Buruh Desak Kemnaker Cabut Permenaker Nomor 2/2022 tentang JHT
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Rasa-rasanya masih sangat jelas diingatan masyarakat Indonesia, beberapa waktu yang lalu Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat kebijakan yang banyak menuai kotroversi.
Kebijakan tersebut dikenal dengan Omnibus Law yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Kontroversi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut disebabkan mulai dari pembentukannya yang cacat secara formil, tidak transparan, cenderung tergesa-gesa, sampai kepada muatan isi kebijakannya yang sangat merugikan kaum buruh.
“Status hubungan kerja yang didesain sangat fleksibel, sehingga buruh gampang untuk di-PHK, dan kenaikan upah dibuat semurah mungkin dengan kenaikan hanya 1,09% merupakan karya mutakhir dari kebijakan Undang – Undang Cipta Kerja yang membuat kaum buruh Indonesia semakin melarat,” kata– Ketua Umum LMND, Muhammad Arira Fitra, Selasa (15/2/2022).
Muhammad Arira Fitra dan puluhan teman-teman buruh dan pekerja berunjukrasa di depan gedung Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Selasa (15/2/2022).
Ia mengatakan, padahal kebijakan tersebut telah dinyatakan Inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Tidak cukup sampai disitu, rupanya pemerintah melalui Kementrian Ketenaga Kerjaan Republik Indonesia (Kemaneker RI) menganggap UU Cipta Kerja belum cukup membuat kaum buruh menderita, sehingga penderitaan kaum buruh Indonesia harus dilengkapi dengan kebijakan baru yaitu
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang memuat soal dana JHT baru bisa dicairkan setelah usia 56 tahun, merupakan kebijakan yang mendapatkan penolakan keras secara serentak oleh masyarakat diseluruh Indonesia. Pasalnya, karena sedari awal kebijakan ini dianggap tidak transparan, tidak partisipatif, cenderung dipaksakan dan merampas hak kaum buruh sebagai pemilik seutuhnya dana JHT.
Dana tersebut dipungut dari pemotongan upah buruh selama masa kerja dan kewajiban pengusaha selama mempekerjakan buruh yang bersangkutan, dapat dipastikan tidak ada sama sekali pendanaan JHT dari Negara sehingga sangat tidak rasional ketika Negara menahan uang masyarakat melalui kebijakan yang sangat memalukan ini.
Dari situasi yang seperti ini maka sangat wajar jika kemaudian bermunculan asumsi liar dari masyarakat, apakah pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan sengaja membuat aturan baru tersebut, untuk terus mengakumulasi dana JHT yang telah terkumpul sebesar 555 trililiun, agar dana tersebut bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan oleh Pemerintahan Jokowi.
Selain pandai bersilat bersilat lidah dan bermain akrobat, pemerintah harus kembali menebalkan wajahnya untuk menghalau rasa malu karena kembali berupaya memberikan ilusi melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai solusi dari Permenaker 02/2022 dimana pencairan JHT Usia 56 Tahun.
Buruh mengetahui akal bulus Pemerintah bahwa JKP bukanlah hal yang otomatis dapat dinikmati buruh yang kehilangan pekerjaan, mengingat berbagai syarat yang bersifat akumulatif yang terkandung dalam ketentuan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan, di antaranya adalah kriteria Penerima JKP, yang dipersyaratkan bagi pekerja yang sudah mengiur selama enam bulan berturut turut sebelum di-PHK dan sudah menjadi peserta paling sedikit 12 (dua belas) bulan dalam 24 (dua puluh empat) bulan.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut di atas, untuk itu dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesi (KPBI) dan Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi – Dewan Nasional (LMND – DN) meminta kepada pihak Kemnaker untuk mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Persyaratan Pembayaran Tunjangan Hari Tua (JHT) dan sekaligus memberlakukan kembali Permenaker RI Nomor 19 tahun 2015 Tentang Tata Cara Persyaratan Pembayaran Tunjangan Hari Tua (JHT). [TVP/FN]