January 9, 2025

Mitos Positivisme Hukum

0

Oleh: Haryatmoko,  Anggota AIPI Komisi Kebudayaan dan Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP (Kompas, 8/1/2025)

Polemik dan kecurigaan mencuat setiap kali proses penyelidikan, penyidikan atau penetapan tersangka kasus korupsi melibatkan pihak yang bukan lagi bagian kekuasaan. Tuduhan kriminalisasi muncul karena proses itu dicurigai sebagai intimidasi atau balas-dendam politik.

Jawaban penguasa sangat standar, seakan a-politis, dengan berteduh di balik argumen kepatuhan pada proses hukum. Ada dua bentuk jawaban penguasa. Pertama, ”KPK, Kejaksaan, dan Bareskrim itu independen”.

Padahal, akuntabilitas ketiga lembaga penegak hukum itu mudah sekali diperlemah oleh penguasa melalui: (i) tekanan politik; (ii) perubahan regulasi yang dapat menghambat independensi mereka; dan (iii) rekayasa persepsi publik terhadap kredibilitas mereka. Dengan kata lain, ketiga aparat penegak hukum itu sangat rentan dijadikan alat politik.

Jawaban kedua: ”Kita serahkan saja kepada proses hukum”; ”Biarkan hukum yang mengurusinya!”. Siapa pun yang berkuasa dengan mudah bisa mendapatkan informasi tentang dasar/bukti tuduhan pelanggaran itu. Maka, informasi itu efektif dijadikan sarana pembenaran diri untuk mementahkan kritik bahwa pemberantasan korupsi tebang-pilih.

Kedua jawaban itu cukup efektif karena masyarakat sudah dibiasakan dengan penegakan hukum yang menekankan prosedur hukum. Hukum dianggap sah jika diundangkan sesuai dengan prosedur dan kepastian hukum, yakni aturan harus jelas dan dapat diterapkan tanpa ambiguitas. Masalahnya, bukan hanya apakah sesuai dengan prosedur hukum, melainkan normativitas prosedur hukum itu bisakah menjamin rasa keadilan, bukankah normativitas itu rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan?

Formalisme hukum

Masalah ’normativitas prosedur hukum’ membuka celah bagi siapa pun yang kuat untuk menjadikannya alat intimidasi atau balas-dendam politik.

Sebagai koreksi terhadap proses peradilan yang terlalu menekankan prosedur tersebut, C Schmitt mengingatkan, sebaiknya penilaian hukum mendasarkan pada keputusan, bukan hanya pada norma. Schmitt mengkritik pandangan hukum positif, yang mengutamakan norma sebagai dasar hukum.

Menurut dia, norma tak memadai dalam situasi krisis karena norma dirancang untuk keadaan normal. Keyakinan ini bukan mau meniadakan kepastian hukum, melainkan mau membongkar dan menunjukkan bahwa dalam kepastian hukum masih ada berbagai pendakuan kesahihan penafsiran yang tergantung dari kepentingan pihak yang kuat.

Menurut Tebbit, ideal kepastian hukum berakar pada formalisme hukum (2000:26). Keprihatinan utama formalisme adalah sejauh hukum itu tertulis sehingga kurang mengenali jiwa, substansi, atau etika hukum.

Akibatnya, cenderung menafsirkan hukum sebagai sistem tertutup sehingga disebut positivisme hukum (bahasa Latin positum: sesuatu yang ditetapkan) karena hukum sebagai sesuatu yang ditetapkan dan dapat dipelajari berdasar- kan ’apa adanya’ (law as it is), bukan berdasar ’apa yang seharusnya ada’ (law as it ought to be). Dengan demikian, positivisme hukum memisahkan hukum dari moralitas sehingga dianggap tak memerhatikan nilai-nilai etis atau keadilan.

Pemisahan konseptual antara hukum dan moralitas ini memang bukan berarti mengabaikan moralitas, tetapi menegaskan bahwa keberadaan hukum tidak ditentukan oleh kebenarannya secara moral (HLA Hart, 1961; J Austin, 1832).

Maka, beberapa pakar hukum Indonesia sering menuduh etika itu abstrak dan subyektif, sementara hukum itu konkret dan obyektif. Mereka lupa bahwa etika bukan subyektif, tetapi intersubyektif karena diterima dan disetujui oleh subyek-subyek yang memiliki kesadaran moral memadai (L Kohlberg, 1981) yang berusaha memajukan keadaban publik dan keadilan.

Tanpa etika, rasa keadilan diabaikan

Cara penafsiran hukum yang mengabaikan etika sering menganggap faktor-faktor sosial (politik, hubungan pribadi, uang, kepentingan) seakan tidak relevan. Padahal, faktor-faktor itu ternyata lebih menentukan dalam pertimbangan proses peradilan.

Pengabaian terhadap faktor-faktor politik yang konkret itu, termasuk hubungan pribadi, kepentingan, dan uang, justru menyebabkan hukum mudah dijadikan alat kekuasaan. Dengan mengabaikan faktor-faktor konkret itu, realitas hubungan kekuasaan yang timpang ditutupi, padahal hukum sering digunakan untuk memperkuat status quo.

Melalui perdebatan ilmiah akan bisa diungkap bahwa sebetulnya penilaian pribadi sering mendahului ketetapan hukum.

Mengikuti aturan demi aturan mengandung bahaya mengabaikan rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus justru harus ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus itu dan manfaat bagi pengembangan proses yang adil, bukan dalam aturan-aturan formal yang seakan bisa disesuaikan dengan kasus.

Situasi konkret antusiasme masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi harus diperhitungkan. Semua bentuk proses hukum yang melawan antusiasme itu akan dianggap ’melukai hati’ masyarakat. Situasi psikologi massa yang positif untuk membangun keadilan semacam itu perlu masuk dalam pertimbangan hukum.

Di awal Reformasi, ada kasus peradilan pidana korupsi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2002) menyatakan terdakwa bersalah. Dan itu dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI, lalu diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (2004). Selama hampir satu hari, sebelum vonis, para hakim hanya membacakan apologi yang menyatakan bahwa peradilan telah mengikuti semua prosedur hukum.

Namun, akhirnya, terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan dengan alasan bahwa tindakannya tidak terbukti sebagai tindak pidana korupsi. Keputusan pengadilan itu mengecewakan banyak orang karena dianggap mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Salah satu hakim yang tak menyatakan dissenting opinon terhadap putusan itu, ketika ditanya alasannya, mengaku merasakan ada tekanan politik (political pressure).

Sebetulnya, akar seluruh prosedur hukum terletak pada penilaian di balik penalaran yang sering tidak terungkap jelas atau tanpa disadari (Tebbit, 2000:27), termasuk tekanan politik itu.

Hukum yang terlepas dari faktor-faktor politik konkret tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga menciptakan ketidakpuasan dan konflik sosial. Dalam konteks ini, perdebatan ilmiah sangat diperlukan untuk mengungkap penilaian yang sesungguhnya berlangsung di balik penalaran dari suatu argumentasi prosedur hukum itu.

Menghindari konflik kepentingan

Melalui perdebatan ilmiah akan bisa diungkap bahwa sebetulnya penilaian pribadi sering mendahului ketetapan hukum. Suatu penilaian sebelum proses penalaran ternyata lebih menentukan.

Oleh karena itu, perlu diangkat ke permukaan argumen yang disembunyikan dalam proses berpikir untuk membuat penilaian itu. Caranya, menggeser fokus logika hukum ke studi tentang faktor-faktor tersirat dan yang tidak disadari, padahal justru paling berpengaruh dalam menyeleksi langkah-langkah, kesimpulan dan keputusan para penegak hukum.

Faktor-faktor itu bisa politik, ekonomi/uang, persahabatan dan kedekatan (Tebbit, 2000:29). Faktor-faktor ini bisa menjebak penegak hukum ke dalam konflik kepentingan. Padahal, keadilan tidak bisa dilepaskan dari penilaian moral atau nurani para penegak hukum.

Integritas mereka dipertaruhkan. Maka, posisi etis seorang hakim harus jelas, misalnya, patuh pada judicial disqualification: tindakan seorang hakim mendiskulifikasi diri sendiri untuk berpartisipasi dan memutuskan sebuah perkara tertentu demi menghindari konflik kepentingan (S Hendrianto, 2018).

Posisi etis KPK mengambil bentuk conflict of interest recusal (investigative impartiality): kewajiban etik komisioner untuk mendiskualifikasi diri dari suatu kasus jika terdapat risiko yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap proses investigasi sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemandirian.

Masalah ’normativitas prosedur hukum’ membuka celah bagi siapa pun yang kuat untuk menjadikannya alat intimidasi atau balas-dendam politik.

Kedua posisi etis penegak hukum itu memperhitungkan dimensi etika sebelum putusan diambil dan akan menghindarkan mereka disetir oleh kekuasaan.

Pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk memverifikasi dan mendukung keputusannya (Tebbit, 2000:33). Jadi, keadilan dan kesetaraan hukum akan bisa lebih terjamin bila masuknya pertimbangan dari luar hukum dibuat tersurat dan sah.

Penilaian hukum jangan hanya mengandalkan pada silogisme, yaitu penegak hukum mengambil langkah berdasarkan prosedur formal hukum yang logis untuk menilai kasus khusus dari sisi norma umum sistem hukum yang menjadi acuan (Goyard-Fabre, 2004: 208).

C Schmitt mengingatkan pentingnya peran kekuasaan para penegak hukum, terutama kebebasan intelektual dan nuraninya. Dengan memperhitungkan penilaian para penegak hukum itu, yang sebetulnya justru paling menentukan, kedok kepastian hukum bisa disingkap.

Prinsip epikeia dan legislasi progresif

Positivisme hukum yang memisahkan moralitas dari hukum dalam pernyataannya ”keberadaan hukum tidak ditentukan oleh kebenarannya secara moral” (HLA Hart, 1961) harus dikoreksi.

Perlu disadari bahwa penekanan pada pemisahan hukum dan moralitas adalah soal analitis, bukan normatif. Maka, perlu mengintegrasikan pendekatan etika dalam penerapan hukum untuk mencapai tujuan keadilan. ”Ingat prinsip epikeia!”: ”kebajikan moral” memungkinkan seseorang untuk memahami kapan suatu aturan hukum harus ditinggalkan demi keadilan yang lebih besar (Aristoteles, Nicomachean Ethics, V).

Prinsip ini mengacu pada penerapan akal budi dan kebijaksanaan dalam menafsirkan hukum sesuai dengan niat pembuat hukum (rasa keadilan), terutama dalam kasus yang tidak diramalkan oleh hukum itu sendiri.

Memang, positivisme hukum mengutamakan aturan tertulis yang hanya mengakui hukum yang bersumber dari undang-undang (UU) atau peraturan resmi. Penekanan ini sangat rentan menjadi alat untuk mendukung sistem hukum yang represif. Maka, untuk membongkar mitos positivisme hukum ini perlu (i) diimbangi prinsip rule of law yang menghormati hak asasi manusia, dan (ii) mengkritisi hukum positif yang tidak adil melalui mekanisme judicial review.

Karena fokus pada hukum yang ada, positivisme hukum sering dianggap statis dan tidak peka terhadap dinamika masyarakat. Maka, perlu memperkuat akses publik terhadap proses pembuatan hukum dengan mengadopsi pendekatan legislasi yang progresif.

Pendekatan legislasi progresif merupakan pendekatan dalam pembuatan UU yang berfokus pada keberpihakan terhadap keadilan sosial, respons terhadap perubahan masyarakat, dan perlindungan hak-hak mereka yang terabaikan (Satjipto Rahardjo, 2006). Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hukum menjadi alat untuk memperbaiki ketidakadilan struktural dan merespons tantangan-tantangan baru.

Dengan legislasi progresif, menurut Baxi, hukum dituntut: (i) responsif terhadap perubahan sosial, menyesuaikan dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi; (ii) melindungi hak-hak individu dan kelompok rentan/minoritas: perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.

Kemudian; (iii) pembuatan UU dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan kelompok yang terdampak; (iv) pengambilan keputusan legislatif didasarkan pada penelitian, data, dan analisis yang komprehensif untuk memastikan kebijakan yang dibuat efektif (U Baxi, 2002).

Maka, untuk membongkar mitos positivisme hukum ini perlu (i) diimbangi prinsip rule of law yang menghormati hak asasi manusia, dan (ii) mengkritisi hukum positif yang tidak adil melalui mekanisme judicial review.

Pendekatan ini mencegah penyalahgunaan hukum oleh penguasa dan mengantisipasi tantangan di masa depan. Jadi, polisi, jaksa, KPK, dan hakim berperan dalam menumbuhkan ingatan kolektif bangsa, ingatan yang mau menagih ketidakadilan/kejahatan masa lalu yang belum beres.

Proses hukum yang mengabaikan rasa keadilan tak memedulikan aspek peda- gogis peradilan. Padahal, proses penegakan hukum bisa membantu mengusik kesadaran publik untuk becermin kadar keterlibatan dirinya. Setiap orang diajak untuk memeriksa nuraninya sehingga mencegah dorongan mengulangi kejahatan masa lalu dan penyalahgunaan kekuasaan tanpa kritik. Jadi, proses hukum yang fair memajukan keadaban publik.

Dalam teori hukum progresif Prof. Sucipto, antara lain, bahwa hukum itu mengalir dalam pergaulan masyarakat. Saya kira bukan hukum yang mengalir melainkan kesadaran moral yang tercermin dalam gejala sosial.

Gejala sosial itulah yang coba ditangkap secara maksimal oleh hukum, sejauh ia bisa, untuk ditetapkan sebagai norma hukum. Menarik mencermati keterangan jubir kpk kemarin terkait perbedaan perlakuan terhadap saksi dengan tersangka yang dipanggil oleh kpk.

Saksi yang dipanggil secara sah tetapi tidak hadir dapat dijemput paksa.  Catatannya adalah: jemput adalah refleksi tindakan moral, namun serentak menjadi norma hukum ketika diikuti kata paksa: “jemput paksa”. [Kompas, 8 Januari 2025].

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *