Draf UU KPK Disahkan, Tikus-Tikus Kantor Pesta Pora ?
Oleh : Edi Hardum, advokat, tinggal di Jakarta
“Apa itu demokrasi Pancasila? Demokrasi Pancasila adalah demokrasi bukan ini dan demokrasi bukan itu.” Kalimat ini sering kami lontarkan sebagai aktivis mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1994-an. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan yang dapat mempertahankan atau mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik (Sumodiningrat 2008: 44).
Sedangkan secara umum pengertian demokrasi Pancasila adalah suatu paham demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi Pancasila. Poin-poin penting dalam demokrasi Pancasila, pertama, demokrasi dilaksanakan berdasarkan kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat untuk kesejahteraan rakyat. Kedua, sistem organisasi negara dilaksanakan sesuai dengan persetujuan rakyat.
Ketiga, kebebasan individu dijamin namun tidak bersifat mutlak dan harus disesuaikan dengan tanggung jawab sosial. Keempat, dalam pelaksanaan demokrasi ini tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas, namun harus dijiwai oleh semangat kekeluargaan untuk mewujudkan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bagi proklamator Muhammad Hatta, demokrasi Pancasila beda dengan demokrasi di negara-negara Barat (Eropa), di mana demokrasi di negara-negara Barat hanya berdemokrasi dalam bidang politik. Sementara demokrasi Pancasila mencakup dalam tiga bidang yaitu demokrasi dalam bidang politik, ekonomi dan bidang sosial. Dalam bidang politik adanya musyawarah-mufakat.
Dalam bidang ekonomi, demokrasi itu sudah tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ketiga, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan, keempat, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sedangkan dalam bidang sosial, demokrasi dengan adanya konsep dan praktik gotong royong.
Dalam praktiknya pada zaman Orde Baru, teori demokrasi Pancasila (das sollen) bertolak belakang dengan praktinya (das sein) sebagaimana dijelaskan di atas.
Itulah sebabnya, sebagian mahasiswa memberikan definisi demokrasi Pancasila sebagai demokrasi yang bukan ini dan demokrasi bukan itu. Definisi ini merupakan sindiran dan ungkapan kekecewaan mahasiswa terhadap praktik demokrasi waktu itu. Karena demokrasi tidak dijalankan dengan benar, maka tujuan bangsa Indonesia di zaman Orde Baru sebagaimana disebut pada alinea keempat UUD 1945 belum tercapai.
Sedikitnya dua tujuan negara yang belum tercapai waktu itu (mungkin sampai kini), yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; serta memajukan kesejahteraan umum. Tulisan ini lebih konsentrasi pada kesejahteraan umum.
Kesejahteraan umum disebutkan eksplisit dalam konstitusi, sehingga Indonesia disebut sebagai negara yang menganut welfare state, paham negara yang mendedikasikan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan warga negara (Wahyudi, 2017:93).
Kesejahteraan berkaitan erat dengan keadilan. Keadilan tercapai karena adanya hukum. Salah satu ciri utama negara demokrasi adalah adanya hukum. Indonesia sebagai negara hukum secara eksplisit diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, Negara Indonesia berdasarkan atas hukum.
Pada zaman Orde Baru kesejahteraan tidak tercapai. Kesenjangan ekonomi sangat kentara. Kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) merajalela. Karena itulah tahun 1998 mahasiswa menuntut agar KKN dibersihkan sampai ke akar-akarnya.
Untuk membersihkan KKN, terutama dalam hal korupsi, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagaimana dalam poin ketiga (c) pertimbangan Undang-undang 30 tahun 2002 tentang KPK.
Mengapa KPK dibentuk, padahal sudah ada lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan? Jawabannya dengan tegas dalam pertimbangan UU KPK, yakni, pertama, untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.
Kedua, lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan lembaga pemerintah di sini adalah Kejaksaan dan Polri. Bahkan mengutip kata-kata Prof Dr Sahetapy bahwa KPK dibentuk karena kejaksaan dan Polri tidak becus memberantas korupsi.
Prestasi KPK
Korupsi di Indonesia bagaikan kanker ganas. Penyebab utama hal ini terjadi karena lembaga dan aparat penegak hukum terlibat bahkan paling depan dalam hal melakukan korupsi. Aparat penegak hukum bagaikan ungkapan ”pagar makan tanaman”. Siapa aparat penegak hukum itu? Ya polisi, jaksa, hakim dan advokat.
Dalam 17 tahun KPK bekerja, sebanyak 24 hakim, 11 orang jaksa, tidak terhitung panitera dan advokat ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT). Ketika SBY menjadi Presiden, KPK berhasil menjerat penegak hukum aktif, seperti perwira polisi Joko Susilo dalam kasus simulator SIM, Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap penyelenggaraan pilkada.
Selain itu, KPK berhasil menjerat tiga menteri aktif yakni Andi Mallarangeng (eks Menpora), Jero Wacik (eks Menteri ESDM), dan Suryadharma Ali (eks Menteri Agama). KPK juga menjerat pimpinan partai politik aktif, yaitu Suryadharma Ali (PPP), Anas Urbaningrum (Partai Demokrat) dan Luthfi Hasan Ishaaq (PKS).
Selain itu, KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebesar sekitar Rp 500 triliun. KPK juga berhasil menangkap Nazaruddin, Anggoro dan Nunung Nurbaeti. Demikian juga anggota DPR, DPRD, pengurus partai politik, kepala-kepala daerah, juga tidak sedikit yang terjaring KPK.
DPR Sahkan Draf Revisi
Pada Selasa (17/9/2019), 80 dari 560 anggota DPR yang hadir mengesahkan draf Revisi UU KPK menjadi UU. Apa pun isi draf ini masyarakat harus menerimanya sebagai undang-undang. Kalau pun masyarakat tidak setuju, maka ajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari enam poin yang kontrovesi draf revisi yang disahkan DPR ini, satu poin yang menurut penulis melemahkan KPK dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga superbody pemberantasan korupsi yakni tentang Dewan Pengawas.
Berikut poin lengkapnya :
Pasal 12 UU KPK sebelum revisi menyebutkan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf c, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Setelah revisi: Pasal 12B menyebutkan, pertama, penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Kedua, untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari pimpinan KPK.
Keempat, dalam hal pimpinan KPK mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Selanjutnya Pasal 12C (1) menyatakan, penyelidik dan penyidik melaporkan penyadapan yang sedang berlangsung kepada pimpinan KPK secara berkala. Penyadapan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan.
Pasal 12D (1) menyatakan, hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan korupsi.
BAB V mengatur soal Dewan Pengawas (Dewas)
Dewas merupakan lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Anggota Dewas berjumlah lima orang. Dewas memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Tugas Dewas antara lain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK, melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun; dan menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.
Syarat-syarat menjadi anggota Dewas berusia paling rendah 55 tahun, berpendidikan paling rendah sarjana strata satu, diutamakan berpengalaman sebagai penegak hukum paling singkat 15 tahun. Ketua dan anggota Dewas dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia. Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewas, Presiden membentuk panitia seleksi. Panitia terdiri atas unsur pemerintah pusat dan unsur masyarakat.
Masalah yang Timbul
Pembentukan Dewas tentu akan menambahkan ongkos dan menimbulkan masalah buat KPK dalam menjalankan tugas. Pengorbanan yang paling pertama adalah negara harus mengeluarkan uang untuk menyeleksi dan merekrut anggota Dewas serta menggaji mereka. Sedangkan permasalahan buat KPK, pertama, akan terjadi konflik dengan pimpinan KPK dan penyelidik serta penyidik KPK.
Pertanyaannya adalah apakah Dewas yang berjumlah lima orang yang berusia menjelang sepuh ini akan mengikuti kasus secara mendalam seperti para penyelidikan dan penyidik? Kalau tidak mengikuti apa dasar mereka memberi izin dan tidak memberi izin dalam hal perekaman dan penyadapan? Apa para Dewas ini mengetahui kasus dengan perasaan saja mentang-mentang mereka sudah berpengalaman?
Sementara pimpinan KPK dan penyidik KPK berdasarkan data dan fakta yang mereka miliki dan mereka dalami. Di sinilah menurut penulis akan terjadi konflik. Konflik lainnya adalah penulis yakin semua Dewas akan mencari panggung. Setiap ada penangkapan mereka juga harus ikut tampil bicara. Semoga saja ini tidak terjadi dengan adanya aturan yang dibuat sebagai turunan dari UU KPK.
Kedua, rencana penyadapan dan OTT akan bocor. Penulis sangat yakin, penyadapan dan OTT yang akan segera dilakukan pasti sebagiannya bocor. Maka tujuan tidak akan tercapai.
Untuk itu, penulis usulkan UU KPK yang baru disahkan DPR secepatnya diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan harapannya, MK membatalkan UU ini terutama pasal yang “menciptakan” makluk Dewan Pengawas ini. Kalau tidak, maka Indonesia kembali masuk ke situasi dan kondisi bau busuk menyengat tetapi tak tahu siapa yang mengeluarkannya.
Korupsi ada di mana-mana tapi sulit membuktikan dan menangkapnya. Kalau ini yang terjadi maka tikus-tikus kantor kembali pesta pora, maka tujuan Indonesia sejahtera hanya sebatas cita-cita. xx