Lingkungan Hidup Komodo Zona Merah Investasi
JIKA Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sungguh menjadi delegate dan trustee, sebagaimana dalam teori repsesentasi politik, maka seluruh masyarakat Manggarai Barat telah menolak pembangunan sarana wisata di Pulau Rinca dan Pulau Padar, Taman Nasional Komodo. Penolakan itu diperkuat dengan Keputusan DPRD nomor 170/DPRD/125/VIII/2018 tertanggal 21 Agustus 2018.
Namun pemerintah daerah c.q Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula, bersikukuh mendukung adanya investasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Dalilnya sangat klasik; peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Konon, quod capita, quid verba-sekian banyak kepala sekian banyak pendapat. Pro/kontra akan selalu ada.
Tetapi bagaimana memastikan binatang komodo itu tidak terganggu habitatnya dan investasi yang akan dilakukan PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dan PT Segara Komodo Lestari (SKL) di Kabupaten Manggarai Barat tetap bisa berjalan?
Taman nasional komodo diterima sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991 setelah dikukuhkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Kini, Komodo menjadi salah satu dari new seven wonders. Binatang purba ini menghuni tiga pulau besar, yakni Komodo, Rinca dan Padar, serta dua pulau kecil yakni Gili Motang dan Nusa Kode.
Populasinya tidak banyak. Ada di kisaran 2.000-3.000 ekor di seluruh kawasan Taman Nasional Komodo. Kisaran tersebut berasal dari hasil studi dengan metode Capture Mark-Recapture (CMR) sejak 2003-2006 dan 2009-2013 pada 10 lokasi pemantauan di seluruh kawasan Taman Nasional Komodo (Media Indonesia, 7 mei 2018). Ini jumlah yang tidak pasti.
Sementara hal yang pasti dari binatang Komodo ini adalah hidupnya yang menyatu dengan alam. Makanannya babi hutan, rusa, kuda atau binatang liar lainnya. Dia tidak hidup dari mata anggaran di APBD.
Kebijaksanaan alam telah menjamin hidupnya selama ratusan bahkan jutaaan tahun. Tetapi kerakusan manusia dapat melenyapkannya dalam sekejap. Kalau komodo bisa ngomong, mungkin dia berteriak, jangan sentuh aku –nolli me tangere.
Tapi manusia tidak bisa hidup tanpa “sentuhan”. Walau disadari bahwa “sentuhan” manusia ibarat pisau bermata dua, menyelamatkan juga memusnahkan. Tetapi saya mau mengatakan bahwa tanpa alam (dengan segala isinya), manusia tidak akan lama bertahan hidup. Sebaliknya, tanpa manusia, alam akan baik-baik saja. Mungkin itulah pesan dari hadirnya bunga mawar ke atas bumi agar membagi cinta dengan sesama kehidupan yang beraneka rupa ini, bukan hanya untuk pujaan hati.
Maka, aktivitas manusia diharapkan untuk tidak mengganggu habitat Komodo ini. Tidak dengan berbagai dalil dan hipotesa. Tidak dengan kekuasaan yang serakah tanpa jiwa. Jika diganggu, populasi komodo bisa berkurang atau bahkan terancam punah. Mewaspadai posibilitas aktivitas manusia itu, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan.
Karena itu penetrasi keliaran berpikir dan bertindak manusia patut diwaspadai. Komunitas pencinta burung menuliskan pesan ini. “Tuhan menciptakan pepohonan agar burung bisa terbang bebas di antara ranting dan dedaunan seraya bernyanyi penuh kegirangan. Tetapi manusia menciptakan sangkar agar burung bernyanyi meminta pertolongan”. Demikian juga kadal raksasa ini nantinya. Kalau bisa komodo hidup 1.000 tahun lagi, bahkan lebih, sebagaimana Puisinya Chairil Anwar (Aku) atau lagu klasik The Mercys (Kuingin Hidup 1.000 Tahun lagi).
Saya teringat Harimau Jawa yang kini punah. Hutan yang menipis, pemukiman padat, pertumbuhan manusia dan aktivitas pertanian/industri telah membunuhnya dari habitat liar. Kita hanya mengetahuinya dalam buku sejarah tentang binatang purba asli Indonesia. Punah. Demikian pula dengan kepunahan binatang lainnya di planet ini. Hanya segilintir yang punah karena penyakit. Dominan binatang punah karena ulah manusia.
Komodo jangan diharimau-jawakan. Atau menjadi dinosaurus yang telah menjadi dongeng. Ketamakan manusia itu petaka. Tetapi cintanya adalah berkat. Kebebasan komodo jangan dipasung. Tanpa campur tangan manusia, komodo teruji hidup lestari. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri, hidup di alam. Itu alamnya yang asli. Toh, yang alami itu tidaklah hina-naturalia non sunt turpia. Itu rumah nyaman dari Pencipta. Manusia tak akan kecewa ketika mereka tak seperti yang manusia inginkan. Namanya juga binatang. Tapi bukan binatang biasa. Dia itu legenda. Legenda hidup untuk kita dan anak cucu.
Menjadi penting bagi kita untuk memandang komodo sebagai saudara kehidupan. Komodo bagian dari kehidupan yang layak dicintai. Kahlil Gibran memberikan pesan yang puitis: “kegelapan bisa menyembunyikan pohon, tapi kegelapan tidak bisa menyembunyikan cinta”. Bahkan kegelapan pun tidak bisa merubah sifat alami manusia yang penuh cinta.
Cinta itu hukum tertinggi dan tinggal di lubuk hati setiap insan. Dalam konteks ini, kita hanya perlu mengingat kembali dongeng tentang komodo dan manusia yang lahir kembar dari seorang ibu. Dongeng dengan muatan-local wisdom-untuk saling menyayangi sebagai saudara dari ibu yang sama.
Ketika kita mencintai Komodo dan memperlakukannya sebagai saudara, itu tidak berarti bahwa investasi itu dilarang atau ditolak. Dalil klasik investasi pun tidak digugat. Yang digugat hanyalah zonasi investasi di habitat komodo hidup. Itu bukan tempat yang tepat. Ini zona merah investasi.
Disebut demikian karena TNK bukan cagar alam biasa, bukan pula taman konservasi biasa. Ini taman konservasi yang ajaib. Hadiah Pencipta yang indah. Satu-satunya di dunia, hanya ada di Manggarai Barat. TNK tidak bisa disamakan dengan tempat wisata umum seperti Danau Kelimutu di Ende, Danau Toba di Sumatera, Tiga Gili di Lombok, Grand Canyon di Arizona dan sebagainya. Ini antara makhluk hidup langka dan benda mati.
TNK itu bersifat khusus (sui generis) dan harus diperlakukan secara khusus. Tetapi cara pandang yang sama terhadap berbagai tempat wisata atau cagar alam adalah cara berpikir absolute yang mengabaikan perbedaan. Bahwa ketika di tempat wisata lain membutuhkan hotel, restoran dan lainnya, maka di TNK juga perlu dibuat hal yang sama. Ini adalah criminal mind. Di sana ada penyangkalan terhadap realitas yang berbeda hanya karena kevakuman/kerakusan imaginasi. Kemajemukan direduksi pada totalitas yang satu. Sesat. Padahal filsuf Inggris, Bertrand Russell mengajak untuk memahami dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya, adalah awal dari kebijaksanaan.
Kebijaksanaan hanya datang dari manusia. Untuk urusan kebijakan (policy), kebijaksanaan itu datang dari penguasa di daerah atau di pusat yang menggunakan hati dan pikirannya secara seimbang. Inilah atribut paling mulia (the most noble attribute) dari seorang penguasa. Jika tidak, dia disebut lalim dan serakah.
Oleh karena itu, agar komodo tetap aman dan investasi tetap berjalan maka, pertama, pemda harus membuat kembali perda RTRW dan memastikan bahwa lima pulau (komodo, padar, rinca, gilimotang dan nusa kode) tempat komodo hidup adalah zona merah investasi. Investasi hanya boleh di pulau lain atau flores daratan (baca: Labuan Bajo).
Kedua, mengatur batas maksimal jumlah populasi manusia yang tinggal di TNK. Hindari jumlah penduduk berlebih. Transmigrasi lokal patut dipikirkan- dari TNK ke Flores daratan.
Ketiga, Pemda dan pihak berwenang perlu membatasi jumlah wisatawan yang berminat ke TNK per hari. Wisatawan berlebih mungkin dapat membuat komodo juga terancam. Belum ada riset soal level stres komodo. Karena itu, sistem antrian wisatawan ke TNK perlu disiapkan. Kenapa? TNK bukan Mesjid Hagia Shopia (Istanbul), bukan Venesia (Italia) dan bukan pula pantai Copacabana di Brasil. Untuk itu, Labuan Bajo harus dijadikan sebagai tempat investasi yang indah, menarik, dompet aman dan hati selalu senang. Semua harus terpusat di Labuan bajo atau pulau kecil lain yang bukan habitat komodo, termasuk investasi.
Akhirnya, sekedar menegaskan kembali bahwa kelima pulau tempat komodo hidup bukan untuk melayani kepentingan manusia yang kelaparan/haus, kepanasan atau kebelet buang air tetapi untuk kehidupan komodo yang langka dan jangan sampai punah.