Pemprov Bali Tertibkan Toko Souvenir Tiongkok di Bali
[DENPASAR] Menyusul dilakukannya penertiban terhadap toko-toko souvenir buatan Tiongkok ilegal, Bali Tourism Board (BTB) memprediksi terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok ke Indonesia khususnya Bali. Bahkan penurunan terhadap jumlah turis asal negeri Tiarai Bambu diprediksi akan berlangsung 3-6 bulan ke depan.
Ketua BTB, IB Agung Partha Adnyana bersama Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Anak Agung Gede Yuniartha Putra Minggu (18/11), mengatakan, awal bulan Desember, stakeholder pariwisata Bali di bawah payung Bali Tourism Board (BTB) dan Pemerintah Provinsi Bali akan melakukan Sales Mission ke Shanghai, Beijing, dan Tiongkok. Dalam Sales Mission tersebut rombongan yang dipimpin Wakil Gubernur Bali akan diberikan informasi yang benar tentang situasi dan kondisi kepariwisataan Bali.
Bali pun sedang gencar-gencarnya memperbaiki kualitas pelayanan terhadap wisatawan Tiongkok agar Bali bisa bersaing dengan kompetitor (destinasi lain) yang sama-sama ingin merebut pasar wisatawan Tiongkok. Komunikasi antara pemerintah daerah dan pemerintah Tiongkok melalui Konjen Tiongkok yang bertugas di Bali terus ditingkatkan.
Peningkatan kualitas pelayanan juga dilakukan antara lain, dengan memperbaiki tata niaga dan menghapus praktik “zero tour fee.” Juga menambah jumlah pramuwisata berbahasa Mandarin yang memiliki kompetensi dan memahami kebudayaan Bali.
Sejauh ini disinyalir 60% wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke Bali membeli paket “zero tour fee”, membayar paket wisata sangat murah karena paket wisata tersebut disubsidi oleh pihak lain dan dalam praktiknya banyak melanggar hukum. Dalam praktik “zero tour fee” ini juga tidak mengindahkan keselamatan (safety) wisatawan Tiongkok.
Dengan komunikasi yang intens antar Pemerintah Provinsi Bali dengan Pemerintah Tiongkok, diharapkan jumlah kunjungan wisatawan Tiongkok akan mulai meningkat sesuai dengan tata niaga yang lebih baik dan sehat. Komponen pariwisata di Bali diharapkan bersabar dan dapat mendukung kebijakan pemerintah yang berusaha keras menegakkan hukum dan perbaikan tata niaga kepariwisataan.
Rekomendasi
Sementara itu DPRD Bali telah mengeluarkan rekomendasi terkait rantai jaringan usaha asing yang berusaha di Bali. Salah satunya, menutup usaha yang tidak memiliki z maupun usaha yang sudah memiliki izin tetapi melakukan praktik yang tidak sehat. Rekomendasi ini tidak hanya berlaku untuk toko-toko jaringan mafia Tiongkok. “Kami merekomendasikan penegakan hukum secara keseluruhan dan bukan saja ke satu jaringan negara yang melanggar saja,” ujar Anggota Komisi II DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana.
Ia menegaskan, semua hal yang direkomendasikan DPRD dan diputuskan oleh pemerintah daerah pada intinya adalah penegakan hukum. Itupun sudah disepakati oleh seluruh stakeholder pariwisata pada saat rapat kerja yang digelar DPRD Bali melibatkan Wakil Gubernur Bali, komponen pariwisata, unsur kepolisian, imigrasi, serta OPD terkait pada 31 Oktober lalu.
Tapi saat ini justru beredar wacana, utamanya di media sosial, yang menyebut gubernur ngamuk bahkan tendensius kepada suatu negara yakni Tiongkok. “Wacana itu tidak benar. Gubernur hanya menegakkan rekomendasi serta keputusan yang telah diambil bersama dengan seluruh stakeholder kepariwisataan. Kami di Komisi II pun sudah beraspirasi ke Kementrian Pariwisata pada tanggal 8 November,” jelas Politisi PDIP asal Kota Denpasar ini.
Menurut Adhi Ardhana, aspirasi ke Kementrian Pariwisata adalah untuk menyampaikan ke negara-negara yang berkepentingan bahwa tidak ada rekomendasi ataupun keputusan yang tendensius kepada suatu negara. Bali justru tegas dalam penegakan hukum serta taat pada perundangan yang berlaku karena tidak mungkin melegalkan sesuatu yang salah.
Seperti pada kasus toko-toko jaringan mafia Tiongkok yang akhirnya ditutup, tidak hanya bermasalah pada perizinan. Toko-toko itu juga menjual barang yang tidak memiliki korelasi dengan pariwisata apalagi destinasi. “Investasi yang tidak sesuai peraturan, ada pelanggaran Undang-undang Ketenagakerjaan, dan seterusnya. Kalaupun berdampak tentu ini justru menunjukkan losses devisa kita bahkan jauh lebih besar, karena kegiatan resmi, sah justru hasil subsidi dari keuntungan hasil yang dapat dikatakan tidak sehat tersebut,” katanya. [MR/EH]