Perjalanan Kemerdekaan RI
Oleh : Lambang Trijono, Dosen Fisipol UGM
PERSATUAN politik dalam pembentukan bangsa dan negara itu tidak mudah dilakukan di negara baru merdeka. Sebagai negara baru, Republik Indonesia pada awal kemerdekaan menghadapi banyak tantangan dari banyaknya pergerakan politik yang memerlukan penyatuan politik.
Sebagaimana disampaikan banyak dokumentasi, apa yang dilakukan pemimpin pergerakan kemerdekaan, Soekarno dan Mohammad Hatta, setelah Indonesia menyatakan diri kemerdekaan dan UUD 1945 sebagai konstitusi disepakati, adalah membangkitkan kesadaran politik rakyat dalam pembentukan bangsa dan negara. Dalam berbagai kesempatan rapat akbar dan pertemuan umum kesadaran politik itu dibangkitkan melalui artikulasi politik nasionalis dan dengan melawan dominasi pemerintahan kolonial dalam situasi baru perang dunia kedua.
Mobilisasi politik massa itu dilakukan bersamaan dengan berkembangnya pergerakan politik revolusioner di masyarakat dalam pergerakan kemerdekaan baik dari kalangan pergerakan politik kerakyatan maupun politik keagamaan. Pemimpin populis yang sekaligus juga nasionalis Soekarno, yang kemudian menjadi presiden, presiden Soekarno, dalam menyatukannya saat itu lebih memilih secara fondasional melalui pengembangan politik idiologi nasional.
Namun, penyatuan politik dilakukan kurang kuat bertahan karena politik fondasionalis demikian membuat politik cenderung mengesensial dan bersifat mentotal dalam konsepsinya tentang rakyat, bangsa dan negara. Demikian itu, semakin menguat dalam situasi politik perang dingin sesudah perang dunia kedua. Sehingga, kesadaran politik konstituen atau kewargaan lambat berkembang karena sulit bernegosiasi dengan totalitas pandangan.
Dengan itu, terjadi ketegangan antara totalitas dan pluralitas dan mudah terjadi perpecahan sosial di masyarakat karena perbedaan pandangan dan benturan idiologi politik sedang berlangsung. Semakin melemahnya kekuatan politik fondasionalis dan juga rapuhnya kesatuan politik nasional karena perpecahan idiologi di tengah masyarakat membuat politik idiologi nasional mengalami krisis dan sekaligus dengan itu mengakhiri pemerintahan presiden Soekarno atau era pertama pemerintahan Republik.
Memasuki era kedua pemerintahan Republik, era pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melancarkan pembangunan ekonomi dan melakukan tekanan politik atau depolitisasi di masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sesungguhnya memberi peluang berkembangnya politik konstituen atau politik kewargaan dari kesejahteraan berlangsung pada tiap warga.
Namun, sayangnya, peluang itu kurang dimanfaatkan. Sentralisasi atau pemusatan pembangunan dilakukan untuk pertumbuhan disertai depolitisasi itu menimbulkan resistensi politik di masyarakat sebagai akibat dari peminggiran atau pengesampingan politik konstituen.
Menghadapi situasi politik demikian itu, pemerintah terus melancarkan sentralisasi pembangunan meski disertai resistensi politik yang semakin meluas. Demikian itu membuat perlawanan politik terus meningkat di tengah masyarakat dan dengan itu menimbulkan krisis politik dan krisis ekonomi yang membuat pemerintahan Soeharto jatuh pada tahun 1998 dan kemudian pemerintahan bergeser pada pemerintahan transisi politik menuju demokrasi.
Bergulirnya demokratisasi membuat ketegangan politik semakin meningkat termasuk ketegangan antara politik kerakyatan dan politik keagamaan yang telah lama berlangsung. Ketegangan politik itu kemudian diatasi melalui kompromi politik antara pemimpin politik nasionalis-religius, Abdurrahman Wahid, dan pemimpin politik nasionalis-kerakyatan, Megawati Soekarnoputri.
Sementara itu, tuntutan demokrasi yang berkembang diatasi dengan memberikan kebebasan dalam politik kepartaian. Dengan itu, politik massa kemudian tersalurkan dalam politik partai baik dalam bentuknya yang populis, nasionalis, religius, liberal, demokratis. Perkembangan itu boleh dikata mengawali formasi politik baru di Indonesia dalam politik demokrasi plural.
Di tengah berkembangnya pluralitas politik itu, kompromi politik antara politik nasionalis-kerakyatan dan nasionalis-religius belum mencukupi dalam menjawab tuntutan demokratis sedang berlangsung. Kompromi politik itu boleh dikata merupakan cara politik moderat untuk keluar dari krisis politik dan krisis ekonomi meski di dalamnya terdapat ketegangan idiologi politik.
Sementara itu, jalan politik kepartaian masih sulit membentuk kesatuan politik dalam penentuan kebijakan. Kemudian, transisi politik itu berujung pada dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tahun 2002. Sejak itu, politik kebangsaan dan kenegaraan republik Indonesia memasuki era baru politik demokrasi konstitusional. xx