Mengapa Tolak Pabrik Semen di Luwuk, Manggarai Timur ?
Oleh: Flory Santosa Nggagur
Ketua Ikatan Keluarga Manggarai Bandung
PADA tanggal 28 April 2020 Willy Gracias menulis di media ini mengenai tambang secara umum dengan judul “Tolak Tambang Versus Hasil Tambang”. Dari judul tulisan ini terang-benderang mewakili tesis bahwa kehidupan modern yang manusia nikmati saat ini tidak terlepas dari hasil tambang.
Setiap hari kita nonton TV, pegang HP, tinggal di rumah tembok, naik mobil, naik sepeda motor, naik pesawat terbang dan banyak lagi kemudahan dan kenikmatan lain yang sebagian besar diproduksi dari hasil tambang.
Melalui tesis ini penulis ingin menyampaikan pesan kepada kelompok yang menolak tambang bahwa kita perlu obyektif dan fair dalam melihat eksistensi tambang baik di Flores maupun di belahan dunia mana pun.
Secara prinsip tidak ada yang salah dengan perspektif penulis mengenai tambang. Tetapi, pendapat tersebut hanyalah salah satu perspektif dari banyak perspektif bagaimana kita melihat manfaat kehadiran sebuah tambang dalam satu lingkungan (alam) dan komunitas (manusia) serta bagaimana tambang tersebut dikelola (teknologi).
Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan perspektif lain, bagaimana kita melihat dan memaknai kehadiran tambang khususnya pabrik semen di Luwuk, Manggarai Timur. Perspektif saya sebagai salah seorang yang menolak kehadiran pabrik semen tersebut.
Mengapa Tolak
Standing position saya jelas, bahwa saya tidak anti tambang karena banyak manfaat seperti yang disampaikan Willy Gracias dalam tulisannya. Kita mendukung tambang sepanjang dikelola dengan baik, ramah lingkungan dan tidak merugikan masyarakat pemilik lahan dan sekitar tambang baik dari segi ekonomi dan sosial budaya.
Tetapi dalam konteks tambang dan pabrik semen di Desa Luwuk, Manggarai Timur ini saya menolak karena tiga pertimbangan pokok yang saling berkaitan, yaitu aspek lingkungan, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi.
Aspek Lingkungan
Dalam banyak diskusi dengan kelompok yang pro maupun anti tambang, saya menyimpukan bahwa titik persimpangan selalu berada pada isu waste management termasuk dalam hal ini adalah isu reklamasi dan recovery lingkungan.
Kelompok yang pro tambang berpendapat bahwa tidak ada isu krusial berkaitan dengan aspek lingkungan karena perkembangan teknologi dalam bidang pertambangan dan tuntutan dunia sudah mengarah pada proses tambang yang ramah lingkungan yang dikenal dengan istilah “sustainable solid waste management”. Konsep sustainable solid waste management ini bisa diperkuat dengan regulasi yang ketat dari pemerintah serta pengawasan yang juga harus ketat.
Di pihak lain kelompok yang anti tambang berpendapat bahwa nature-nya memang tambang itu merusak lingkungan dan berbagai aturan mengenai tambang ramah lingkungan hanyalah mimpi karena dalam praktek sering tidak dijalankan dengan benar yang terbukti dari fakta masifnya kerusakan alam di areal tambang di mana pun di muka bumi ini.
Aspek lingkungan yang menjadi alasan penolakan saya atas rencana pembangunan pabrik semen di Desa Luwuk, Manggarai Timur ini dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan.
Pertama, luas hutan sebagai areal tangkapan air hujan dan sumber oksigen di Manggarai Raya relatif kecil, apalagi di daerah Lambaleda bagian utara sehingga pemberian konsensi 500-an ha untuk areal tambang bahan mentah pabrik semen akan sangat berpengaruh pada keseimbangan ekosistem di ligkungan sekitar.
Dengan perambahan tradisonal saja hutan di Manggarai sudah banyak yang musnah dan berdampak pada banyaknya mata air yang berkurang drastis, bahkan mati, apalagi dengan pembabatan secara masif untuk kepentingan pabrik.
Kedua, tambang bahan baku semen bersifat tambang terbuka sehingga akan sangat merusak vegetasi, kualitas tanah dan perambahan hutan. Dengan sIstem tambang terbuka yang massif seperti ini konsep rehabilitasi lahan (reklamasi) hampir mustahil dilakukan selain karena area kerusakannya yang sangat luas juga kualitas tanah sudah tidak lagi mendukung.
Aspek Sosial Budaya
Masyarakat komunal dalam bentuk kampung di Manggarai secara sosial budaya terikat pada empat simpul ritus yaitu: kampung atau beo dengan compang sebagai pusat, mata air atau wae teku, kebon adat atau lingko randang dan pekuburan atau boa.
Dalam rangka menjaga keharmonisan ke empat unsur ini dalam konteks relasi dengan masyarakat kampung, maka dalam setiap upacara adat penti selalu dilakukan ritus barong boa, barong wae teku dan barong lingko randang. Semua ritus tersebut akan berakhir di pusat kampung dimana dipercaya roh leluhur bersemayam yaitu di compang yang terletak di tengah kampung dekat rumah adat (mbaru gendang).
Terbentuknya empat unsur sosial budaya ini tidak seperti membangun sebuah perumahan di kota besar, tetapi melalui proses panjang oleh nenek moyang atau para leluhur. Mereka mewariskan values yang menjadi pengikat masyarakat kampung untuk berbagai urusan termasuk bagamaina menghargai mereka yang sudah menjadi fondasi kehadiran sebuah kampung.
Rencana merelokasi warga ke lokasi baru dalam rangka pendirian pabrik semen merupakan tindakan yang menginjak-injak nilai historis sebuah kampung dan merupakan upaya mencabut masyarakat dari akar budaya mereka.
Masyarakat Luwuk yang terdampak akan terputus dari relasi emosional dan historis dengan nenek moyang mereka dan memulai sesuatu yang baru yang mungkin dengan tatanan sosial budaya yang baru yang tidak lagi berbasis komunal kampung dengan kelengkapan empat simpul ritus yang tadi disebutkan: beo/compang, wae teku, lingko dan boa. Aspek budaya inilah yang menurut saya, priceless, tidak tergantikan dengan nilai uang berapa pun jumlahnya.
Aspek Ekonomi
Saya sebenarnya tidak ingin terjebak pada hitungan matematis formula ganti rugi atau ganti untung yang diberikan kepada pemilik lahan. Walaupun secara normatif nilai penggantian sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menguntungkan bagi masyarakat dengan ukuran saat ini, saya tetap menolak dengan pertimbangan, pertama, ada kerugian yang priceless sesuai uraian di point 2 di atas. Kedua, ganti rugi dengan ukuran saat ini (current condition) tentu tidak mencerminkan nila ekonomis tanah yang masyarakat miliki karena tanah yang mereka miliki akan tetap memberikan manfaat ekonomis sepanjang hajat dikandung badan sampai anak cucu bahkan sampai dunia ini kiamat.
Coverage penggantian juga tidak hanya sebatas pada lahan yang secara hukum (termasuk hukum adat) dimiliki oleh perorangan warga kampung tetapi termasuk tanah ulayat yang belum dibagi di dalam areal konsensi pabrik. Dengan demikian maka perhitungan ganti rugi yang fair seharusnya dengan areal yang lebih luas dan time horizon yang juga tidak terbatas. Dengan kata lain, sebenarnya nilai ekonomis lahan yang mereka miliki juga priceless.
Solusi Kesejahteraan Masyarakat
Sebelum mengulas mengenai solusi bagi kesejahteraan masyarakat Manggarai Timur pada umumnya, saya juga ingin menginformasikan bahwa pada tahun 2019 produksi semen di Indonesia sudah surplus sekitar 40 juta ton dan diperkirakan akan tetap surplus sampai dengan tahun 2024.
Dalam kondisi pasar produk semen seperti ini wajar kalau kita mempertanyakan urgensi pembangunan pabrik tersebut. Masihkah kita perlu merusak lingkungan kita dan mengorbankan masyarakat kita untuk sebuah rencana pembangunan pabrik yang secara ekonomis tidak feasible? Apakah ada hidden agenda dari pembangunan pabrik semen ini? Bukankah akan lebih efisien dan lebih berpihak pada lingkungan dan masyarakat apabila pemda fokus saja pada upaya memperlancar jalur distrubusi semen agar suplai terjamin dengan harga terjangkau sampai ke tangan masyarakat?
Pembangunan pabrik semen secara teoritis memang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena bagaimana pun pasti ada efek rembes manfaat ekonomis bagi masyarakat, tapi mungkin bukan bagi masyarakat Luwuk. Kenapa? Pusat ekonomi dalam bentuk pabrik akan menjadi daya tarik bagi semua homo economicus dan biasanya adalah masyarakat yang memiliki DNA pedagang dan masyarakat kita tidak memiliki DNA ini. Masyarakat kita mungkin akan kebagian menjadi buruh gali dan buruh angkut, itu pun tetap harus bersaing dengan pendatang yang rata-rata lebih ulet. Saya mau mengatakan bahwa jangan terlalu berharap bahwa pabrik ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Menurut saya, terlalu banyak jalan yang bisa dilakukan Pemda untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarak Luwuk dan masyarakat Manggarai pada umumnya. Kita memiliki potensi yang besar di bidang pariwisata dan pertanian. Dalam bidang pariwisata yang ditargetkan menjadi prime mover pembangunan NTT sesuai visi dan misi gubernur harusnya bisa dimaksimalkan dengan memanfaatkan status Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super premium serta terbentuknya BOP LBF yang bisa menjadi koordinator pengembangan perluasan destinasi di tiga kabupaten di Manggarai agar manfaat ekonomisnya bisa dinikmati oleh masyarakat di tiga kabupaten di Manggarai.
Di Manggarai Timur masih banyak destinasi wisata yang bisa dikembangkan. Ada buaya darat di Pota dan sekitarnya, ada hamparan bunga lotus di Danau Rana Tonjong, ada perkebunan kopi di Colol, ada Watu Lanur di Kedel dan banyak lagi destinasi lainnya.
Di bidang pertanian Pemda perlu membantu petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian mereka serta memberikan sentuhan teknologi pasca panen yang sederhana agar bisa menghasilkan produk dengan value added dan nilai ekonomis yang lebih baik.
Di hilir Pemda melalui BUMD harus bisa membantu membuka pasar bagi produk pertanian yang dihasilkan masyarakat agar mendapatkan harga yang lebih baik serta semua produksi bisa diserap pasar. Contoh sederhana adalah produksi pisang yang melimpah di Manggarai yang saat ini diangkut dalam bentuk pisang mentah ke Bali atau Jawa.
Pisang mentah tersebut pasti dibeli dengan harga murah dari para petani. Kalau saja pisang tersebut diolah oleh petani atau BUMDES menjadi kripik pisang dengan berbagai varian dan BUMD menjadi standby buyer sebelum dijual ke pusat konsumen di Bali atau Jawa pasti akan memberikan manfaat ekonomis yang lebih baik bagi para petani.
Di akhir tulisan ini saya ingin menghimbau kepada Pemda di ketiga kabupaten di Manggarai Raya agar fokus pada pengembangan pariwisata, pertanian dan peternakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita yang memang memiliki DNA agraris.
Manggarai Raya memiliki competitive advantage dan comparative advantage yang lebih dari cukup di bidang pariwisata, pertanian dan peternakan untuk menjadi prime mover pembangunan. (*)