November 22, 2024

Belum Ada Aturan Hukum untuk Melindungi Transportasi Online

0

Endang Yuniastuti saat mempresentasikan isi bukunya berjudul,”Pola Kerja Kemitraan di Era Digital” secara live streaming dari Inovation Room, Gedung Kemnaker, Jakarta, Rabu (2/9/2020).

Jakarta, Topvoxpopuli.com [TVP] – Dalam membangun kemitraan harus memperhatikan prinsip-prinsip kemitraan antara lain kesetaraan, saling menguntungkan, transparansi, dan trust (saling percaya). Kesetaraan dan saling menguntungkan di sini, tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing.

Demikian dikatakan Endang Yuniastuti dalam bukunya berjudul,”Pola Kerja Kemitraan di Era Digital” saat peluncuran secara live streaming dari Inovation Room, Gedung Kemnaker, Jakarta, Rabu (2/9/2020).

Buku karya Endang yang bekerja sebagai ASN di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ini merupakan disertasinya ketika meraih gelar doktor di Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Tambil sebagai pembahas dalam peluncuran buku tersebut adalah Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah; Arzeti Bilbina, anggota Komisi IX DPR; Muhammad Aditya Warman, Dewan Pengawas BPJamsostek; Budi Setiyadi, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan; Eddy Satria, Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha, Kementerian Koperasi dan UKM; dan Adi Putera Widjaja (CEO Pigijo) sebagai moderator.

Ida Fauziyah dalam pemaparannya mengatakan, dengan pendekatan sharing economy, buku ini pantas dijadikan rujukan khususnya bagi perusahaan aplikasi dan pelaku bisnis dalam mengembangkan skala ekonomi yang lebih luas.

“Bagi pemerintah, telaah dan kajian yang disajikan dalam buku ini akan menjadi bahan masukan dalam penyusunan regulasi terkait pola kerja kemitraan, khususnya pada sektor transportasi roda dua berbasis online, yang sampai saat ini keberadaannya belum dilegalkan,” kata Ida.

Menurut Endang, diperlukan ruang bargaining antara pihak yang bermitra agar tidak terjadi asimetris informasi dan hak serta kewajiban pihak yang bermitra, tertuang dengan jelas dan seimbang pada perjanjian kemitraan yang disepakati.

Walaupun di era digitalisasi, semua pekerjaan telah diatur oleh mesin, yang dinamakan sistem aplikasi. Namun sebenarnya ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan sistem aplikasi. Apalagi pekerjaan dalam bidang transportasi online, karena berhubungan erat dengan human (manusia).

Sebuah model baru, yang hasilnya tidak hanya memberikan kesejahteraan dan perlindungan sosial kepada mitra, tetapi juga memberikan keamanan dan kelangsungan bisnis bagi perusahaan, mendukung hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. “Sehingga eEvery body is the winner,” kata dia.

Endang mengatakan, kemajuan teknologi memungkinkan terjadinya otomatisasi hampir di semua bidang. Perubahan berlangsung sangat cepat dan harus direspons secara terintegrasi, komprehensif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan politik global, yaitu sektor publik, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil.

Salah satu bentuk perubahan yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi digital. Ada kekacauan yang muncul, sebagai dampak ekonomi digital pada pasar kerja, standar kerja, pengupahan, dan ketrampilan yang dibutuhkan.

Standar-standar regulasi dan hukum yang telah ada atau yang sedang dikembangkan, ditantang oleh meningkatnya ekonomi digital. Dampak positipnya antara lain peningkatan akses informasi, sedangkan dampak negatif di antaranya peningkatan kerja tanpa standar.

Ekonomi digital yang tengah menggeliat di Indonesia juga melahirkan satu konsep pekerjaan baru, yang berbasis tehnologi digital.

Transportasi Online

Fakta sosial ini menghadirkan peluang sekaligus persoalan dalam masyarakat. Mereka yang peka akan menjadi pemenang. Sebaliknya mereka yang abai akan ditinggal jauh. Seperti halnya yang terjadi dalam sektor transportasi online.

Kelahiran transportasi online roda dua menjadikan peluang besar bagi kehidupan ekonomi (pekerjaan). Namun menjadi masalah serius karena negara belum menyiapkan perangkat hukumnya. Kokosongan hukum pun dapat menjadi pemicu masalah besar.

Akibatnya konflik kepentingan antara perusahaan dan mitra tenaga kerja (mitra pengendara) selalu muncul. Belum lagi ditambah kecemburuan sosial yang menimpa masyarakat ojek pangkalan (konvensional).

Ada perjanjian kerja kemitraan dengan sistem sharing economy dalam sistem ini. Sharing economy antara pihak yang bermitra sebenarnya merupakan urusan pribadi (private area) pihak yang melakukan kesepakatan. Mitra Pengendara berada pada posisi yang lemah karena membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan harus beraktivitas di jalan raya yang penuh risiko.

Bagaimana pun proses perjanjian kerja kemitraan tersebut terjadi dalam suatu negara. Jadi, pemerintah wajib hadir dalam bentuk regulator sehingga perjanjian kerja kemitraan yang dihasilkan bisa lebih berkualitas dan lebih bermakna, tidak sekadar slogan.

Saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang perjanjian kerja kemitraan pada industri digital dengan sistem sharing economy dan belum ada regulasi yang menyatakan bahwa sepeda motor (kendaraan roda dua) merupakan transportasi umum (publik). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak bisa memayungi jika terjadi permasalahan dalam pola kerja kemitraan. Kondisi saat ini, antara mitra tenaga kerja dan operator pemilik aplikasi tidak pernah setara, sebagaimana disyaratkan dalam sebuah kemitraan.

Endang Yuniastuti, dalam penelitian disertasi saat meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fisipol – Universitas Indonesia menemukan hubungan berjalan asimetris. Kondisi serupa juga terjadi pada mitra tenaga kerja di sektor lain, semisal layanan bersih-bersih, perawatan kebugaran dan kecantikan, perbaikan perkakas dan layanan mengantar barang.

“Kerumitan akibat dari kosongan hukum pada sektor transportasi online, khususnya ojek online berlipat. Sebab, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebut sepeda motor tidak termasuk sebagai moda angkutan umum,” jelas. Padahal, ada ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan ojek online mengaspal di jalan raya, dari Aceh sampai Papua.

Penerapan pola kerja kemitraan dengan sistem sharing economy pada industri transportasi on line, juga menimbulkan berbagai persoalan perlindungan sosial. Dalam pelaksanaannya, perlindungan sosial berkaitan dengan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya. Dengan demikian pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan penyelenggaraannya dan ikut serta membiayainya.

Melalui sebuah penelitian lapangan dan kajian mendalam, Endang menyusun sebuah buku yang berupaya menyuguhkan solusi. “Siapa yang harus bergerak dan ke mana gerak itu harus diarahkan, agar tak lagi ada asimetris hubungan, sebaliknya tercipta keterbukaan atau trust relationship,” lanjut Endang. [TVP/David]

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *