Kebijakan Biometerik Menyulitkan Jemaah Umroh
[JAKARTA] Terkait dengan kebijakan rekam biometrik (sidik jari dan retina mata) pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama (Kemnag) meminta Arab Saudi untuk meninjau ulang kebijakan rekam biometrik itu.
Pasalnya, banyaknya kendala dalam proses pengambilan rekam biometrik baik dari segi wilayah, biaya, dan kesiapan VFS Tasheel sendiri selaku operator atau provider yang ditunjuk Arab Saudi.
“Kami, selaku regulator penyelenggaraan umrah yang salah satunya terkait dengan pengajuan visa umrah ke Arab Saudi, yang mana porsi jamaah umrah Indonesia pada setiap tahunnya terus mengalami peningkatan meski dengan wilayah geografis kita yang luas dan beragam, tentu untuk menuju satu daerah dengan daerah lainnya akan mengharuskan banyak menggunakan moda angkutan yang dilalui baik darat, laut, dan udara. Atas pertimbangan ini, kami sangat berharap akan pertingan matang dari pemerintah Arab Saudi,” ujar Kasie Identifikasi dan Penanganan Umrah Kemnag, Ali Machzumi, dalam siaran persnya, Sabtu (22/12).
Terkait upaya yang ditempuh Permusyawaratan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) dalam melakukan upaya lobi kepada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui Wakil Menteri Haji urusan Umrah di Jeddah, Kemnag menurut Ali, ia sangat mengapresiasi.
“Tentu, semua pihak yang terkait dalam hal ini Kemnag, asosiasi dan Kemlu akan berkomunikasi secara intensif dengan pihak-pihak terkait lainnya dalam implementasi proses biometrik ini,” ungkap Ali.
Sementara itu, Sekjen PATUHI H Muharom Ahmad, mengungkapkan, ada pun solusi terbaik dalam penerapan biometrik ini, adalah dilakukan di embarkasi atau bandara keberangkatan jamaah saja. “Karena, Indonesia adalah negara yang terdiri atas 17.504 pulau dan 514 kabupaten / kota dengan total calon jamaah lansia mencapai 10% dari total mutamir yang ada,” ungkapnya.
Ada pun infografis calon jamaah umrah berdasar dominan, jamaah yang berangkat dengan biaya antara US$ 3.000 – US$ 3.500 berjumlah 3 %, yang dominannya jamaah berasal dari kota besar.
“Biaya umrah US$ 2.500-US$ 3.000, sebanyak 7% yang dominannya jamaah dari kota-kota besar. Sedangkan untuk biaya umrah kisaran US$ 2.000-US$ 2.500 sebanyak 10% dominannya oleh jamaah di kota kecil. Dan biaya umrah berkisar US$ 1.600-US$ 2.000 sebanyak 30 % dominan di pedesaan. Sementara, untuk biaya umrah dengan kisaran US$ 1.300 – US$ 1.600 yang terbesar dengan jumlah 50% dominasi calon jamaah dari pedesaan atau wilayah terpencil,” jelas Muharom.
Dengan infografis tersebut, maka 50% jamaah Indonesia berasal dari pedesaan yang akan kesulitan jika harus diberlakukan proses rekam biometrik yang lokasinya sangat jauh.
Karena alasan itu, perjalanan pulang dan pergi calon jamaah belum lagi antrean di VFS Tasheel akan menimbulkan beban biaya tinggi dan kerugian waktu yang akan menghambat penjadwalan group-group umrah yang sudah terjadwal oleh pihak travel.
“Untuk itu, kami usulkan, agar perekaman biometrik ini dilakukan di bandara Embarkasi keberangkatan umrah saja yakni, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar. Dan hal ini bisa dilakukan empat jam sebelum jadwal penerbangan,” tandasnya. [EH]