Menaker Dinilai Tak Becus, Pekerja Tolak Potong Upah
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Para buruh dan pekerja menolak keras pemotongan upah hanya demi menghindari pemutusan hubungan kerja oleh pemberi kerja. “Kami menolak dengan keras kebijakan yang tidak berpihak kepada pekerja dan buruh itu. Menteri Ketenagakerjaan tidak becus,” kata Emelia Yanti Siahaan dari Gabungan Serikat Buruh Indonesia dalam acara konferensi pers di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Yang hadir dalam acara itu adalah perwakilan pekerja dan buruh dari sector tekaril, garmen,sepatu dan kulit.
Dalam acara itu mereka menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 5 Tahun 2023 yang mempekernakan pengusaha memotong upah pekerja hingga 25 persen dan bisa mengurangi jam kerja. “Itu aturan yang tidak benar. Kami tolak,” kata Emeliana.
Sembilan juru bicara dari 10 organisasi itu minta pemerintah mencabut Permenaker tersebut. ”Ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi atas upah,” tegas Emelia.
Ia mengatakan, upah adalah hak asasi, tidak boleh dinegosiasikan, bahkan dalam kondisi apapun. Alasan krisis ekonomi global sulit untuk dimengerti, dan alasan ini justru dipakai untuk melegalisasi pemotongan upah karena buruh dan anggota keluarganya justru adalah kaum yang paling terdampak krisis.
Menurut Emelia, Permenaker No.5 Tahun 2023 tidak memiliki dasar hukum keberlakuannya, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur soal pemotongan upah dan kewenangan Kemnaker untuk melegalisasi pemotongan upah.
Pada saat ini, UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 dan Perppu Nomor 2 tahun 2022 juga tidak bisa dijadikan dasar hukum berdasarkan putusan Makamah Konstitusi.
Bahkan, menurut Emelia, hadirnya Permenaker 5 tahun 2023 justru memperuncing potensi konflik antara serikat buruh dan pengusaha yang justru dapat mengganggu produktivitas dan kelancaran dunia usaha. “Karena itulah kami menilai Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tidak becus,” kata dia.
Ia mengatakan, Permenaker 5 tahun 2023 merupakan pelecehan terhadap hak dan peran SP/SB dalam perundingan kolektif sebagaimana amanat UU Nomor 21 Tahun 2000.
Hal ini, menurutnya, membuktikan Kemnaker gagal menjalankan amanat untuk menjadi pelindung buruh yang berada dalam posisi subordinat dalam relasi perburuhan. Alih-alih mengambil fungsi sebagai regulator aturan main yang adil, Kemnaker justru menjadi algojo pemotongan upah. [TVP]