Molas Flores si Burung Ngkiong yang Terbang Tinggi
“Molas Flores – Gadis Pulau Bunga”, sebuah novel yang sungguh novelty, baru. Baru diterbitkan belum lama ini. Walaupun baru terbit, cetakan sudah laku diraup para pelahap novel. Kini cetakan kedua baru keluar.
Novel yang sungguh insperatif ini merupakan karya wartawan senior Willy Hangguman, mantan Pemimpin Redaksi Harian Suara Pembaruan.
“Molas Flores” (Molas: “cantik” atau “gadis”; Flores: “nama pulau Flores yang berarti “bunga”) berkisah tentang perjuangan seorang gadis dari desa yang terinspirasi menjadi guru saat pertama masuk sekolah rakyat di kampungnya.
Cara guru perempuan mengajar membaca murid kelas satu pada hari pertama masuk sekolah rakyat amat memesona hati Molas. Sejak saat itu ia menanam dalam hatinya keinginan menjadi guru.
Molas menggantungkan cita-citanya setinggi bintang di langit seperti yang selalu diucapkan oleh tetua adat dalam berbagai upacara adat dalam kehidupan masyarakat Manggarai, Flores bagian barat, yang terungkap dalam doa: “uwa haeng wulang, langkas haeng ntala, saung bembang ngger eta, wake caler ngger wa”. Maknanya, “bertumbulah sampai bulan, tinggi sampai di bintang, tetapi harus tetap membumi.”
Mengibaratkan dirinya seperti seekor burung “ngkiong”, yakni bulbul di Manggarai, demikianlah cita-cita dan impian Molas terbang tinggi.
Ia “terbang” dari desanya untuk tinggal di ibu kota Manggarai, Ruteng. Dan setelah tamat Sekolah Standar (SD), ia nekad “terbang” lebih tinggi ke kota Ende, kota tempat pembuangan Proklamator dan Presiden I Republik Indonesia, Soekarno, dengan cara melarikan diri dari rumah karena orangtuanya mendadak berubah pikiran memaksanya menerima lamaran seorang guru. Molas tidak mau menjadi “Nyora” (“senhora”, artinya “nyonya” dalam bahasa Portugis), sebutan khusus hanya untuk istri guru pada masa lalu. Molas ingin menjadi guru, bukan “Nyora”.
Tatkala “oto pos”, sebutan oto truk pengangkut penumpang di Flores masa lalu, yang membawanya saat melarikan diri ke Ende, tempat Sekolah Guru Bawah (SGB), melintas jembatan Wae Mokel, batas timur tanah Manggarai, ia merasa telah terbang lebih jauh dari bulbul Manggarai. Dalam lagu rakyat Manggarai dikisahkan “ngkiong” atau bulbul Manggarai terbang hanya sampai di Wae Mokel di timur dan Selat Sape, batas barat Manggarai. Molas sebagai “bulbul baru” telah terbang lebih jauh dari itu.
Ketika memulai sekolah di Ende, Presiden Soekarno datang mengunjungi kota tempat pembuangannya. Molas ikut dalam barisan seluruh pelajar saat menyambut Presiden Soekarno yang selalu menggelorakan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit.
DR Ignas Kleden yang tamat membaca novel setebal 182 halaman ini dalam sehari mengemukakan, “Novel ini adalah gabungan novel biografis dan novel etnologis. Ditulis dengan sederhana dengan teknik flashback, tetapi banyak informasinya tentang Flores yang menarik dan penting secara etnografis. Saya terheran-heran bagaimana Anda (penulis) tahu detil pertumbuhan dan pendidikan di asrama bagi seorang gadis kecil yang bertumbuh dewasa di tangan seorang biarawati asing. Saya ucapkan selamat buat terbitnya novel itu dan berharap Anda menulis lagi.”
Sementara Prof. DR. Romo Mudji Sutrisno SJ dalam endorsement-nya mengatakan: “Molas Flores, novel karya Willy Hangguman ini secara jeli mengolah latar adat Manggarai, situs sejarah Ende, tempat Bung Karno dibuang dan pergumulan antarwatak manusia dalam menggapai cita pengabdian seorang guru di sekolah rakyat. Anda diajak tekun membacanya dengan lancar, sahaja, dan mendalam rincian realitas etniknya dengan kebijaksanaan lokal dan nuansa daerah. Jenis novel semacam ini semakin langkah.”
Don Bosco Selamun, Direktur Utama MetroTV, dan mantan Pemimpin Redaksi BERITA SATU TV, mengungkapkan novel ini menyodorkan kearifan lokal masyarakat Manggarai, Flores, agar berani menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit. “Tokoh Molas dalam novel ini memberi inspirasi dan motivasi agar siapa saja berani menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit. Cita-cita itulah yang bakal menuntun langkah untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik,” kata Don Bosco Selamun.
Pendapat DR Amin Abdullah dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang novel yang diterbitkan oleh Penerbit Rejeki Baru ini menarik disimak. “Sebagai orang dari Indonesia Timur, saya bisa membayangkan bagaimana perjuangan seorang gadis belia di awal abad ke-20 untuk mempunyai cita-cita. Kawin muda mengikuti pilihan orangtua serta berbakti pada keluarga merupakan pilihan yang utama pada saat itu. Kalau ada yang mencoba untuk mencari cara lain, maka itu sebuah anomali di zaman itu,” ujar Amin Abdullah.
Novel “Molas Flores”, Kisah Perjuangan Seorang Gadis Nusa Bunga Jadi Guru, Cetak pertama habis terjual, masih disiapkan cetakan kedua. Jika ingin memiliki Novel karya Willy Hangguman yang diramu dengan sederhana dengan teknik flashback, tetapi banyak informasinya tentang Flores yang menarik dan penting secara etnografis silakan menghubungi penulisnya. [WG]