Dengan Menganyam Tikar, Ibu di Manggarai Berhasil Sekolahkan Anak Hingga Sarjana
BERTA ANASTASIA JELIHUT (51), asal Kumba, Kelurahan Satar Tacik, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana dengan menganyam tikar dan tas.
Istri dari Rovinus Jehamit ini sejak tahun 1997 sudah menganyam tikar sebagai rutinitasnya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga hingga membiayai ketiga anak mereka sejak SD hingga Sarjana.
Kepada TVP, Ibu dari tiga anak ini mengisahkan awal mula ia menganyam tikar, pada Sabtu(18/02/2022) sore pukul 16.00 WITA, di rumah kediamannya.
Dikisahkannya, dulu waktu saya masih muda, di Manggarai ini tidak semua orang bisa menganyam. Hanya orang-orang tertentu yang punya kemampuan itu. Memang kalau dilihat mudah, tapi proses awal hingga penganyamannya begitu sulit sehingga butuh waktu yang lama untuk belajarnya.
Dari situ, ia berinisiatif untuk mengetahui lebih dalam teknik menganyam tikar dengan selalu bergabung dengan orang-orang tetangga yang sedang menganyam tikar. Ia melihat apa yang orang buat sambil bertanya kepada mereka cara dan proses hingga menjadi sebuah tikar.
Seiring berjalannya waktu, iamulai belajar sendiri dengan bermodalkan keberanian plus mendapatkan pengalaman baru dari tetangga yang selama ini ia belajar cara mereka menganyam.
“Kebetulan, di kebun saya punya pohon pandan. Saya mulai mencoba dengan mengambil beberapa daun pandan sebagai bahan pokok percobaan saya. Saat itu, saya mulai melakukan seperti apa yang saya lihat dari para tetangga terkait dengan proses awalnya”, tutur Ibu tiga anak ini.
Pertama, Re’a (daun pandan) dipotong dari pohonnya. Setelah dipotong, re’a dibersihkan dengan cara dikeluarkan duri dengan menggunakan pisau.
Permukaan re’a diraut menggunakan belahan bambu atau koes dengan cara dihaluskan berulang kali hingga permukaan menjadi lembut.
Kemudian Bhuka, atau menggulung daun yang sudah lembut. Setelah bhuka, daun tersebut akan direbus hingga mendidih.Apabila re’a tersebut berwarna putih bersih, maka akan direndam di sungai yang mengalir selama satu malam. Sehabis direndam, dijemur lagi dan setelah kering akan diraut ulang hingga lembut.
Suwir, atau re’a disayat dan kemudian disesuaikan lebar daun sesuai dengan kebutuhan.Bagian dalam daun atau kone dikeluarkan setelah disayat. Istilah dikeluarkan tersebut adalah cuat.Pewarnaan menggunakan pewarna dari wanteks, lalu dijemur.
Proses selanjutnya adalah dianyam. Proses ini sering memakan waktu 1-2 minggu, dan tergantung pada musim kerja. Penganyaman ini dilakukan di waktu luang sembari menunggu musim tanam. Proses penganyaman dilakukan di halaman rumah atau di teras rumah.
Setelah dianyam, maka selanjutnya adalah memasang hiasan pada keempat sisi tikat menggunakan kain warna merah. “Kenapa harus merah ? Karena merah memiliki arti keberanian dan tanggung jawab bagi orang Manggarai. Dan untuk tikar yang sudah dipasang hiasan tersebut disebut loce umpuk,” jelas Anastasia.
Setiap bulan, kadang ia menganyam 1-2 tikar, tergantung waktu luangnya karena masih ada rutinitas yang harus ia kerjakan. Tikar-tikar yang ia anyam itu, tikar yang sudah dipesan dengan patokan harga yang tidak menentu. Sehingga,orang-orang yang memesan tikar kepadanya selalu memberikan ia lebih dari yang ia targetkan. Dan itu sebuah kebaikan yang luar biasa yang Tuhan titipkan kepada orang-orang dan juga keluarga yang memesan tikar kepadanya.
“Tuhan tidak pernah menutup mata bagi orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan. Dari anyaman tikar, saya bisa membiayai ketiga anak saya hingga Sarjana. Dan saat ini, ketiga anak saya sudah menyelesaikan pendidikan Sarjana mereka dengan bermodalkan jualan loce atau tikar”.
Ia mengatakan, ini rancangan Tuhan bagi ia dan keluarganya, sehingga mereka patut bersyukur karena menganyam tikar adalah usaha yang butuh kesabaran, ketekunan dan loyalitas. Semoga, usaha menganyam tikar bisa memberikan dampak bagi perekonomian masyarakat kabupaten manggarai dalam mengatasi masalah pengangguran di Manggarai Raya.
Kehidupan Sosial Masyarakat
Umumnya dalam kehidupan orang Manggarai, tikar dipakai untuk mengalas tempat duduk. Cara menggunakannya adalah dengan dibentangkan di lantai atau dek rumah panggung. Tikar juga bisa digunakan untuk alas tidur. Ketika menerima tamu, tuan rumah langsung membentang tikar sambil mempersilahkan tamu untuk duduk. Istilahnya dalam bahasa Manggarai disebut dengan wisi loce.
Dalam setiap upacara adat Manggarai, yang dilaksanakan di rumah adat (mbaru gendang maupun rumah tinggal lainnya) , orang Manggarai tidak pernah menggunakan meja, kursi, sofa atau pun yang lainnya. Mereka hanya menggunakan tikar dan melangsungkan upacara adat dengan beralaskan tikar.
Menghasilkan Tas
Tak hanya Tikar, Vivi Parus(25) menantu dari ibu Anastasia turut membantunya dalam menganyam tikar hingga mendesain sebuah tas tradisional dari anyaman tikar.
Menantu Vivi ini cukup memiliki kemampuan dan kreativitas seni dalam mendesain tas untuk pria dan wanita. Proses pengerjaannya serba manual tanpa menggunakan mesin jahit.
Vivi dalam penjelasannya kepada media mengatakan bahwa usaha ini benar-benar inisiatif sendiri karena di masa pandemi ini ia tidak memiliki pekerjaan, sehingga saya mencoba untuk berinovasi dengan mengandalkan kemampuannya untuk membuat tas dari anyaman tikar.
“Usaha pembuatan tas ini baru berjalan dua bulan. Dan saat ini, sudah banyak yang memesan tas ke saya. Biasanya, orang memesan dulu ke saya baru saya buat tasnya. Untuk harganya, kata Vivi sangat terjangkau, hanya Rp. 150.000 kita bisa mendapatkan satu tas dengan varian warna yang kita sukai,” tutup Vivi. [TVP/Kordianus Lado]