Ikut Campur Urusan Direksi, Presiden Harus Ganti Ketua dan Angggota Dewas BPJS TK
Oleh : Edi Hardum
SEKITAR sebulan setelah dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada Februari 2016, anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (TK) saling “berselisih” dengan lima anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS TK.
Permasalahannya, lima anggota Dewas BPJS TK ingin ikut campur dengan tugas dan wewenang dari direksi BPJS TK. Antara lain sosialisasi fungsi dan keberadaan BPJS TK harus dilakukan juga oleh Dewas BPJS TK, melalui seminar, simposium dan sebagainya. Padahal menurut direksi BPJS TK itu tugas direksi sebagaimana diatur dalam UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Hal lain diminta Dewas BPJS TK waktu itu adalah Dewas merekrut sendiri tenaga kerja pendukung atau sumber daya manusia (SDM) seperti tenaga sekretaris pribadi, sekretriat Dewas BPJS TK serta tenaga ahli masing-masing anggota Dewas BPJS TK.
Sepertinya “perang” antara Direksi BPJS TK dan Dewas BPJS TK, waktu itu “dimenangkan” oleh Dewas BPJS TK. Hal ini terbukti sejak awal Dewas BPJS TK menyelenggarakan seminar dan simposium nasional di hotel-hotel bintang lima di Jakarta dan sejumlah kota di luar Jawa, dimana sekali seminar bisa menghabiskan dana sekitar Rp 400 juta – Rp 500 juta, dalam rangka mensosialisasikan program BPJS TK.
Selain itu, tenaga kerja pendukung di Dewas BPJS TK sebagaimana disebutkan di atas direkrut langsung oleh Dewas BPJS TK, bukan oleh Direksi BPJS TK dalam hal ini Biro Umum.
Perekutan SDM untuk Dewas yang dilakukan oleh Dewas sendiri semakin telanjang dilihat publik ketika kasus pemerkosaan sekretaris anggota Dewas, berinisial RA yang diduga dilakukan atasannya lansung, Syafri Adnan Baharudin (SAB).
Ketika perempuan 27 tahun itu melapor kepada Ketua Dewas BPJS TK, Guntur Wijaksono, malah ia diberhentikan oleh Guntur Wijaksono, bukan oleh Direktur Umum dan SDM BPJS TK. Memang Guntur sendiri mengatakan kepada SP, RA tidak diberhentikan tetapi hanya diberhentikan sementara untuk beberapa minggu, karena supaya tenang dalam mengurus kasus dugaan pemerkosaan atas dirinya. Namun, RA kepada pers mengaku, ia diberhentikan oleh Ketua Dewas BPJS TK.
Yang lebih parah lagi, pengakuan seorang pejabat BPJS TK yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, RA bekerja di Dewas BPJS TK direkrut sendiri oleh Syafri.
Pengakuan RA bahwa ia dipecat Ketua Dewas BPJS TK membuktikan para sekretaris dan anggota Komite Dewas BPJS TK, diangkat sebagai tenaga kontrak oleh Dewas BPJS TK. Bukan melalui seleksi dan penyaringan oleh Biro SDM dibawah Direktur Umum dan SDM BPJS TK.
Padahal wewenang pengangkatan dan pemberhentian SDM BPJS TK termasuk Dewas BPJS TK merupakan wewenang Direksi BPJS TK, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3), poin c UU 24 Tahun 2011, yang menyatakan, direksi menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk mengangkat, memindahkan dan memberentikan pegawai BPJS serta menetapkan penghasilan pegawai BPJS.
Mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2011-2015, Chazali H. Situmorang, mengatakan, dugaan pemerkosaan sekretaris Dewas BPJS TK, RA, yang diduga dilakukan oleh anggota Dewas Syafri Adnan Burhanudin (SAB) menandakan ada persoalan tata kelola SDM dalam BPJS TK.
Menurut Chazali, Dewas BPJS TK, membuat Peraturan Dewas untuk merekrut personil (tenaga kontrak) untuk kepentingan pelayanan administrasi Dewas (Sekretaris dan anggota Komite) dan juga untuk memberhentikannya cukup dengan SK Ketua Dewas.
Akibatnya, kata dia, begitu mudahnya para sekretaris dan anggota Komite Dewas diangkat sesuai dengan “selera” dan kebutuhan anggota Dewas tanpa standar kompetensi yang jelas dan tidak transparan. Demikian juga begitu mudahnya diberhentikan.
Menuru Chazali, kasus pemberhentian (PHK) korban RA yang dilakukan oleh Ketua Dewas BPJS TK, tentu akan menjadi persoalan hukum karena hak tenaga kerja yang dirugikan. Dan tidak tertutup kemungkinan sang korban akan menuntut secara hukum Ketua Dewas BPJS TK yang telah melakukan pemutusan kontrak kerja terhadap korban. Seharusya korban dilindungi dan diberikan jaminan tidak di PHK sebelum persoalannya tuntas.
Di sisi lain, kata dia, tampaknya pihak manajemen BPJS TK, tidak ingin ambil bagian untuk menyelesaikan persoalan personil administrasi Dewas, karena prosesnya tidak melalui manajemen BPJS TK. “Mungkin mereka tidak mau konflik dengan Dewas,” kata dia.
Salah satu kegiatan yang dilakukan Dewas BPJS TK yang membingungkan masyarakat adalah pada tahun 2018, Dewas BPJS TK melakukan kajian pada lembaga perlindungan buruh swasta Jepang bernama Sharoushi. Entah apa yang dikaji Dewas BPJS TK pada lembaga ini tidak jelas.
Namun, sumber menyebutkan, awalnya biaya kajian itu cuma Rp 400 juta, kemudian membengkak menjadi Rp 1,2 miliar. “Entah apa yang dikaji, kita tak tahu. Namun, kalau benar mereka melakukan kajian, itu kan tugas Direksi bukan tugas Dewas,” kata seorang pejabat BPJS Ketenagakerjaan.
Ketentuan Undang-undang
Pasal 22 UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan, Dewan Pengawas berfungsi melakukan pengawasan ataspelaksanaan tugasBPJS.
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud Dewan Pengawas bertugas untuk: a.melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi; b.melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi; c.memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS. Selanjutnya (d) menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Dewan Pengawas berwenang untuk: a.menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS; b.mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi; c.mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; d.melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS; dan e.memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai kinerja Direksi.
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Dewan Pengawas sebagaimana disebutkan di atas diatur dengan Peraturan Dewan Pengawas.
Berdasarkan ketentuan UU tersebut, apa yang telah dilakukan Dewas BPJS TK sebagaimana disebut di atas terlalu berlebihan alias melanggar undang-undang.
Mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2011-2015, Chazali H. Situmorang, mengatakan, dugaan pemerkosaan sekretaris Dewas BPJS TK, RA, perempuan berumur 27 tahun yang diduga dilakukan oleh anggota Dewas Syafri Adnan Burhanudin (SAB) menandakan ada persoalan tata kelola SDM dalam BPJS TK.
Sang sekretaris diberhentikan oleh Ketua Dewas BPJS TK, bukan oleh Direktur Umum dan SDM BPJS TK. Rupanya para Sekretaris dan anggota Komite Dewas BPJS TK, diangkat sebagai tenaga kontrak oleh Dewas BPJS TK. Bukan melalui seleksi dan penyaringan oleh Biro SDM dibawah Direktur Umum dan SDM BPJS TK.
Dewas BPJS TK, membuat Peraturan Dewas untuk merekrut personil (tenaga kontrak) untuk kepentingan pelayanan administrasi Dewas (Sekretaris dan anggota Komite) dan juga untuk memberhentikannya cukup dengan SK Ketua Dewas.
Akibatnya begitu mudahnya para sekretaris dan anggota Komite Dewas diangkat sesuai dengan “selera” dan kebutuhan anggota Dewas tanpa standar kompetensi yang jelas dan tidak transparan. Demikian juga begitu mudahnya diberhentikan.
Kasus pemberhentian (PHK) korban RA yang dilakukan oleh Ketua Dewas BPJS TK, tentu akan menjadi persoalan hukum karena hak tenaga kerja yang dirugikan. Dan tidak tertutup kemungkinan sang korban akan menuntut secara hukum Ketua Dewas BPJS TK yang telah melakukan pemutusan kontrak kerja terhadap korban. Seharusya korban dilindungi dan diberikan jaminan tidak di PHK sebelum persoalannya tuntas.
Di sisi lain, tampaknya pihak manajemen BPJS TK, tidak ingin ambil bagian untuk menyelesaikan persoalan personil administrasi Dewas, karena prosesnya tidak melalui manajemen BPJS TK. Mungkin mereka tidak mau konflik dengan Dewas.
Kalau kita cermati UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS, secara nyata tidak ada tupoksi Dewas BPJS TK mengurusi SDM, apalagi merekrut langsung tenaga kerja. Pada pasal 22 tentang fungsi, tugas dan wewenang Dewas tidak ada norma yang menjelaskan fungsi, tugas dan wewenang terkait dengan rekrutmen personil BPJS TK.
Apa yang dilakukan Dewas sebagaimana disebut di atas sebenarnya dengan terang-terangan melanggar Pasal 52 huruf e UU 24 Tahun 2011 yang berbunyi,”Anggoata Dewas dilarang membuat atau mengambil keputusan yang mengadung unsur benturan kepentingan”.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 52 UU ini maka sanksinya tertera dalam Pasal 53 ayat (3) antara lain berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara dan atau pemberhentian tetap.
Ketua Dewas BPJS TK, Guntur Wijaksono, ketika dimintai komentarnya, tidak menjawab. Ia hanya menjawab agar SP datang ke kantornya. Direktur BPJS TK, Agus Susanto juga tidak berkomentar ketika ditanya.
Pertanyaan dengan adanya pelanggaran UU yang dilakukan Dewas BPJS TK seperti ini, siapa yang berwenang menindak ?
Berdasarkan Pasal 39 UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS ayat (1) menyatakan bahwa pengawasan terhadap BPJS TK dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan internal (Pasal 39 ayat 2) BPJS dilakukan oleh organ pengawas BPJS yang terdiri atas, Dewan Pengawas dan satuan pengawas internal.
Sedangkan pengawasan eksternal BPJS sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga pengawas independen.
Dalam kasus disebut di atas, yang harus segera turun tangan dan membenahi bahkan memberi sanksi Dewas BPJS TK adalah, pertama, DJSN. Pimpinan dan anggota DJSN tentu tidak hanya terima gaji buta setiap bulan. Harus menjalankan tugas.
Kedua, Direksi BPJS TK sendiri harus “berteriak” kencang ke masyarakat bahwa pimpinan Dewas dan angota Dewas BPJS TK melanggar ketentuan UU. Dalam permasalahan sekarang Direksi BPJS TK segera mengadakan pertemuan dengan Dewas BPJS TK agar setop berbuat menyimpang dari undang-undang. “Jangan menunggu alam yang menyelesaikannya. Jika alam yang menyelesaikannya, semua akan jadi korban yang salah maupun yang tidak bersalah,” kata Chazali.
Ketiga, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya segera memanggil Ketua dan anggota Dewas BPJS TK dan menegurnya. Bila perlu diberhentikan dengan tidak hormat. Presiden juga harus panggil Ketua DJSN serta memberikan peringatan keras ! Semoga !