BPJSK Harus Serius Garap Peserta Perusahaan Swasta dan BUMN
Jakarta, Topvopopuli.com – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) belum maksimal menggarap perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengikutsertakan karyawan mereka dalam program jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan BPJSK.
Padahal kewajiban pemberi kerja badan usaha swasta dan BUMN mendaftarkan pekerjanya ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diatur di Pasal 6 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Dimana disebutkan, pertama, pemberi kerja pada BUMN , usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat tanggal 1 Januari 2015. Kedua, pemberi kerja pada usaha mikro paling lambat tanggal 1 Januari 2016.
Demikian ditegaskan Direktur Eksekutif BPJS Watch, Timboel Siregar, Senin (1/4/2019). Menurut Timboel, berdasarakan ketentuan di atas maka sudah menjadi kewajiban seluruh direksi badan usaha swasta dan BUMN/BUMD mendaftarkan dan membayarkan iuran seluruh pekerjanya ke BPJSK paling lambat tanggal 1 Januari 2015.
Faktanya, per 31 Januari 2019 jumlah pekerja penerima upah (PPU) badan usaha swasta dan BUMN sebanyak 13.921.562 pekerja (ini pekerja yang membayar iuran). Bila dihitung dengan keluarganya maka jumlah peserta PPU badan usaha swasta dan BUMN sebanyak 32.670.613 orang.
Sementara itu PPU PNS, TNI Polri, pejabat negara dan pegawai pemerintah non-PNS yang membayar iuran sebanyak 6.442.098 orang, dan bila dihitung dengan keluarganya maka jumlahnya sebanyak 17.227.439 orang.
Bila mengacu pada data BPS pada Februari 2018 ada sebanyak 53,09 juta orang (41,78%) penduduk bekerja pada kegiatan formal dengan menerima upah. Bila menjumlahkan PPU penyelenggara negara dan PPU swasta/BUMN maka jumlahnya hanya sebesar 20,3 juta pekerja, atau sekitar 38% dari total pekerja yang bekerja di sector formal. “Ini artinya masih banyak pekerja di sektor formal yang belum menjadi peserta jaminan kesehatan nasional (JKN),” kata Timboel Siregar.
Berdasarkan pantauan BPJS Watch dan berdasarkan pengaduan yang masuk ke lembaga itu, masih banyak pekerja outsourcing (alih daya) yang belum diikutkan ke program JKN. Selain itu ada juga perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya ke jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang dibiayai APBD, sehingga perusahaan tidak membayar kewajibannya ke BPJS Kesehatan sebesar 4%.
Tentunya pekerja sektor mikro yang merupakan bagian dari pekerja formal masih banyak yang belum tercatat sebagai peserta JKN dari unsur kepersertaan PPU swasta dan BUMN.
Dengan alasan upahnya masih di bawah upah minimum pihak BPJSK tidak serius dan fokus pada rekrutmen pekerja sektor mikro, walaupun Perpres Nomor 111/2013 mewajibkannya.
Tentunya masalah kepesertaan PPU swasta ini akan menjadi penghambat pencapaian UHC kepesertaan di akhir tahun 2019 ini yaitu sebanyak 251 juta peserta (atau 95% dari seluruh penduduk).
Persoalan lainnya dari PPU swasta dan BUMN ini adalah tentang utang iuran yang relatif masih besar.
Menurut Timboel Siregar, berdasarkan laporan per 30 Nopember 2018, jumlah tunggakan iuran JKN dari PPU swasta dan BUMN sebanyak Rp 325,53 miliar, dari total tunggakan iuran sebesar Rp 3,24 triliun. Tunggakan iuran ini terus naik, tercatat per 31 Januari 2019 jumlah tunggakan iuran dari PPU swasta dan BUMN sebanyak Rp 334, 72 miliar, dari total tunggakan sebesar Rp 3,37 triliun.
Menurut Timboel Siregar, sebenarnya pemerintah telah menyediakan perangkat hukum positif untuk sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dan tidak membayarkan iuran JKN pekerjanya, yaitu PP Nomor 86 Tahun 2013, namun sepertinya PP ini pun tidak dilaksanakan dengan serius oleh Direksi BPJSK dan instansi pendukungnya seperti Pemda. Inpres Nomor 8 Tahun 2017 yang menugaskan kejaksaan, Kementerian Ketenagakerjaan cq. Pengawas Ketenagakerjaan, dan pengawas-pemeriksa BPJSK untuk melakukan penegakkan hukum bagi perusahaan-perusahaan yang tidak patuh, ternyata juga tidak dijanlankan dengan serius oleh ketiga instansi yang ditugaskan tersebut.
Bila disebutkan di tahun 2018 lalu tunggakan iuran yang berhasil ditagih sebesar Rp 26 miliar maka bisa dikatakan pencapaian tersebut sangat minim bila dibandingkan dengan total tunggakan yang telah saya sebutkan di atas, dan ini memberikan gambaran bagi kinerja buruk Direksi BPJSK. Dan untuk kejaksaan yang hanya mampu menagih tunggakan iuran sebesar Rp 3,6 miliar dari BU swasta maka data ini pun bisa memberikan kesimpulan buruknya kinerja Direksi BPJSK, kejaksaan dan pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan Inpres Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Menurut Timboel, dari uraian saya di atas maka peserta pekerja penerima upah swasta dan BUMN yang belum maksimal digarap serius oleh BPJSK. Padahal justru pekerja penerima upah swasta dan BUMN yang berpotensi besar menyumbang iuran terbesar kepada BPJSK.
Tahun 2019 ini Direksi BPJSK menargetkan pendapatan dari pekerjan penerima upah swasta dan BUMN sebesar Rp 27 triliun.
Menurut Timboel, potensi tersebut seharusnya bisa lebih besar lagi bila penegakan hukum lebih difokuskan.
Sebenarnya perangkat hukum positif dan sanksi sudah ada, tinggal melaksanakannya saja. “Saya menilai kurang koordinasi antara BPJSK, kejaksaan dan pengawas ketenagakerjaan dalam menjalankan Perpres 111/2013, PP Nomor 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan Inpres Nomor 8 Tahun 2017.
Timboel Siregar mengatakan, memang penegakan hukum belum menjadi focus dalam program JKN ini. Oleh karena, kata Timboel Siregar, Presiden harus mengevaluasi dan memberikan sanksi bagi seluruh instansi yang gagal menjalankan tugasnya. Keberhasilan program JKN adalah tanggungjawab seluruh pihak, khususnya penegak hukum. [Edi Hardum]