Jokowi, Gibran dan Politik Tak Bermoral
Oleh: Dr. Edi Hardum, S.IP, SH, MH
DUA bulan sebelum putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) diumumkan menjadi bakal calon Wakil Presiden (Wapres) Prabowo Subyanto, suhu politik Indonesia menjadi panas. Pasalnya, banyak pihak menghembuskan isu bahwa Gibran akan menjadi Wapresnya Prabowo.
Isu ini menjadi terbukti ketika kemudian Gibran diumumkan Prabowo menjadi wakilnya dalam Pilpres akan datang. Sejak saat itu, suhu politik Tanah Air semakin panas.
Beberapa hal yang diperbicangkan, antara lain, pertama, Jokowi dan Gibran sebagai pengkianat terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kedua, ambisi Jokowi menjadi Presiden untuk tiga periode atau paling tidak diperpanjang dua tahun.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi (MK) berubah menjadi Mahkamah Keluarga, karena adik ipar Jokowi Anwar Usman sebagai Ketua MK tidak mengundurkan diri saat memeriksa dan memutus perkara perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas minimal usia calon Presiden Wapres. padahal pemohon perkara a quo Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (FH UNSA) mengaku kagum dengan Gibran, keponakan Anwar Usman.
Keempat, dampak buruk bagi Indonesia ke depan kalau seadainya pasangan Prabowo dan Gibran menang dalam kontenstasi Pilres Fabruari 2024.
Sepengamatan penulis, masyarakat memperbincangkan hal tersebut di mana-mana dan bahkan sepertinya tak kenal waktu. Di mana satu dua orang berkumpul: di balai RT, RW, di pasar, dll, pasti membicarakan hal-hal tersebut.
Dan yang lebih ramai diperbincangkan di media massa (pers) dan dan yang lebih sarkartis media social. Masyarakat lebih banyak berpendapat bahwa lolosnya Gibran sebagai bakal Wapres tidak terlepas dari pengaruh Jokowi sebagai Presiden.
Masyarakat sangat kecewa terhadap Jokowi dan Gibran bahkan terhadap semua keluarga Jokowi atas keputusan Gibran maju sebagai bakal Capres Prabowo.
Majunya Gibran sebagai bakal Cawapres Prabowo, menurut penulis, pertama, Jokowi dan Gibran mengkhianati PDIP sebagai parpol yang membesarkan, mengusung serta memenangkan Jokowi menjadi Wali Kota Solo dua periode, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI dua periode. PDIP juga merupakan parpol yang mengusung dan ikut memenangkan Gibran menjadi Wali Kota Solo serta mengusung dan memenangkan Boby Nasution, adik ipar Gibran menjadi Wali Kota Medan, Sumatera Utara.
Tidak lama seusai dipanggil Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri karena bertemu Prabowo di Solo saat Lebaran 2023 yang diduga Prabowo menawarkan Gibran menjadi calon wakilnya sebagai Presiden, Gibran menyampaikan kepada public bahwa ia tegak lurus kepada PDIP dan Ketua Umum PDIP.
Tidak hanya itu, bahkan Gibran menyampaikan pengumuman di media social Tiktok bahwa masyarakat harus coblos PDIP dan Ganjar pada Pemilu Februari 2024. Namun, ternyata itu semua tipuan Gibran, dimana kenyataannya ia maju sebagai pendamping Prabowo yang merupakan musuh ayahnya dalam dua kali persaingan Pilpres yakni 2009 dan 2014. Jokowi dituduh keturunan PKI dan berijazah palsu, PDIP selalu tampil membela kakek dari Jan Ethes itu.
Kedua, majunya Gibran sebagai pendamping Prabowo, menurut penulis Jokowi dan Gibran tidak ber-etika.
Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruk.
Penerapan norma ini sangat erat kaitannya dengan sifat baik dan buruknya individu di dalam bermasyarakat. Etika mencakup nilai yang berhubungan dengan akhlak individu terkait benar atau salahnya sesuatu hal.
Kalau Gibran beretika, Gibran meminta izin atau memberitahu kepada PDIP, paling tidak sebulan atau seminggu sebelum diumumkan parpol koalisi pendukung Prabowo untuk maju sebagi bakal Wapres Prabowo. Namun, kenyataanya sampai saat ini Gibran belum panit serta mengembalikan kartu anggota PDIP.
Selanjutnya, kalau Jokowi taat etika tentu tidak merestui Gibran maju sebagai bakali Capres dari Prabowo, karena PDIP sendiri sudah memajukan pasangan Ganjar-Mahfud. Jokowi harus mengakui dan menyadari akan jasa besar PDIP atas dirinya, anaknya Gibran dan menantunya Boby Nasution.
Ketiga, menurut penulis dengan maju Gibran sebagai bakal Wapres Prabowo yang direstui Jokowi yang sejak dilantik menjadi Presiden RI mendengungkan “Revolusi Mental” ini, secara tidak langsung bersama anaknya Gibran mengajarkan masyarakat Indonesia terutama anak-anak muda Indonesia untuk mengabaikan etika dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Padahal, seharusnya Jokowi sebagai Presiden RI dan Gibran sebagai Wali Kota merupakan sumber ajaran etika dan moral. Pakar etika dan moral, Franz Magnis Seseno mengatakan, semua pejabat public termasuk anggota DPRD dan DPR merupakan sumber ajaran moral.
Rusak Wibawa Hukum
Selain masalah etika, masalah paling utama majunya Gibran sebagai bakal Wapres Prabowo adalah rusaknya wibawa Indonesia sebagai negara hukum. Putusan MK atas gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 sungguh menabrak ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pemohon uji materi dalam perkara ini ialah Almas Tsaqibbirru Re A tercatat dalam putusan sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (FH UNSA).
Almas mengajukan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Beberapa peraturan perundangan yang dilangar hakim MK dalam memutus perkara a quo, antara lain, pertama, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana pasal 17 ayat (3) menyatakan,”seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”. Namun, yang terjadi paman Gibran, Anwar Usman justru ikut memeriksa dan memutus perkara a quo.
Kedua, dalam Hukum Acara MK sendiri menegaskan, hakim MK harus mengundurkan diri persidangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang ada hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Ketiga, MK memutus perkara a quo melampaui kewenangannya, karena memutus perkara di luar kewenangannya sebagai negative legislator. MK tidak berwenang untuk menambah serta mengurangi isi undang-undang yang merupakan kewenangan dari pembuat undang-undang yakni DPR dan pemerintah.
Keempat, putusan MK atas perkara tersebut sebagaimana dikatakan pakar Hukum Tata Negara, Yusril Izha Mahendra bahwa putusan MK tersebut mengandung penyelundupan hukum. Pasalnya putusan tersebut bukanlah putusan yang bulat, dimana ada empat hakim menyatakan dissenting opinion, dua hakim menyatakan concurring opinion, dan tiga hakim yang setuju.
Menurut Yusril, argumentasi yang dirumuskan dalam concurring opinion oleh dua hakim dalam putusan tersebut cenderung ke arah dissenting opinion dan bukan concurring opinion. Karena yang dissenting dibilang concurring maka Yusril menyebut putusan tersebut sebagai penyelundupan hukum. Kalau yang concurring itu benar-benar dissenting, putusannya itu 6-3, 6 dissenting dan tiga hakim setuju. Berarti ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Ada dua orang hakim yang menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion) yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh.
Menurutnya Enny dan Daniel menyatakan tidak setuju semua kepala daerah yang pernah atau sedang menjabat kepala daerah berusia di bawah 40 tahun bisa mendaftar sebagai capres atau cawapres.
Enny membatasi hanya Gubernur yang pengaturan lebih lanjutnya harus diatur oleh pembentuk Undang-Undang. Sedangkan Daniel, mengatakan cukup gubernur tanpa ada penjelasan lebih lanjut harus diatur oleh pembentuk undang-undang.
Dari pendapat dua hakim tersebut berarti Gibran belum layak maju sebagai wapres karena masih menjabat sebagai Wali Kota, belum Gubernur.
MK dibentuk merupakan salah satu amanat reformasi. Dengan adanya putusan hakim-hakim MK yang menabrak UU Kehakiman dan Hukum Acara MK sendiri justru merubuhkan keberadaan MK sebagai buah dari Reformasi 1998. Bentuk nyata rubuhnya kewibawaan MK adalah MK dipleset masyarakat dengan sebutan Mahkamah Keluarga.
Solusi
Agar wibawa Indonesia sebagai hukum tetap kokoh maka, pertama, Majelis Kode Etik Majelis Konstitusi (MKMK) harus memberikan sanksi tegas kepada Anwar Usman dengan memberhentikan dari hakim MK. Menurut penulis Anwar Usman sudah melanggar sumpahnya sebagai hakim MK dan telah melakukan perbuatan tercela.
Pemberhentian Anwar Usman dari hakim MK sangat penting mengingat bukan tidak mungkin terjadi sengketa Pilres antara pasangan Prabowo-Gibran versus pasangan lainnya. Saya menduga kalau Anwar Usman masih sebagai hakim MK bahkan masih sebagai Ketua MK akan membabi buta membela keponakannya.
Kedua, Gibran sebaiknya mundur dari pencalonannya sebagai bakal calon wapres Prabowo, karena terang-terangan politik dinasti dengan dugaan merekayasa putusan MK. Ketiga, kalau Gibran masih tidak tahu malu, tetap merasa diri benar dan tetap maju, penulis imbau seluruh masyarakat Indonesia tidak memilih pasangan Prabowo-Gibran, demi Indonesia Negara Hukum yang berwibawa. [Penulis adalah praktisi hukum dan dosen Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta]