November 21, 2024

Oleh : Dahlan Iskan

DESA ini sunyi dan sepi. Letaknya yang di pegunungan menambahnya teduh dan damai. Memasuki batas desa ini tidak terlihat ada manusia. Di jalan maupun di sepanjang mata bisa memandang: yang terlihat hanya rimbunan pohon bambu, tebing, jurang dan bukit.

Sampai di persimpangan jalan kecil itu tiba-tiba terbaca tulisan tangan merah berukuran mencolok: Wadas Menolak.

Itu di pojok kiri. Di pojok kanan ada lebih banyak tulisan. Semua bernada perlawanan. Di pojok sebelahnya lagi ada gardu dari bambu. Ada gambar besar Gus Dur di situ. Dilengkapi kalimat yang pernah diucapkan mantan Ketua Umum PBNU dan Presiden ke-4 RI itu:  tujuan politik tertinggi adalah untuk kemanusiaan.

Saya cukup lama berhenti di simpang empat ini. Tidak ada orang lewat. Rupanya Desa Wadas merupakan desa terakhir di jalan itu. Di belakangnya sana sudah gunung batu.

Seluruh jalan di desa ini berada di antara tebing dan jurang. Tebingnya tidak tinggi. Jurangnya tidak dalam. Tebingnya penuh tanaman. Jurangnya juga penuh tanaman. Ada sengon, jati, durian, rambutan, dan terutama bambu apus. Tidak ada satu jenis tanaman yang dominan.

Jarak antar rumah di Desa Wadas berjauhan. Hanya satu dua yang bersebelahan. Itu yang ikut membuat suasana yang sunyi.

Saya pun melewati satu toko. Tidak jauh dari situ ada masjid. Itulah Masjid Winong. Ke halaman masjid inilah Gubernur Ganjar Pranowo datang kali pertama: menemui penduduk yang pro penambangan batu di Desa Wadas. Itu tanggal 9 Februari 2022.

Saya terus ke arah gunung batu. Terlihat ada masjid yang lebih besar: Masjid Krajan. Ada tiga anak muda keluar dari masjid itu. Mobil saya pun masuk ke halaman masjid. Saya hentikan langkah tiga anak muda itu. Ia berjalan beriringan meninggalkan masjid sambil membawa baju lusuh.

“Mau ke mana?” tanya saya.

“Mau ke sungai, cuci baju,” kata salah satu dari mereka.

Lalu muncul beberapa orang lagi. Pemilik rumah di depan masjid itu juga muncul. Itulah Kiai Nur yang sejak dua minggu lalu menggantikan Kiai Syamsu Bahri yang meninggal dunia.

Saya abaikan sebentar Kiai Nur –khawatir tiga anak muda itu berlalu. “Saya mau ikut kalian ke sungai. Ingin lihat kalian mencuci baju,” kata saya.

Yang sebenarnya: saya ingin lebih banyak bicara dengan mereka.

“Karena Pak Dahlan mau ikut, baiknya lewat sana saja. Lebih mudah,” ujar Kiai Nur.

Mereka pun balik badan –menuju jalan sempit di sebelah masjid. Kiai Nur ternyata ikut juga.

Ada jembatan kecil di ujung gang sempit itu. Jembatan itu hanya selembar 1 meter tapi terlihat kukuh. Melengkung melintasi Sungai Juweh. Airnya agak keruh karena memang lagi musim hujan. Batu-batunya tidak banyak –mungkin sudah diambili untuk bangunan.

Ke sungai itulah tiga anak muda tadi turun. Di situ pula mereka akan mencuci baju dan celana. Juga sekalian mandi pagi.

Itu belum jam 08.00 Senin pagi kemarin –dua jam setelah saya berangkat dari Kaliurang, Yogyakarta. Rupanya itulah waktu para petani ke ladang atau ke sawah. Makanya sepi.

Saya ngobrol dengan Kiai Nur di atas jembatan itu. Sambil sesekali melirik ke bawah, ke mereka yang mencuci baju. Lalu datang menyusul seorang muda lain.

“Lahir di sini?” tanya saya.

“Tidak. Saya lahir di Jogja. Saya pengacara penduduk di sini, ujar Ashadi Eko. Ia lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. “Saya adik angkatan Pak Ganjar,” katanya.

Kami bergegas meninggalkan jembatan itu. Sudah saatnya tiga pemuda tersebut bertelanjang mandi di sungai.

Mereka itu adalah pengurus pusat PMII –organisasi mahasiswa NU. Yakni dari bagian advokasi. Satu berasal dari Tual (Maluku), satu lagi dari Pamekasan, dan yang ketiga dari Situbondo. Mereka mendampingi warga yang merasa tertekan sejak peristiwa 8 Februari 2022. Kini keadaan sudah cair. Mereka segera balik ke Jakarta.

Sungai Juweh inilah yang memisahkan pedukuhan sebelah sini dan pedukuhan di sebelah sana. Beda posisi beda sikap. Yang sebelah sini banyak yang setuju penambangan. “Mereka kurang terdampak,” ujar Kiai Nur.

“Awas pak, licin,” ujar Ashadi ketika saya akan menuruni jembatan. Istri saya menunggu di mobil, atau ngobrol dengan Bu Nyai di depan masjid.

Ashadi sudah beberapa hari terakhir tinggal di Wadas. “Saya memerlukan surat kuasa dari mereka,” kata Ashadi.

Yang dimaksud ”mereka” bukanlah rakyat yang menolak penambangan batu di situ. “Ini khusus surat kuasa dari yang pernah ditahan, ditekan, dan di…,” katanya. “Mungkin hanya 15 orang. Itulah yang masih bisa dilakukan visum. Sudah keburu lewat beberapa hari,” katanya.

Besok Ashadi ke Jakarta. Ke Mabes Polri. “Saya akan sampaikan kronologi peristiwa Wadas yang sebenarnya,” ujar Ashadi.

“Seberapa tebal laporan itu?”

“Tipis sekali. Hanya beberapa halaman. Mungkin hanya 4 halaman,” jawabnya.

“Seberapa beda dengan laporan kronologi yang dibuat Kiai Imam Aziz dari Tim Gusdurian?”

“Saya belum membaca laporan Kiai Imam. Tapi ini hanya khusus yang mengalami peristiwa secara fisik,” jawabnya.

“Anda juga warga NU?” tanya saya ke Ashadi.

“Iya. Saya nunut udut,” kelakarnya. NU memang biasa dieplesetkan dengan nunut udut (ndompleng ikut merokok) lantaran banyak orang NU yang perokok berat.

Saya terus menelusuri jalan desa ini. Saya lihat banyak yang menjemur irisan bambu ukuran tipis-tipis di teras rumah. Itulah bahan baku untuk membuat besek –kotak terbuat dari anyaman bambu.

Hampir semua wanita di Desa Wadas jadi perajin besek. Bahan baku melimpah: bambu apus. Yang bisa diiris-iris sampai setipis kain. Ada mobil pikap yang mengumpulkan besek yang sudah siap jual: satu pasang besek Rp 1.700 (wadah dan tutupnya). Begitu murah harganya –membuat mereka bertahan menghadapi besek modern berbahan dari plastik.

Sampailah saya ke sebuah rumah di pinggir parit. Dinding depannya penuh gambar dan tulisan. Pun di dinding sampingnya. Saya lihat seperti ada tulisan yang berbentuk puisi. Maka saya baca tulisan itu, dengan gaya seorang penyair amatiran. Lihat videonya di IG saya.

Setelah itu saya duduk di badug parit sebelah rumah. Ngobrol dengan warga di sekitar parit.

“Mana gunung batunya?”

“Itu, di belakang rumah puisi itu,” jawab salah satu dari mereka. Mereka menyebut jarak gunung batu dengan rumah puisi tersebut hanya 20 meter. Rasanya lebih sedikit.

Saya disuguhi buah-buahan hasil pekarangan: rambutan dan kepel. Rambutannya manis. Kepelnya seperti kesemek. Waktu kecil saya tidak pernah mau makan kepel di halaman rumah kakek buyut di pesantren Takeran. Kemarin saya memakannya.

Mata saya pun tertatap pada bibit-bibit pohon buah. Aneka pohon. Dijejer di pinggir jalan. Banyak juga bibit durian.

“Itu bibit durian apa saja?”

“Ada bawor, ada yang tidak berbiji,” jawab petani itu.

“Hah? Tidak berbiji?”

“Ada. Tapi bijinya kempeng tipis,” katanya.

“Berapa harganya?”

“Bapak ambil saja. Semua. Gak usah bayar,” pintanya.

Saya pun mengambil empat. Yang tidak berbiji itu. Istri saya lebih cekatan menangkap sinyal. Ia slempitkan sesuatu di sakunya.

“Apakah hari itu Anda tidak takut?” tanya saya mengenai hari yang mencekam itu.

“Takut sekali. Saya lari ke bukit,” jawabnya.

Di bukit itu ada sebuah rumah bambu. Isinya orang tua, wanita, yang lagi sakit. Ia langsung tidur di sebelah nenek yang lagi sakit itu.

Tak lama kemudian datang petugas mengetuk pintu.

“Kami lagi menunggu orang sakit,” jawab petani itu.

Si petugas, katanya, mengintip dari lubang dinding bambu. Lalu pergi.

Sampai jam lima sore ia di ranjang nenek sakit itu. “Lapar sekali, tapi saya tahan,” katanya.

Pukul 17.00 keadaan baru tenang. Ia pulang.

“Nenek itu sampai sekarang masih sakit?”

“Masih. Memang sudah tua sekali,” jawabnya.

Saya sebenarnya ingin berhenti di tiap rumah. Menikmati kata-kata, gambar-gambar, dan komik yang kritis nan jenaka. Tapi saya harus pulang. Saya hanya mampir ke sini. Saya ingin pulang lewat Selo –selangkangan dua Mer itu, Merapi dan Merbabu. Dulu, ada selangkangan satu Mer lagi: Anda sudah tahu.

Saya pun pamit keKkiai Nur.

“Bisa dapat nomor telepon?” tanya saya.

“Hemmmm…”, gumamnya sambil seperti meraba-raba sarungnya. “Handphone saya disita…,” katanya.

Ia pun bercerita. Di hari yang mencekam itu ia pilih tinggal di masjid. Bersama lebih 100 orang. Mereka mujahadah –berdzikir sepanjang hari. Dengan begitu mereka tidak akan ditangkap. “Yang keluar masjid untuk wudu saja ditangkap,” katanya.

Kiai Nur terhindar, tapi HP-nya belum kembali. Hanya saja anak lelakinya yang sempat dibawa petugas. Satu hari satu malam. Ia, kata sang bapak, sial saja. Ia sebenarnya lagi mondok di Pondok Lirboyo Kediri. Umurnya 25 tahun. “Hari itu anak saya pulang ke Wadas karena kakak saya, Kiai Syamsu meninggal dunia,” kata kiai Nur. Kini sang anak sudah kembali ke Lirboyo.

Menurut Kiai Nur, penduduk dukuhnya itu memang mayoritas NU. Ada spanduk besar bergambar pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, di simpang jalan dekat masjid. Tiga hari setelah ke ”masjid pro’,’ Gubernur Ganjar datang ke masjid Krajan ini.

Kiai Nur sendiri dulu belajar di Pondok Pesantren Raudlatut Tholabah, di utara Genteng, antara Banyuwangi dan Jember. Demikian juga saudara-saudaranya.

“Kalau tidak bisa ambil batu dari Wadas, proyek bendungan Bener bisa dapat dari mana?” tanya saya.

“Saya dengar yang sudah diteliti amdalnya ada empat lokasi. Jadi ada pilihan lain,” ujar Kiai Nur.

Ia menceritakan, mempertahankan gunung itu sudah wasiat dari leluhur. “Sejak zaman Belanda sudah ada niat menambang sesuatu di sini. Entah ada apa di dalamnya,” ujarnya. “Kami menolak. Ini sumber kehidupan kami,” katanya.

Bahkan Kiai Nur juga menyebut soal harga diri. Ini yang saya belum bisa menggali –harga diri seperti apa. Terkait dengan Perang Diponegoro? Yang pengikutnya banyak lari ke sini? Atau terkait dengan kemandirian penduduk desa ini yang tidak bisa disebut miskin?

“Di samping pohon kepel, di sini ada pohon sawo kecik?” tanya saya soal penanda pengikut Diponegoro.

“Dulu ada. Sudah mati,” jawabnya. “Nama Wadas sendiri berarti wadah satria,” ujarnya. Di Jawa orang memang pintar memaknai apa saja. Atau memang begitu.

Ashari menyebut Bendungan Bener perlu batu 8,5 juta m3. Tapi cadangan batu di Wadas 40 juta m3. Angka itu juga jadi persoalan. Dengan tafsirnya sendiri-sendiri.

Sambil pulang saya lihat mulai ada yang lalu-lalang di desa ini. Hari sudah siang. Enam wanita terlihat bergerombol di depan sebuah toko.

Mobil saya berhenti di situ. Ada mobil pikap dari arah berlawanan. Mobil itu penuh berisi besek. Salah satu harus berhenti dan minggir.

“Ibu bisa bikin besek berapa setiap hari?” tanya saya kepada siapa saja di kumpulan itu.

“Saya bisa bikin 20 buah,” ujar seorang wanita. Berarti Rp 35.000/hari. Wanitanya saja.

Sambil meninggalkan Desa Wadas saya pun tersenyum dalam hati: kok saya bisa sampai di sini ya? Kadang untuk merespons satu komentar di Disway bisa menghabiskan bensin Rp 1 juta. (Dahlan Iskan)

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *