DARI SEBUAH TULISAN “X”
Oleh: Goenawan Mohamad
PADA 1947, hanya dua tahun seusai Perang Dunia II, dan Jerman sang musuh utama takluk, dan Amerika Serikat tampil sebagai negara terkuat di dunia, seseorang yang menyebut diri “X” menulis di jurnal terkemuka, “Foreign Affairs”, edisi Juli. Nama misterius itu menandai isinya yang genting: “X” menunjukkan cara bagaimana Amerika harus menghadapi Uni Soviet, yang disikapi sebagai musuh utama baru.
Segera diketahui, “X” adalah George F. Kennan, waktu itu kepala staf bagian perencanaan Departemen Luar Negeri AS.
Artikel itu, “The Sources of Soviet Conduct,” adalah versi lain telegram diplomatik 8000 kata bertanggal 22 Februari 1946 yang disusun Kennan ketika ia jadi charge d’affairs di Kedutaan Besar AS di Moskow.
Seperti telegram panjangnya, “The Sources of Soviet Conduct”. mengandung perspektif Kennan yang suram dan beringas. Memang bukan seruan perang, tapi esei itu juga bukan memilih damai.
“X” mengemukakan satu saran: AS mengalahkan Uni Soviet jangan dengan menyerbu dan menumbangkan kekuasaan di Kremlin, seperti ketika Sekutu menghantam Jerman dan menduduki Berlin. Menurut “X”, AS mesti lebih tekun dan terukur. Soviet harus dikungkung — secara ekonomi, politik, dan militer — agar tak bisa berekspansi di mana saja.
Strategi ini kemudiaan terkenal sebagai “containment”: sebuah desain konfrontasi di mana saja Soviet dianggap mengganggu stabilitas yang dikehendaki Amerika.
Presiden Truman segera mengadopsi strategi “X”. Juga para presiden AS selanjutnya. “Containment” memproyeksikan sebuah ketegangan yang berkelanjutan.
Sebab bagi “X”, Uni Soviet tak mungkin hidup bersama secara damai dengan Barat. Pemerintah Komunis selalu mencurigai yang di “luar”. Jangan lupa pengaruhnya dalam partai-partai komunis sedunia. Lagipula Stalin selalu butuh suasana konflik: ia perlu mengendalikan rakyat dengan kontrol yang ketat.
Kennan alias “X” memandang Marxisme Soviet hanya penutup malu (fig leaf) buat ekspansionisme “yang merupakan bagian sejarah Rusia”. Negeri ini dirundung rasa tak aman yang lama, sebagai “sebuah bangsa penetap yang hidup di medan terbuka, dikelilingi bangsa-bangsa pengembara yang ganas”.
Dengan kata lain, sebuah sifat yang tak lekang oleh waktu.
Analisis Kennan kini akan dikecam sebagai pandangan yang “esensialis”, yang tak melihat pihak lain bisa berubah. Tapi di awal tahun 1940-an itu tampaknya tak dianggap problematis. Dalam sebuah tulisan di “Foreign Affairs” Mei-Juni 1994, Kissinger memuji: tulisan Kennan telah mengangkat persoalan hubungan dengan Rusia “ke tingkat filsafat sejarah”.
Tapi itulah soalnya. Filsafat sejarah menafsirkan kenyataan dunia dan menyimpulkannya dalam thesis-thesis yang tetap. Politik luar negeri sebaliknya: cenderung contingent, tergantung pada kondisi yang ada. Kesalahan Kennan adalah mengira “Uni Soviet” bukan sesuatu yang dalam proses.
Kennan tertarik kepada Rusia sejak remaja, sejak berkunjung ke rumah sepupu jauhnya yang juga bernama George Kennan. Kennan tua ini pernah menjelajah wilayah Rusia dan menulis buku, antara lain “Siberia and the Exile System.” Kennan kagum, tapi ia tak bisa meniru sepupunya sang petualang. Ia mencoba meninjau Rusia dengan cara lain.
Di tahun 1929, sebagai pegawai Departemen Luar Negeri, dua tahun lamanya ia mempelajari pemikiran, bahasa, dan kebudayaan Rusia di Universitas Berlin. Tak jelas apakah ia jadi memahami negeri itu. Dalam “The Wise Men: Six Friends and the World They Made”, Walter Issacson mengisahkan hidup Kennan dari masa ke masa. Menurut Issacson, sikap anti-Soviet Kennan bukan baru tumbuh dari pengalamannya sebagai diplomat di Moskow. “Sikap ini berakar sejak mempelajari Rusia dari jauh”.
Tapi tinjauan dari jauh itu tampaknya cocok dengan kecenderungan anti-Soviet — atau “komunistofobia” — yang mengendap dalam elite politik Washington. Sejak awal Revolusi Rusia, AS memusuhi negeri sosialis pertama itu. Baru 16 tahun setelah Revolusi Bolsyewik, Presiden Rosevelt mengakui Uni Soviet.
Bagi Kennan Rosevelt keliru — meskipun ia kemudian jadi seorang diplomat Amerika di Moskow.
Dari Moskow itulah ia menulis “Telegram Panjang” yang mengabadikan namanya —meskipun politik “containment”-nya bukan tanpa kritik dan perubahan.
Kaum sayap kanan Amerika menganggap “containment” tak tegas. Bagi mereka, yang harus dilakukan Amerika adalah “rollback”: menggempur mundur Kremlin dangan desakan militer dan diplomasi. Sebaliknya bagi pemikiran “kiri”, strategi Kennan tak berniat membangun perdamaian. Sementara kolumnis termashur Walter Lippman memperingatkan, containment hanya akan membawa AS ke dalam sengketa di mana-mana — dan itulah “Perang Dingin” —yang mengharuskan AS membangun aliansi juga dengan kekuatan yang tak jelas motif dan mutunya. Contohnya: dengan rezim Vietnam Selatan yang korup, yang akhirnya rubuh meskipun didukung sekuat-kuatnya oleh Washington.
Kennan sendiri kemudian menegaskan, idenya bukan seperti yang dipraktekkan pemerintah AS di masa belakangan — bukan mengutamakan kekuatan militer. Ketegangan dengan Soviet semestinya berlangsung dalam persaingan kekuatan politik dan propaganda.
Tapi apa lacur: aliansi militer dibangun, misalnya SEATO di Asia (yang bubar pada 1977) dan NATO di Eropa Barat (yang tetap dipertahankan ketika tak jelas lagi tujuannya).
Di mana batas “containment”? Bertahun-tahun Uni Soviet mencengkeram Eropa Timur dan mengikatnya dengan Pakta Warsawa. Agaknya itu yang dianggap “ekspansi”, meskipun Pakta Warsawa dibentuk untuk menghadapi NATO dan tak jelas sejauh mana ekspansi Soviet berlanjut konsisten. Seberapa kokoh pula?
Ketika Gorbachev memimpin di Kremlin, yang kokoh pasti bukan Tembok Berlin. Soviet membangunnya untuk mengurung rakyat Berlin Timur, tapi membiarkannya ketika dinding itu dirubuhkan. Juli 1991, Pakta Warsawa dibubarkan. Pada 1990 Gorbachev menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Dunia umumnya tak lagi, seperti Kennan di tahun 1940-an, melihat naluri “ekspansionis” Kremlin. Uni Soviet sudah terpecah-pecah. Yang kini ada Federasi Rusia.
Tapi ternyata “containment” berlanjut. NATO tetap. Bahkan aliansinya diperluas mendekati Rusia dan membangkitkan cemas. Juni 1997, 50 orang pakar terkemuka menulis surat ke Presiden Clinton memperingatkan: memperluas NATO adalah sebuah kesalahan sangat besar, “an error of historical proportion”, yang akan “mengguncang stabilitas Eropa”.
Surat itu tak dipedulikan.
Dalam Injil, Kitab Ayub memperingatkan, “Jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan…” Presiden Johnson, yang babak belur karena Perang Vietnam (perang itu juga satu bagian dari “containment”) pernah mengutip kalimat itu. Tapi tak berguna. Keinginan Ukraina masuk ke dalam NATO menunjukkan gelombang congkak itu bisa tak berhenti — dan Perang Ukraina 2022 meletus.
Sewindu yang lalu, dalam “The Washington Post” 5 Maret 2014, Kissinger mengingatkan, Ukraina bisa jadi jembatan antara Barat dan Rusia. Barat harus memahami bahwa bagi Rusia, Ukraina bukan negeri asing seperti yang lain. “Sejak berabad-abad yang lalu, Ukraina bagian Rusia”, tulis Kissinger. Ia agaknya salah di sini — Ukraina punya sejarah peradaban yang lebih tua — tapi sarannya tidak. Tulis Kissinger pula, “Kremlin harus tak memaksa Ukraina jadi negeri satelitnya.”
Memaksa mengulang kekuasaan di masa lalu — mungkin bukan itu niat Putin. Kini ia memang memilih jalan perang. Pilihan ini brutal dan aburd, tak jelas apa yang ingin dan bisa diperolehnya. Putin, otokrat yang tak mudah mendengarkan saran orang lain, presiden yang memasang jarak dengan meja enam meter dari tamunya, tak ingin tahu bahwa menggebuk Ukraina hanya akan sia-sia. Tapi kita tahu, Rusia punya luka hati dan rasa cemas yang sah. [Diambil akun Goenawan Mohamad]
.