Presiden Harus Segera Tandatangani Revisi PP 35 dan PP 36 Tahun 2021
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Hingga saat ini Pemerintah belum merampungkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Selain itu, pemerintah juga belum merampungkan revisi PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pegupahan. UU Nomor 6 Tahun 2023 (pengesahan Perppu no. 2 tahun 2022) telah mengamanatkan Pasal 64 terkait pengaturan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan dan Pasal 88D ayat (2) dan Pasal 88F tentang Upah Minimum.
Kehadiran revisi kedua PP tersebut sangat urgen untuk memastikan isi UU No. 6 Tahun 2023 yang merevisi UU No. 11 Tahun 2020 benar-benar bisa terimplementasi.
Bila masih mengacu pada Pasal 66 UU No. 11 Tahun 2020 maka semua jenis pekerjaan masih terus bisa dialihdayakan, dan hal ini sangat merugikan pekerja. Seharusnya pembatasan pekerjaan yang bisa dialihdayakan yang diamanatkan pasal 64 UU No. 6 tahun 2023 segera diimplementasikan dengan merevisi PP No. 35 tahun 2021, sehingga tidak semua jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan.
Demikian juga dengan amanat Pasal 88D ayat (2) yang mengubah formula kenaikan upah minimum yang sebelumnya diatur di Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021, seharusnya sesegera mungkin diimplementasikan dengan merevisi Pasal 26 PP no. 36 tersebut.
Formula kenaikan upah minimum di Pasal 26 PP No. 36 tahun 2021 sangat merugikan pekerja/buruh, dan ini dibuktikan dengan kenaikan upah minimum tahun 2022 yang rata-rata hanya 1,09 persen.
Kenaikan rata-rata upah minimum ini jauh di bawah tingkat inflasi 2022 sehingga daya beli pekerja menurun drastis. Naik secara nominal iya, tetapi upah riil anjlok.
Belum selesainya revisi Pasal 26 PP No. 36 tahun 2021 tersebut akan diperhadapkan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (2) PP No. 36 tahun 2021 yang menegaskan penetapan upah minimum propinsi (UMP) paling lambat tanggal 21 November dan penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) paling lambat tangga 30 November oleh Gubernur.
Dalam pemberitaan Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan bahwa upah minimum akan naik di 2024, namun berapa kenaikannya belum bisa disebutkan. “Menurut saya seharusnya Pak Sekjen Kemnaker menjelaskan dulu kenapa revisi PP No. 36 sebagai dasar perhitungan kenaikan upah minimum 2024 belum selesai ditandatangani Presiden, sementara tenggat waktu penentuan kenaikan UMP dan UMK oleh Gubernur tinggal sebulan lebih beberapa hari lagi,” kata dia.
Persoalan kenaikan upah minimum bukan pada masalah UMP/K akan naik, tetapi bagaimana proses revisi PP no. 36 benar-benar melibatkan SP/SB dan Pekerja/buruh. Kalau pun disebutkan oleh Pemerintah ada serap aspirasi, tentunya proses revisi pun tidak hanya berhenti pada serap aspirasi tetapi yang utama adalah ada proses negosiasi (dialog sosial) yang melibatkan SP/SB di LKS Tripartit Nasional, dan hasilnya pun harus diinfokan ke kalangan pekerja dan SP/SB lainnya agar ada uji public dan masukan dari kalangan SP/SB serta pekerja.
Berapa rentang indeks yang ditetapkan sebagai hasil negosiasi di LKS Tripartit pun harus terinformasi kepada pekerja dan SP/SB, termasuk apa dasar argumentasi penetapan rentang tersebut secara yuridis, sosiologis dan filosofis?
Dengan tenggat waktu penetapan UMP/K di tanggal 21 dan 30 November 2023, dibutuhkan proses negosiasi tentang penentuan nilai indeks di Dewan Pengupahan Daerah sebelum direkomendasikan ke Gubernur.
“Tentunya negosiasi nilai indeks ini pun akan alot dan membutuhkan waktu. Ini yang harus diperhatikan Pemerintah dalam menyelesaikan revisi PP No. 36,” kata dia.
Katerlibatan SP/SB dalam proses negosiasi penentuan formula kenaikan UMP/K akan mendukung kualitas kenaikan UMP/K tersebut. Secara nominal dipastikan terjadi kenaikan UMP/K namun yang penting adalah apakah dipastikan terjadi kenaikan upah riil di formula tersebut.
Selain masalah formula di Pasal 88D ayat (2), penting juga untuk memastikan isi Pasal 88F UU No. 6 Tahun 2023 yang mengamanatkan dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Di revisi PP no. 36 terkait amanat Pasal 88F tersebut harus tegas diatur kondisi-kondisi apa saja yang membolehkan Pemerintah menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum di Pasal 88D ayat (2).
Jangan sampai revisi PP No. 36 terkait Pasal 88F memberikan keleluasaan Pemerintah mengatur formula perhitungan UMP/K sehingga amanat Pasal 88D ayat (2) tidak memiliki makna untuk meningkatkan upah riil pekerja.
Kalangan Pekerja dan SP/SB masih menunggu revisi PP No. 35 dan PP no. 36 tahun 2021. Presiden Joko Widodo harus segera menandatangani revisi kedua PP tersebut untuk memastikan Pemerintah memang patuh pada isi UU No. 6 tahun 2023. [EH]