Tulis Ulang Sejarah Indonesia Harus Rujuk kepada Soekarno

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sedang berpidato.
Oleh: Frans Viky Djalong
JANGAN sekali-kali meninggalkan sejarah adalah judul pidato resmi Soekarno, sekaligus pidato terakhir sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, 17 Agustus 1966.
Apa perlunya pidato tersebut dibaca dan direnungkan kembali? Tujuan terpenting tentu adalah perlunya membaca sejarah Indonesia dari kacamata Soekarno.
Soekarno bukanlah semata tokoh nasional atau Soekarno yang diajarkan Orde Baru Suharto, sekadar proklamator, pembaca naskah kemerdekaan, didampingi Hatta.
Ketika hari ini, Prabowo dan Fadli Zon menulis kembali sejarah negara-bangsa, jangan berpura-pura lupa bahwa pandangan Soekarno tentang sejarah Indonesia belum benar-benar diajarkan di sekolah, apalagi diperkenalkan dalam masyarakat umum.
Setulus apapun niat penguasa, penulisan sejarah resmi tentu tidak akan sepenuhnya adil terhadap peran sedemikian banyak pihak, tokoh, parpol, dan ormas berbasis agama, etnis, daerah, kelas ekonomi dan golongan sosial.
Sepakat, tidak bisa tercakup semuanya. Karena itu, buku sejarah yang terhasilkan hanyalah parameter standar, berisikan tokoh, gerakan dan peristiwa, termasuk menetapkan periode dan nama periode itu.
Namun demikian, dari debat publik terkini, para profesor suruhan istana ini belum merujuk ke Soekarno sebagai sumber sejarah. Tentu Soekarno adalah pelaku sejarah terpenting, menggarap Indonesia merdeka di masa remaja dan masa muda, mendirikan negara 1945 lalu menjaga dan membesarkan negeri ini sampai 1966.
Sebagai warga negara dua generasi, ORBA dan Reformasi, sekaligus peneliti dan pengajar sejarah sospol Indonesia, saya berkesimpulan bahwa sampai saat ini para pelajar, mahasiswa dan bahkan para dosen ilmu politik sekalipun banyak belum berkenalan, apalagi membaca kumpulan tulisan, ceramah dan pidato sang pendiri negara ini (1921-1966).
Dalam seluruh tulisan, ceramah dan pidato itu Soekarno selalu menjelaskan sejarah Indonesia. Tercakup di dalamnya sejarah ekonomi-politik, sejarah budaya dan sejarah geopolitik Indonesia.
Tulisan dan ceramahnya padat berisi, renyah dan mudah dipahami.
Soekarno adalah sejarah Indonesia itu sendiri. Itu sebabnya putera sang fajar dicintai rakyatnya, diterima seluruh kekuatan politik dalam negeri dan dipercaya rakyat Asia-Afrika untuk menata dunia yang adil dan setara bagi seluruh bangsa, khususnya bagi bangsa-bangsa yang baru merdeka pasca Perang Dunia II.
Suharto tentu hormat pada Soekarno. Tapi sejarah membuktikan dia berkhianat dan membajak gelora revolusi itu untuk membangun militerisme dan mengerdilkan kedudukan Indonesia sebatas Asia Tenggara.
Keduanya tak bisa dibandingkan, apalagi disejajarkan. Soekarno menggarap Indonesia menuju Indonesia Merdeka dan menuntun bangsa ini tidak terpecah di dalam negeri dan berperan bagi dekolonisasi di dunia.
Sementara Suharto berperan penting dalam masa revolusi. Sambil menerjemahkan agenda revolusi Soekarno selama periode 1950-1966 sebelum mengambil alih kekuasaan Soekarno dengan menafsir secara sepihak isi kertas bernama supersemar itu.
Sekarang Prabowo dan sahabat dekatnya Fadli Zon, menteri Kebudayaan, tengah menulis sejarah resmi Indonesia.
Tapi apakah tulisan, isi ceramah dan isi pidato Soekarno telah dibukukan, dirujuk sebagai sumber sejarah terpenting di antara sumber-sumber lain?
Atau masih menggunakan muslihat Orde Baru yaitu membahas Soekarno dengan menjadikannya mitos atau berhala palsu tanpa mengajari generasi muda pikiran, perbuatan dan harapannya tentang Indonesia dalam sejarah bangsa-negara yang terus bergerak, terbentur dan berubah?
Menulis sejarah resmi harus dijadikan kesempatan berharga memberantas kesadaran palsu yang terbiasa menghubungkan Soekarno dengan partai politik tertentu atau nasionalisme kekeluargaan atau nasionalisme fasis yang justru paling dibenci seumur hidupnya. Termasuk Islam-fobia, Komunis- fobia dan militerisme.
Setidaknya berkenaan dengan Soekarno, penulisan tersebut dimulai dari risalah pidato presiden pertama ini. Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah, 1966. Lalu bergerak mundur dengan penanggalan penting: 1965, 1960, 1959, 1955, 1950, 1945.
Diteruskan dengan mencermati pikiran dan pengetahuan sejarah perjuangan bangsa melawan kolonialisme Belanda dan Imperialisme Barat. Dari “Fasisme adalah Politiknya dan Sepak Terjangnya Kapitalisme yang Menurun” 1941 menuju pernyataan sikapnya tentang kekuatan politik yang membentuk Indonesia dalam “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” 1926.
Di tengah kegaduhan dan kerusakan negara yang sedang berlangsung, Prabowo dan Fadli Zon jangan sekali-kali meninggalkan sejarah bangsa.
Setidaknya tidak lagi menggunakan tafsiran Orde Baru. Sekaligus mengoreksi pemahaman sejarah Reformasi yang semata dipertentangkan dengan Orde Baru dan tidak ditempatkan dalam spektrum sejarah bangsa yang digarap Sukarno dan generasinya.
Boleh jadi upaya ini adalah salah satu koreksi ideologi terpenting bagi Prabowo dalam tekadnya mengeluarkan Indonesia dari paradoks. Kesadaran palsu yang berlapis-lapis itu harus ditinggalkan. Atau sebaliknya Prabowo sendiri, juga kekuasaannya, tetap menjadi tawanan sejarah politik Orde Lama dan Orde Baru. [Penulis adalah peneliti di Universitas Gadjah Mada]