Jokowi Salah Menilai Prabowo
Oleh : Septian Raharjo
KITA terbiasa bercermin seusai mandi, disusul memantaskan diri dengan menyisir rambut atau memoles bedak bagi perempuan. Namun, nyaris mustahil bagi kita punya kesempatan bercermin di atas panggung dengan ditonton ribuan mahasiswa dan kalangan terpelajar.
Hanya tiga orang yang punya kesempatan itu. Mereka adalah bakal calon presiden, yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Tepatnya di acara Mata Najwa yang digelar di UGM, 19 September 2023, dengan titel acara “Tiga Bacapres Bicara Gagasan”.
Tim kreatif Mata Najwa pantas diberi tepuk tangan. Ide menghadirkan cermin besar ke atas panggung, dan meminta bacapres untuk bercermin sambil mengutarakan refleksi diri, menjadi tantangan yang tidak sepele bagi ketiganya.
“Alah, kan hanya bercermin, apa susahnya?” Betul, jika hanya menyisir rambut di muka cermin memang gampang. Akan beda urusannya jika sambil berefleksi. Refleksi bisa menjadi momen yang sangat emosional bagi seseorang.
Ketika seseorang berefleksi, maka mau tidak mau ia akan bersinggungan dengan pengalaman masa lalunya, baik suka maupun duka. Bahkan seseorang bisa sampai pada renungan spiritual yang mempertanyakan ulang nilai-nilai, prinsip, dan sikap hidup yang selama ini dipegang teguh.
Dari proses refleksi itulah akan terlihat secara terang benderang kepribadian seseorang yang sebenarnya. Baiklah, langsung saja kita mulai dengan mengingat bagaimana ketiga bacapres itu berefleksi.
Kesempatan pertama datang kepada Anies Baswedan. Najwa mempersilakan Anies menghadap cermin, dan seketika itu pula ia mengaku canggung. Bisa kita maklumi. Ketika berhadapan dengan pantulan diri sendiri di cermin, seseorang tidak bisa lagi mengelak akan situasi dalam dirinya. Bisa saja seseorang berbohong, tetapi tentu ia akan terjebak dalam rasa malu yang hebat pada diri sendiri.
Saking canggungnya, Anies sempat terlihat salah tingkah. “Harus mikir dulu nih,” celoteh Anies. Tentu saja ucapan itu patut dilihat secara kritis. Refleksi ibarat jalan tol bagi kejujuran seseorang. Seseorang tinggal landas mencurahkan apa yang dirasakan dalam hati dan pikirannya.
Ketika untuk berefleksi saja harus mikir-mikir, justru itu semakin menguatkan asumsi masyarakat yang menganggap Anies adalah sosok yang tidak bisa bicara apa adanya. Tidak lugas, tidak pula luwes. Atau barangkali retorika Anies memang sulit dipahami.
“Ngomong depan kamera lebih gampang daripada di depan kaca pada diri sendiri,” lagi-lagi Anies beralasan sambil cengengesan. Pengakuan yang makjleb. Anies memvalidasi dirinya sendiri bahwa ia memang biasa beretorika di depan kamera. Jika seseorang terbiasa bicara jujur, mau di depan cermin atau di depan siapa pun, itu bukan suatu persoalan. Mengapa Anies merasa susah berefleksi? Inilah persoalan mendasar pada Anies. Ia tak pernah melihat kapasitasnya sendiri dan hanya mengedepankan wacana.
Pada akhirnya memang Anies bercerita tentang masa lalunya. Agak bertele-tele, terutama ketika ia harus menyinggung masa kecilnya di Jogja. Anies memungkasi refleksinya dengan mengutip nasihat ibunya untuk tetap menjaga nama baik yang pada 2017 lalu telah ia cemari sendiri dengan bermain politik identitas. Anies memang sudah bercermin, tetapi ia tetap saja ia tengah beretorika, bukan berefleksi dari jiwa yang terdalam.
Kemudian tibalah kesempatan bagi Ganjar Pranowo. Tanpa banyak ragu, Ganjar menerima arahan Najwa untuk berdiri di muka cermin. Ganjar berdiri tegak, menatap tajam ke dalam cermin, menggambarkan betapa kenal ia dengan sosok yang terpantul di situ. Ganjar tahu, tidak ada Ganjar lain di sana. Ganjar adalah Ganjar.
Kesan yang tertangkap dari kamera, Ganjar begitu khidmat dan khusyuk menatap ke dalam kaca. Tidak ada kesan canggung, tidak ada perasaan bingung mau ngomong apa. Semuanya natural. Itu pertanda Ganjar tengah benar-benar merefleksikan diri. Sesekali matanya tampak berkaca-kaca, dan kameramen dengan sangat titis menangkap momen itu. Ada kesan haru yang mendalam saat melihat wajah Ganjar di cermin itu. Dan Ganjar pun memulai refleksinya.
“Sesuatu yang tidak bisa saya lupakan adalah pesan kedua orangtua saya. Kalau soal jabatan, Njar, jangan pernah kamu kejar. Kalau itu takdirmu, laksanakan dengan baik. Jangan pernah korupsi. Bismillahhirohmanirrohim.” Refleksi itu singkat, tapi merangkum seluruh dimensi manusia bernama Ganjar Pranowo. Tepuk tangan menggema begitu refleksi itu terucap.
Ada tiga dimensi yang ganjar tekankan dalam refleksinya. Pertama, mengingat asal-usul. Orangtua yang melahirkan dan membesarkannya adalah muasal dari kehadirannya di dunia. Tidak lupa akar. Ganjar sangat memegang teguh prinsip “ojo pedot oyot”. Yang utama harus disebut ketika seorang anak hendak berjuang adalah orang tua.
Dimensi kedua ialah persoalan jabatan. Refleksi ini menunjukkan pesan orangtua yang selalu mendorong Ganjar untu mengedepankan integritas. Jabatan bukan hal yang mesti dikejar mati-matian. Jika ia adalah takdir dari Tuhan, maka tugas manusia hanyalah menjalankannya. Dengan cara tidak korupsi, dan tidak melupakan amanat yang dibebankan rakyat melalui jabatan yang diemban.
Dimensi ketiga, Ganjar menutup refleksinya dengan bacaan bismillah, dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang. Ibarat sapu lidi yang mewakili urusan duniawi dan jabatan, ucapan bismillah itu menjadi tali pengikat yang menguatkan. Tanpa ikatan yang kuat sapu lidi bakal ambyar tak kuasa menyapu bersih kotoran di lantai.
Setiap upaya yang dilakukan Ganjar, semua berpegang teguh pada aturan Sang Maha Pencipta Manusia. Keislaman Ganjar ada di laku dan tindakan. Bukan pada sesuatu yang menempel di tubuhnya, yang justru digunakan demi kepentingan-kepentingan praktis dan partisan. Saya kira kita semua sepakat: refleksi Ganjar telah menularkan rasa haru dan di dalam setiap kata-katanya terpancar pesan dan renungan yang mendalam.
Terakhir, inilah jatah Prabowo Subianto untuk bicara. Jika anda pernah mendengar pengakuan Presiden Jokowi yang menyebut Prabowo sekarang sudah penyabar, percayalah beliau sudah salah dalam menilai. Sebab di panggung inilah Prabowo seperti kembali ke jatidirinya. Prabowo tak terkendali emosinya, tak terbendung amarahnya. Mbak Najwa harus pasrah lantaran permintaannya agar Prabowo mau berefleksi di depan cermin ditolak mentah-mentah. “Udah! Udah! Gue udah berkaca!” ucap Prabowo keras-keras menimpali permintaan Najwa.
Jangan bayangkan Prabowo berdiri lama-lama di depan kaca. Agaknya Prabowo memang tak siap jika harus menjumpai kenyataan dirinya terpampang di cermin. Ia hanya berdiri sebentar, lalu menghadap cermin dan memberikan hormat kepada bayangan diri sendiri. Benar-benar memberikan hormat kepada dirinya sendiri. Seolah-olah bayangan di cermin bukanlah dirinya sendiri, melainkan seorang jenderal besar yang ia takuti sekaligus kagumi.
Rupanya Prabowo sungguh-sungguh tak sanggup berlama-lama menatap diri sendiri di cermin. Seorang psikolog dari Universitas Bhayangkara, Hanna Rahmi, menyebut sikap itu menunjukkan adanya kecenderungan rasa takut dan sikap untuk menyangkal. Rasa takut terhadap kegagalan, sekaligus sikap ingin menyangkal atas masa lalunya sendiri yang terpantul di cermin.
Anda semua pasti paham, ada setumpuk kegagalan yang dialami Prabowo. Gagal menjadi jenderal yang baik lantaran ia dipecat. Gagal menjadi calon presiden sampai dua kali. Bahkan, mohon maaf, Prabowo juga hidup dalam bahtera yang karam lantaran pernikahannya dengan Titiek Soeharto berakhir perceraian pada 1998. Serangkaian kegagalan itulah yang membuat Prabowo takut menatap wajahnya sendiri di dalam cermin.
Sebuah penelitian juga menyebut, ketakutan bercermin adalah bentuk dari perasaan insecure dan trauma tas pengalaman suram, yang terhubung dengan rasa cemas dan konflik internal di dalam diri seseorang. Rupanya ada kabut gelap yang menyelimuti kesehatan mental Prabowo sehingga ia takut lama-lama bekaca.
Untuk itu janganlah kaget ketika ajang refleksi berubah jadi luapan emosi. Dan ucapan orang yang tengah didera emosi, anda tahu, hanya akan menjadi muntahan. “Saya mau cerita… Dulu… Saya Mau cerita… Dulu….” Maka begitulah ketika emosi Prabowo tidak terbendung lagi. Kata-katanya menggelagar, tapi hanya berisi nostalgia dan romantisme baby boomers yang tak relevan lagi bagi Gen-Z dan Milenial.
Sebuah cermin telah menyampaikan kebenaran melebihi apa yang bisa diucapkan sendiri oleh Prabowo. Dari wajahnya kita melihat kesedihan yang mewujud pada kening yang berkerut begitu rumit. Dari jari tangan Prabowo yang terus menunjuk-nunjuk itulah kita melihat kerasnya watak Prabowo. Pak Jokowi, Anda keliru. Prabowo tetaplah Prabowo seperti pada 2014 dan 2019 dulu. xx