Teroris Tidak Beragama ? Bullshit !
Oleh: Eko Kuntadhi
Sebuah kejadian memilukan terjadi di gereja Katederal Makassar. Bom bunuh diri. Pelakunya disinyalir sepasang lelaki-perempuan. Melukai banyak orang. Dan mengoyak kehidupan kita.
Lalu di TV kita kembali mendengar kata-kata bullshit itu. “Terrorist has not relegion.” teroris tidak beragama, katanya. Dengan mengatakan itu, MUI misalnya, seperti ingin mencanpkan kepalanya ke dalam pasir. Menolak kenyataan.
Coba lihat pelaku bom di Makassar itu. Periksa KTP dan Kartu keluarga mereka. Coba cek para pengacau di Mako Brimob beberapa waktgu lalu. Atau cek mereka yang yang ditangkap oleh Densus 88 karena merencanakan serangan. Apa agamanya? Islam!
Sebagai muslim, kita boleh tersinggung dengan fakta ini. Tapi kita tidak dapat lari dari kenyataan bahwa semua yang sedang melakukan kekacauan dengan bom bunuh diri di negeri ini beragama Islam. Itu dulu yang penting kita jadikan pegangan.
Ok, selanjutnya kita telaah. Siapa yang mencoba membelokkan isu teroris ini dengan kepentingan politik? Atau malah menyalahkan polisi dan korban? Siapa yang bertepuk tangan gembira melihat mayat jemaat gereja bergelimpangan? Coba lihat akun media sosialnya, telusuri apa agamanya.
Kita akan dapatkan, mereka juga beragama Islam!
Apa latar belakang alasan mereka melakukan kebiadaban itu dan apa latar belakang alasan mereka yang membelanya? Sebagian besar justru beralasan karena agama. Statemen bahwa darah orang kafir halal, itu adalah pernyataan biadab yang berlatar belakang pemahaman agama. Mungkin bukan ajaran agama itu sendiri.
Selanjutnya, kita pertanyakan, kenapa ada orang Islam yang berlaku biadab seperti anjing gila ngebom sana-sini? Sementara sebagian besar muslim lain mengutuknya?
Ini yang harus kita jadikan titik tolak. Artinya ada segolongan umat Islam yang mengatasnamakan agama untuk melakukan kebiadaban. Dan ada banyak orang Islam yang mengutuk tindakan itu. Yang mengutuk juga merasa sedang menjalankan kewajiban agamanya untuk berbuat baik dan mengutuk kebiadaban.
Kedua kelompok kaum muslim ini merasa sedang menjalankan kewajiban agamanya. Tetapi output dari keduanya saling bertolak belakang. Artinya, pasti ada yang salah pada salah satunya. Tidak mungkin keduanya sama-sama benar, padahal apa yang dilakukan saling berseberangan.
Pertanyaan selanjutnya, jika Anda muslim, Anda memilih untuk berdiri dimana?
Jika Anda ikhlas dan rela agama yang Anda anut dicap sebagai agama teror, penuh kekerasan, haus darah dan menganjurkan kebencian dan barbar. Silakan Anda berdiri di belakang gerombolan teroris. Bagi saya, Anda sedang mencoreng agama Anda sendiri.
Ustad dan pembicara agama yang menganjurkan pada kekerasan, adalah orang yang sedang mencoreng wajah agama ini. Sampai saat ini saya tidak pernah dengar komentar MUI pada ceramah-ceramah Yahya Waloni yang terus menyebarkan kebencian pada agama lamanya. Saya tidak pernah mendengar kritik MUI pada mulutnya Rizieq yang bicara soal penggal kepala.
Saya gak pernah dengar MUI mengiritik isi ceramah Radio Rodja yang menyebarkan paham kekerasan. Atau banyak ustad bermulut kotor dan hobi memprovokasi. Yang saya tangkap, justru sebagian pengurus MUI yang hobi berkomentar provokatif atas nama agama.
Para politisi berkedok agama yang memanfaatkan isu terorisme untuk mengambil keuntungan politis, adalah para perusak agama ini. MUI juga gak pernah menegur Amien Rais, yang mengancam menyerukan hayya alal jihad atau membagi Parpol menjadi Partai Allah dan partai setan.
Dengan mengatakan teroris tidak beragama, MUI seperti mau cuci tangan. Tidak mau mengakui kenyataan.
Jika Anda meyakini Islam adalah agama damai, agama yang menganjurkan menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam, agama yang menegakkan keadilan, maka Anda harus bersikap melawan siapa saja yang ingin membengkokkan ajaran mulia ini menjadi seruan yang penuh kengerian dan darah. Atas nama agama, Anda wajib memerangi para perusak Islam.
Kenapa penyimpangan pemahaman agama ini makin marak? Karena ustad-ustad berpaham pekok dan penuh kebencian difasilitasi untuk berbicara di TV. Karena sekolah-sekolah dan pengajian dimasuki para penganjur kekerasan. Karena di lembaga legislatif ada partai yang sering menunggangi agama demi kepentingan politiknya.
Para laskar unyu-unyu sok beringas digembalakan untuk menyuarakan kebencian, padahal hanya untuk kepentingan politik dan ekonomi para tokohnya saja.
Para kurcaci berteriak anti pornografi, imamnya terlibat kasus chat mesum.
Para kurcaci diarahkan berjuang membela pemimpin muslim, pemimpinnya sedang asyik membagi-bagi dana APBD.
Para kurcaci diarahkan membela partai, Presiden dan tokoh partainya terlibat korupsi bersama para istri simpanan.
Para kurcaci diminta sumbangan untuk kaum muslim di Allepo, padahal dananya diserahkan kepada kaum teroris di Suriah.
Sekarang waktunya bergandengan tangan dengan siapa saja yang mencintai hidup damai, untuk melawan biang kerok kekacauan ini. Kita berhadapan dengan para ustad penganjur kekerasan dan kebencian, stasiun TV yang menayangkan penyeru kekacauan, para politisi ngehe yang menjajakan nama Islam untuk kursi kekuasaan, para pemandu sorak teroris di media sosial, adalah pihak yang harus dihadapi setiap hari. Agar bangsa ini tidak berkembang seperti Suriah atau Libya.
Apakah teroris tidak beragama ? Tidak, mereka beragama dan agamanya adalah Islam. Apakah mereka keyakini agama Islam secara benar ? Itu masalahnya.
Oleh sebab itu, jika umat Islam tidak mau agamanya disebut agama teroris, maka kaum muslimlah yang paling berkepentingan membersihkah tubuhnya dari kanker ganas yang membahayakan ini.xx