Pengaduan THR Tidak Bisa Ditindaklanjuti Tidak Masuk Akal
Oleh : Timboel Siregar, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi)
TUNJANGAN Hari Raya (THR) menjadi isu tahunan yang selalu menjadi persoalan bagi kalangan pekerja, karena ketidaktaatan pengusaha mematuhi regulasi tentang THR, yang mewajibkan seluruh pengusaha membayar THR kepada pekerja yang sudah bekerja minimal 1 bulan.
Persoalan THR pun dikontribusi oleh lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum dari Pengawas Ketenagakerjaan di tingkat pusat maupun propinsi.
Kewajiban pengawas ketenagakerjaan mengawal pembayaran THR kerap kali diserahkan kepada proses perselisihan pembayaran THR sebagai perselisihan hak. Ini yang sering terjadi, sehingga proses pembayaran THR menjadi lama karena berproses hingga ke Mahkamah Agung.
Dalam rilisnya Dirjen Binwasnaker dan K3 memaparkan tindaklanjut laporan pelanggaran pembayaran THR di 2021 yaitu sebanyak 2.624 pengaduan THR. Namun dari jumlah tersebut hanya 444 aduan yang dapat ditindaklanjuti.
Sementara 2.180 dinyatakan sebagai hal yang tidak bisa ditindaklanjuti karena aspek kelengkapan data, duplikasi aduan, dan repetisi yang melakukan pengaduan.
Saya nilai jumlah pengaduan sebanya 2.180 yang tidak bisa ditindaklanjuti sangat tidak masuk akal. Terkait alasan kelengkapan data, seharusnya Dirjen Binwasnaker dan K3 menjelaskan kelengkapan data apa yang harus disampaikan pekerja ke Pengawas Ketenagakerjaan sehingga bisa ditindaklanjuti.
Apakah pekerja yang mengadukan pelanggaran THR tidak memiliki data valid tentang nama perusahaan dan alamatnya, nilai upah pekerja dan sebagainya.
Saya yakin pekerja punya data yang disampaikan ke pengawas ketenagakerjaan. Alasan kelengkapan data yang disampaikan Bu Dirjen sangat janggal.
Demikian juga dengan alasan duplikasi dan repetisi, apakah memang pekerja melaporkan pelanggaran ini ke semua kantor pengawas ketenagakerjaan di propinsi dan pusat. Saya yakin tidak. Bukankah sudah ada posko THR, kan ini berarti laporannya ke posko THR sehingga peluang terjadinya duplikasi dan repetisi sangat kecil. Kecuali kalau memang pengaduan yang dilaporkan ke Posko THR tidak ditindaklanjuti sehingga pekerja melaporkan ke pusat dan propinsi juga. Ini kan karena ketidakmampuan Posko menindaklanjuti.
Lalu dari data yang banyak tersebut, yang tidak bisa ditindaklanjuti, pelayanan apa yang akan diperbaiki Dirjen Binwasnaker dan K3 di 2022 ini sehingga tidak ada lagi alasan tentang kelengkapan data, duplikasi aduan dan repetisi. Apakah ada sistem online dari posko ke posko THR dengan kantor pengawas ketenagakerjaan di tingkat propinsi dan Kementerian Ketenagakerjaan? Data apa yang harus dibawa pekerja ketika melapor pelanggaran THR sehingga bisa diproses ?
Saya tidak mendengar dari rilis Dirjen Binwasnaker dan K3 tentang perbaikan apa yang disampaikan sebagai evaluasi sehingga tidak ada lagi laporan yang tidak bisa ditindaklanjuti, apalagi jumlahnya sangat banyak.
Dari 444 pengaduan yang telah diselesaikan oleh pengusaha melalui berbagai cara, seperti pembayaran sesuai ketentuan atau terjadi Perjanjian Bersama (PB) antara pekerja dengan pengusaha untuk menyepakati pembayaran THR, apakah memang Pengawas Ketenagakerjaan juga memastikan denda 5 persen dari total THR karena keterlambatan yang diamanatkan Pasal 62 PP Nomor 36 Tahun 2021 dibayarkan perusahaan, atau memang sekadar dibayar yang nilai THR-nya di bawah ketentuan, yang penting sudah di PB kan?
Seharusnya Dirjen Binwasnaker dan K3 dalam rilisnya juga memaparkan berapa nilai THR yang dicantumkan pada PB sehingga jelas apakah memang ada peran pengawas ketenagakerjaan untuk mendukung penegakkan hukum sehingga pekerja benar-benar mendapatkan hak atas THR-nya sesuai regulasi.
Terkait dengan sanksi administrasi yang disampaikan Dirjen Binwasnaker dan K3 dalam rilisnya, saya kira sanksi tersebut hanya ada di regulasi tetapi sulit diimplementasikan. Apakah para bupati/wali kota atau Gubernur mau memberikan sanksi pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan melakukan pembekuan kegiatan usaha, sementara para kepala daerah tersebut sangat berkepentingan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya dari perusahaan-perusahaan tersebut, menurunkan tingkat pengangguran di wilayahnya, hingga alasan-alasan lain yang memang tidak legal.
Saya yakin para kepala daerah tersebut tidak mau menjalankan sanksi-sanksi tersebut. Toh pelanggaran pembayaran THR kan yang dirugikan pekerja, bukan para kepala daerah tersebut.
Saya berharap dalam rilis Dirjen Binwasnaker dan K3 disampaikan langkah-langkah proaktif untuk meminimalisir pelanggaran pembayaran THR ini. Selama ini pengawas ketenagakerjaan hanya bersifat pasif hingga menerima pengaduan baru bergerak.
Saya usulkan, bentuk proaktif pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat dan propinsi adalah melakukan sidak H-21 ke perusahaan-perusahaan yang selama ini memiliki masalah dalam pembayaran THR dengan memastikan perusahaan sudah menganggarkan dana THR yang akan diberikan paling lama 7 hari sebelum Hari Raya. Dan terus mengawalnya sehingga pembayaran benar-benar dilakukan maksimal H-7.
Semoga Pengawas ketenagakerjaan mau serius menjalankan tugasnya. Selama ini pengawas ketenagakerjaan menjadi simpul masalah bagi pekerja. xx