.I seluas ± 12,9500 ha, yang terletak di Desa Rangkapanjaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Kabupaten Bogor telah terkena ketentuan tanah guntai/absentee tersebut karena amarhum ayah tergugat I bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah, sehingga tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara.

Berkaitan dengan tanah milik ayah tergugat I (almarhum HMT Bakrie) yang terkena ketentuan tanah guntai/absentee tersebut, berdasarkan arsip dokumen yang para penggugat miliki.

Ayah tergugat I (Alm. HMT. Bakrie), pada tahun 1963 bertempat tinggal di Jalan Hang Tuah Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta, telah mengetahui adanya ketentuan larangan pemilikan tanah absentee/guntai tersebut dan oleh petugas Panitia Land Reform tingkat Desa Rangkapan Jaya maupun tingkat kecamatan. Telah diberitahukan kepada ayah tergugat I (alm. HMT. Bakrie) baik dengan cara mendatangi secara langsung maupun dengan cara diundang.

Almarhum ayah tergugat I (almarhum H.M.T. Bakri) berdasarkan suratnya, tertanggal 16 September 1971 yang ditujukan kepada Kepala Agraria Kabupaten Bogor, telah menerima tanahnya letter C.1730 No. 123 seluas ± 12 ha terkena ketentuan Land Reform dan memohon agar kelebihan luas dari batas maximum dapat dimohonkan kembali untuk diberikan kepada anak-anaknya.

Terhadap tanah milik ayah tergugat I (alm. HMT. Bakrie), pihak pemerintah juga telah menawari ganti rugi kepada bekas pemilik yang ditetapkan berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang telah diusulkan pada tahun 1980 dan telah diperkuat dengan S. K. Dewan Pengurus Yayasan Dana Land Reform Pusat tahun 1981 sebesar Rp 647.500,- (Enam Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah).

Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang mengatur: “pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja, menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya, sebagai yang dimaksud Pasal 2 ayat 2 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,- sedang tanahnya diambil oleh pemerintah tanpa ganti kerugian”.

Tanah almarhum H.M.T. Bakri yang telah dikuasai oleh negara tersebut awalnya diredistribusikan dan diberikan hak milik kepada 78 (tujuh puluh delapan) orang penggarap berdasarkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Barat, tertanggal 16 Desember 1965 Nomor V/B/54/Insp/1965 dengan luas tanah ± 10,2201 ha. Sedangkan sisanya seluas ± 2,7299 Ha dipergunakan untuk sarana desa, poliklinik dan lapangan olahraga. [TVP/Edi Hardum]

 

 

 

 

 

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *