Jangan Karena Korona, Pemerintah Merusak Sistem Jaminan Sosial
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Rencana pemerintah untuk menghentikan pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan khususnya program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (Jkm) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJamsostek) dalam rangka merespons kasus korona harus ditolak. Pasalnya, rencana itu selain merugikan pekerja, juga melanggar hukum.
Hal ini ditegaskan Direktur Eksekutif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Timboel Siregar di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Kepala Humas BPJamsostek, Utoh Banjarsyah, mengatakan, pemerintah memang berencana untuk memberikan stimulus kepada dunia usaha berupa pembebasan sementara atau penundaan sementara iuran beberapa program jaminan sosial ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJamsostek, utama JKK dan Jkn. “Kami telah diundang hadir Kamis (12/3/2020) ke Kementerian Koordinator (Kemko) Perekonomian untuk membahas rencana tersebut,” kata Utoh.
Utoh mengatakan, dalam pertemuan tersebut pihaknya menyampaikan bahwa pada prinsipnya BPJamsostek mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan relaksasi keuangan bagi dunia usaha. “Namun pemberian stimulus ini harus dirumuskan dengan formulasi yang tepat agar tidak mempengaruhi manfaat kepada peserta, dan mengganggu keberlangsungan serta ketahanan dana program jaminan sosial ketenagakerjaan,” kata dia.
Pemberitan stimulus ini, kata Utoh, agar tidak mengganggu operasional dan pelayanan BPJamsostek kepada peserta. “Perlu juga dilakukan penyesuaian terhadap regulasi yang mengatur rencana kerja dan anggaran BPJamsostek,” kata dia.
Selain itu, kata Utoh, pemberian stimulus ini juga perlu diatur dalam ketentuan perundangan yang kuat agar tidak terjadi pelanggaran konstitusi.
Timboel mengatakan, sejumlah alasan rencana pemerintah tersebut harus ditolak. Pertama, rencana itu akan melanggar UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu Pasal 17 atay (1) yang menyatakan setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Pasal 30 yang mengamanatkan peserta jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran. Selanjutnya, Pasal 44 yang menyatakan, peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran. Ketentuan tentang kewajiban membayar iuran di UU SJSN ini diturunkan dalam PP Nomor 44 Tahun 2015 sebagaimana diubah PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (Jkm). “Dengan ketentuan di atas maka tanpa pembayaran iuran, tidak ada manfaat yang diberikan kepada peserta yaitu pekerja/buruh,” kata dia.
Kedua, selain melanggar UU SJSN, rencana pemerintah ini pun akan menggangu keberlangsungan program JKK dan JKm. Tanpa adanya iuran yang dibayarkan tetapi akan mendapatkan manfaat JKK dan JKm maka ketahanan dana JKK dan JKm akan semakin menurun. “Pemberian manfaat kepada buruh akan terancam,” kata dia.
Menurut Timboel, pendapatan iuran JKK berperan besar menopang keberlangsungan program dan mendukung pemberian manfaat yang sudah dinaikkan dalam PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas PP 44 tahun 2015 Penyelenggaraan Program JKK dan Jkm.
Iuran JKK di Tahun 2016 sebesar Rp 4,1 triliun, di 2017 sebesar Rp 4,64 triliun, di 2018 sebesar Rp 5,3 triliun, dan hingga September 2019 sebesar 4,17 triliun.
Penerimaan iuran ini digunakan untuk membayar klaim JKK yang terus meningkat nilainya tiap tahun, apalagi pasca diberlakukannya PP Nomor 82 Tahun 2019 dengan pemberian beasiswa kepada maksimal dua anak hingga perguruan tinggi, meningkatkan santunan kematian menjadi Rp 42 juta, adanya home care Rp 20 juta, dan sebagainya.
Klaim JKK di 2016 sebesar Rp 833,4 miliar, di 2017 sebesar Rp 971,62 miliar, di 2018 sebesar Rp 1,22 triliun, dan hingga akhir September 2019 sebesar Rp 1,09 triliun.
Menurut Timboel, bila iuran tidak ada dan BPJamsostek harus membayar manfaat untuk peserta maka biaya klaim JKK yang sudah di atas Rp 1 triliun tersebut akan mengurangi dana kelolaan JKK, dan pada akhirnya akan menurunkan ketahanan dana JKK untuk membayarkan manfaat JKK kepada peserta.
Demikian juga JKm, pastinya akan terganggu dana kelolaannya. Iuran JKm di 2016 sebesar Rp 1,83 triliun, di 2017 sebesar Rp 2,11 triliun, di 2018 sebesar Rp 2,48 triliun, dan akhir September 2019 sebesar Rp 2,04 triliun.
Sementara itu biaya klaim JKm pun terus meningkat, apalagi dengan hadirnya PP Nomor 82 Tahun 2019. Nilai klaim JKm di 2016 sebesar Rp 597,11 miliar, di 2017 sebesar Rp 614,93 miliar, di 2018 sebesar Rp 710,04 miliar, dan hingga akhir September 2019 sebesar 631,78 miliar.
Sama dengan JKK, bila iuran JKm dihapuskan maka pembayaran klaim JKm kepada peserta akan menurunkan dana kelolaan JKm, sehingga berpotensi mengancam keberlangsungan program Jkm.
Ketiga, rencana kebijakan pemerintah ini akan berpotensi merugikan APBN karena iuran JKK dan JKm yang berpotensi tiap tahun didapat sebesar Rp 8 triliun (JKK Rp 5,5 triliun dan JKm Rp 2,5 triliun) yang minimal 50%-nya akan dialokasikan di SBN (Surat Berharga Negara) sesuai Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2016, akan hilang karena tidak ada iuran yang masuk.
Menurut Timboel, BPJamsostek tidak akan menambah dana yang ditempatkan di SBN untuk mengatasi defisit APBN. Pinjaman luar negeri jadi mahal karena Indonesia sudah dianggap negara maju.
Timboel mengatakan, seharusnya, dalam kondisi saat ini, pemerintah harus memaksimalkan dana kelolaan dalam negeri untuk membantu APBN, bukan malah manghapuskan potensi penerimaa dari JKK dan Jkm.
Ia mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan lagi rencana ini, dan tentunya iuran JKK yang berkisar antara 0,24% hingga 1,74% dari upah dan iuran JKm yang sebesar 0,3% relatif masih mampu diiur oleh pengusaha Indonesia. Jangan hanya gara-gara satu dua pengusaha yang menunggak iuran dan mengatasnamakan wabah korona menjadi alasan untuk tidak mau bayar iuran JKK dan JKm maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan menghentikan pembayaran iuran JKK dan JKm.
Menurut Timboel, bila pemerintah merealisasikan kebijakan ini, maka pemerintah sudah menggangu keberlangsungan UU SJSN, yang sudah baik dirancang oleh Megawati Soekarnoputri waktu menjadi Presiden di 2004.
Timboel menegaskan, pemerintah jangan merusak jaminan sosial, tetapi pemrintah harus terus tingkatkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya mengimplementasikan program JKK dan JKm bagi rakyat miskin khususnya pekerja informal miskin. Pemerintah harus meninjau ulang pembayaran iuran JKm bagi ASN kepada PT Taspen yang nilai iurannya sebesar 0,72%, yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi inefisiensi berupa kemahalan bayar sedikitnya Rp 775 miliar per tahun.
Timboel menegaskan, bila dana Rp 775 miliar ini diberikan kepada pekerja informal miskin dalam skema penerima bantuan iuran (PBI), maka pemerintah sudah melindungi 3,8 juta pekerja miskin informal. “Kok uang dihamburkan untuk membayar lebih mahal kepada PT Taspen tetapi pekerja informal miskin dibiarkan tanpa dilindungi JKK dan JKm. UUD 1945 dan UU SJSN dengan sangat jelas mengamanatkan pekerja informal miskin berhak atas JKK dan JKm dengan skema PBI,” kata dia. [TVP/RH]