SUKIDI: The Critical Voice
Oleh: Dr.Zaprulkhan
SALAH seorang cendekiawan muslim yang berani melakukan kritik konstruktif secara terbuka kepada penguasa dan menyuarakan kegelisahan masyarakat luas secara argumentatif adalah Sukidi.
Akhir-akhir ini, kita melihat Sukidi selalu menyuarakan nalar kritis terhadap penguasa yang telah menyimpang dari amanah konstitusi atau bekerja hanya untuk kepentingan segelintir kaum elit penguasa itu sendiri.
Di tengah-tengah bungkamnya para cendekia, kyai, ulama, dan ormas terhadap persoalan bangsa dan penyimpangan elit penguasa, Sukidi justru melontarkan kritik-kritik tajam yang menyingkap selubung-selubung ideologis penguasa secara logis.
Ketika menyaksikan akhir-akhir masa kekuasaan Jokowi yang sudah menunggangi konstitusi dengan politik cawe-cawe secara vulgar, Sukidi melayangkan kritik terbuka secara argumentatif dalam tiga aspek.
Pertama, institusi hukum tidak lagi berdaulat secara penuh, tapi justru dimanipulasi oleh pemimpinnya sendiri. Sukidi memperkuat argumentasinya secara akademik dengan mengutip dua orang pakar ilmuwan politik dari Harvard University yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Menurut dua pakar tersebut, ada sebagian penguasa yang justru menjadikan hukum sebagai political weapon, senjata politik dalam menciptakan politik ketakutan dan politik intimidasi bagi lawan-lawan politiknya.
Kedua, bagi Sukidi dengan politik cawe-cawe, telah terjadi runtuhnya etika dan moral bangsa. Indonesia menjelma nation without soul, nation without character. Penguasa menciptakan suatu nepotisme secara terselubung, dengan sangat sophisticated, sehingga nepotisme kaum elit kini menjadi suatu kewajawaran dan kenormalan baru. Seolah-olah tidak ada yang salah di sana.
Dampak massif negatifnya: Hari ini, rakyat berada dalam kebingungan, tidak bisa lagi membedakan apakah nepotisme itu sebagai sesuatu yang benar atau salah, baik atau buruk. Batas-batas antara benar dan salah, baik dan buruk dalam ranah etika politik-demokrasi menjadi blur, menjadi remang-remang; sehingga banyak masyarakat yang kehilangan panduan moral untuk menilai dengan jernih mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk.
Sebagian masyarakat justru menjadi permisif terhadap berbagai penyimpangan moral politik-demokrasi. Penyimpangan moral politik justru menjadi suatu kebiasaan baru; menjadi suatu kenormalan baru. Seolah-olah tidak ada yang salah di sana.
Ketiga, politik cawe-cawe merusak norma demokrasi yang tidak tertulis yakni demokrasi butuh suatu institutional forbearance kesabaran institusional untuk tidak diintervensi oleh institusi lain. Penguasa tidak boleh melakukan intervensi terhadap institusi lain untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Politik cawe-cawe justru menjelma abuse of power, sebuah penyelewengan kekuasaan yang sangat vulgar dan brutal.
Ketika mendiskusikan pemerintahan baru Presiden Prabowo, Sukidi diajukan pertanyaan: Apakah kepemimpinan sekarang sudah mencerminkan kepemimpinan yang meritokrasi ? Sukidi dengan tegas menjawab bahwa kepemimpinan sekarang justru menggambarkan sistem kakistokrasi yakni pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang yang berintegritas rendah, tidak kompeten, tidak bermoral dan korup. Kepemimpinan bukan dijalankan berdasarkan visi besar yang visioner, kompetensi dan wisdom, tapi justru melalui nepotisme vulgar dan lemahnya moral politik elit penguasa.
Tatkala ditanyakan lagi: Bukankah pemerintahan yang baru melakukan politik merangkul agar terwujud sistem yang meritokrasi? Lagi-lagi dengan tegas Sukidi menjawab bahwa politik merangkul justru mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi. Prinsip meritokrasi berpijak pada kompetensi, integritas, visi,etika dan profesionalitas para pejabat yang ditunjuk. Dengan politik merangkul justru berlandaskan koncoisme, keluarga, dan kepentingan kaum elit penguasa.
Begitu juga menurut Sukidi, birokrasi sudah menjadi alat kepentingan politik penguasa. Kesetiaan para pejabat atau birokrat hanya kepada segelintir elit penguasa, bukan pada kepentingan publik, bukan pula kepentingan masyarakat secara luas.
Yang tampil ke permukaan birokrasi adalah semangat ndoroisme: para birokrat sibuk melayani kepentingan elit penguasa bukan untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, para penguasa semakin sejahtera, sedangkan rakyat semakin menderita.
Sewaktu ditanyakan lagi kepada Sukidi: Bukankah para elit penguasa harus saling kerjasama? Ya harus kerjasama, tapi bukan untuk kepentingan para elit penguasa sendiri. Sukidi secara global menawarkan kerjasama dalam tiga aspek terutama untuk kesejahteraan bagi fakir miskin dan rakyat seluas-luasnya.
Pertama, memberikan pendidikan terbaik dengan mendirikan pusat-pusat pendidikan berkualitas di jantung-jantung kemiskinan. Para guru-guru terbaik harus dikirim ke sekolah-sekolah tersebut. Pemerintah harus memprioritaskan pendidikan gratis bagi fakir-miskin dari jenjang PAUD sampai Perguruan Tinggi.
Kedua, memberikan pelayanan kesehatan terbaik yang gratis bagi fakir-miskin sehingga bisa produktif dalam bekerja dan berkarya. Ketiga, menciptakan lapangan kerja yang layak bagi fakir-miskin, sehingga bisa memproduksi produk-produk berkualitas yang berasal dari kaum fakir-miskin.
Prinsip Demokrasi
Masih banyak lagi kritik-kritik konstruktif Sukidi terhadap elit penguasa yang dinilainya sudah menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan etika luhur bangsa. Saya melihat suara kritiknya jujur, apa adanya, tanpa basa-basi, dan langsung menohok jantung masalahnya. Sukidi menyuarakan kritik yang putih, bersih, jernih, sekaligus rasional-argumentatif.
Saya tidak tahu, apakah Sukidi berafiliasi ke salah satu partai politik atau tidak. Saya berharap tidak. Kenapa? Agar ia menjadi cendekawan yang bebas dan independen. Sehingga suara-suara kritik yang dilontarkannya bersifat objektif, universal, dan terlepas dari kepentingan-kepentingan sektoral sempit kaum elit. Suara kritiknya harus berpijak pada prinsip-prinsip universal kebenaran, keadilan, dan kebajikan.
Kalau ada kepentingan, maka kepentingannya hanya satu: menyuarakan kepentingan seluruh warga negara Indonesia tanpa tersekat-sekat dalam kepentingan pragmatis golongan, kelompok, partai politik, kaum elit penguasa, bahkan kepentingan ormas-ormas keagamaan sekalipun.
Tiba-tiba saya teringat imbauan sejarawan kondang kita, Kuntowijoyo. Kata Kunto: Strategi perjuangan umat Islam Indonesia yang dinahkodai oleh kaum intelektual, akademisi, kyai, ulama, dan cendekiawan, bisa melalui strategi struktural maupun kultural. Kaum intelektual, akademisi, ulama, dan cendekiawan bisa menyuarakan aspirasi-aspirasi idealisme mereka secara struktural melalui jalur politik kekuasaan dan bisa juga melalui jalur kultural dalam berbagai ormas yang ada sesuai dengan minat dan kecenderungan mereka masing-masing. Namun perlu diingat, strategi struktural lazimnya hanya memberi dampak jangka pendek, terutama dalam masalah-masalah aktual. Sedangkan strategi kultural umumnya akan memberi dampak positif dalam jangka panjang, karena keberhasilannya baru dirasakan dalam jangka panjang.
Namun di luar strategi struktural dan kultural, kata Kunto kadangkala ada segelintir kaum intelektual, akademisi, atau cendekiawan yang berjuang secara personal; berjuang secara independen tanpa membawa nama kelompok elit penguasa, partai maupun ormas-ormas keagamaan.
Dengan kekuatan visinya, integritas moralnya, kompetensi keilmuannya dan keteguhan prinsipnya, segelintir kaum intelektual dan cendekiawan ini pengaruh suara moralnya justru melampaui kaum elit penguasa, partai politik, dan ormas-ormas keagamaan sekalipun.
Suara mereka lebih didengar oleh masyarakat luas daripada suara para elit penguasa, pimpinan parpol atau bahkan pimpinan ormas-ormas. Suara mereka mempunyai wibawa moral-intelektual yang membuat gentar para elit penguasa.
Bagi Kunto, segelintir kaum intelektual dan cendekiawan seperti ini harus tetap ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang kompleks dalam seluruh struktur kehidupannya. Mereka memang harus bersifat independen. Mereka harus berani membebaskan diri dari afiliasi-afiliasi sempit kelompok apapun.
Bahkan boleh jadi mereka seakan-akan berada di menara gading keilmuannya. Laksana seorang begawan asketis, mereka harus bangga dengan amanah moral dan tanggungjawab keilmuannya. Cendekiawan dan intelektual seperti ini harus tetap ada agar suara-suara kritiknya bersifat objektif dan universal demi kepentingan warga negara Indonesia seluruhnya tanpa tersekat dalam latar belakang kelompok, partai, ormas, bahkan agamanya.
Sebelumnya kita mempunyai dua orang Guru Bangsa, Cak Nur dan Buya Syafii Maarif yang suaranya bersifat independen, objektif dan universal menaungi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.
Dua guru bangsa ini, memiliki kekuatan suara moral yang menakjubkan. Suara moral seorang Buya Syafii Maarif misalnya mampu mengalahkan ratusan suara para profesor, suara para elit penguasa, pimpinan-pimpinan parpol, para ulama dan kyai, bahkan melampaui suara para pemimpin ormas-ormas terbesar sekalipun.
Seandainya ia masih hidup, saya tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Buya Syafii Maarif terhadap penguasa sebelumnya misalnya yang melakukan cawe-cawe intervensi institusi hukum secara vulgar. Saya yakin suaranya pasti bergema. Suaranya pasti membuat gentar penguasa.
Kalau penguasa tetap acuh tak acuh, saya percaya suara Buya Syafii Maarif pasti akan menginspirasi kaum intelektual, akademisi, dan cendekiawan bersama masyarakat melakukan protes secara besar-besaran. Konstelasi politik kita tentu tidak akan berwajah seperti hari ini. Tapi ini hanya sebatas pengandaian yang menyimpan harapan tampilnya tokoh-tokoh bangsa sekelas Buya Syafii Maarif.
Hari ini, kita sudah tidak lagi mempunyai tokoh-tokoh moral-intelektual sekelas Cak Nur dan Buya Syafii Maarif. Hari ini, kita sudah tidak memiliki lagi tokoh-tokoh teladan level nasional yang menyuarakan kegelisahan warga negara Indonesia secara universal dan menjadi panutan, serta rujukan masyarakat luas dalam persoalan-persoalan etika bangsa.
Hari ini, kita justru menyaksikan banalitas melanda nyaris seluruh pembawa amanat pencerahan masyarakat. Kita menyaksikan kaum intelektual dan akademisi, para kyai dan ulama, cendekiawan dan ilmuwan sibuk mendekat kepada para elit penguasa dan pejabat dan menjadi pelayan mereka.
Hari ini, kita menyaksikan kaum intelektual dan cendekiawan tidak lagi percaya diri dan bangga dengan amanat kecendekiaannya. Kaum akademisi dan ilmuan tidak lagi bangga dengan obor keilmuannya. Para kyai dan ulama tidak lagi merasa istimewa dengan mahkota moral-spiritualnya sebagai sang pewaris Nabi.
Hampir setiap hari kita melihat fenomena para akademisi yang bersikap kritis dan nyinyir kepada elit penguasa di media sosial. Tapi baru diangkat sebagai staf pejabat saja, langsung runtuh semua idealismenya. Kritik-kritiknya justru dijadikan sarana terselubung agar bisa mendapat posisi istimewa di dekat para elit pejabat dan penguasa. Akademisi picisan, partisan, dan pragmatis-oportunis seperti ini tidak layak sedikit pun didengar suaranya.
Dalam konteks inilah, harus ada segelintir kaum intelektual, cendekiawan, dan ulama yang tidak terlibat kepentingan-kepentingan picik, sempit, pragmatis dan politik praktis. Mereka harus menjaga jarak dari struktur kekuasaan, bukan justru sibuk melakukan manuver-manuver politik agar menjadi pelayan penguasa.
Walaupun ini amat sangat berat bagi para cendekiawan di tengah² godaan pusaran kekuasaan yang sudah merangkul nyaris seluruh kaum intelektual ke dalam lingkaran kekuasaan mereka.
Memang dibutuhkan para cendekiawan yang memiliki nafas yang panjang, bersedia bekerja dalam sunyi tanpa puja-puji, sekaligus bersedia mendekap kesabaran revolusioner sebagai kaum oposisi abadi bagi penguasa yang menyimpang dari cita-cita luhur bangsa. Kaum oposisionalitas merupakan kata kunci dari fungsi para ulama, kaum intelektual dan cendekiawan, maka mereka memang harus mengambil jarak dari dogma tertentu serta struktur kekuasaan yang memungkinkan pudarnya sikap kritis.
Dengan demikian, hakikat misi ideal seorang ulama, kaum intelektual dan cendekiawan adalah yang kegiatan intinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis-oportunis, tapi menyuarakan keadilan, kebenaran, dan kebajikan, memberi imbauan-imbauan moral, berbagi lentera pengetahuan dan kearifan hidup, serta melakukan kritik sosial kepada para penguasa yang menyimpang secara struktual. “Tugas pokok kaum intelektual dan cendekiawan di panggung politik”, teriak Timothy Gardon-Ash, sejarawan terkemuka Inggris, “adalah memegang tinggi-tinggi cermin yang jernih, kritis, dan objektif di hadapan para penguasa yang biasanya dilingkari dengan pendukung yang menjilat.”
Saya berharap Sukidi tetap menjadi seorang cendekiawan yang independen, seorang akademisi yang selalu menyuarakan critical voice bagi suara nurani rakyat Indonesia, dan bisa menjadi penerus Cak Nur dan Buya Syafii Maarif. Semoga ! [artikel ini diambil dari akun FB Zaprulkhan].