Jadi Penghasil Devisa, Kemenperin Pacu Kinerja Industri Furnitur dan Kerajinan
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memacu kinerja industri furnitur dan kerajinan agar bisa lebih berdaya saing global sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, Indonesia merupakan produsen mebel, kerajinan, dan homedecor dengan keunggulan komparatif berbasis sumber daya alam.
“Kita punya keunggulan yang kuat, dengan menghasilkan produk furnitur dan kerajinan yang unik dan berkualitas. Corak dan desain dari produk-produknya pun beragam karena para pengrajin kita memiliki keterampilan yang kreatif, inovatif, dan tidak mudah disaingi negara lain,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika pada pembukaan Jogja International Furniture and Craft Fair Indonesia (JIFFINA) 2023 di Yogyakarta, Sabtu (11/3/2023).
Kemenperin memberikan apresiasi terhadap penyelenggaraan JIFFINA yang tahun ini telah digelar untuk ketujuh kalinya. Kegiatan ini terbukti membawa efek positif terhadap pengembangan industri furnitur di Indonesia. “Semoga pameran JIFFINA 2023 ini dapat berlangsung dengan sukses serta memberikan manfaat bagi perkembangan industri furnitur dan kerajinan nasional,” tutur Putu.
Pada tahun 2022, ekspor produk furnitur dan kerajinan mencapai USD3,5 miliar. “Sebagai subsektor industri agro, industri furnitur memberikan kontribusi hingga 1,30 persen dengan nilai kinerja ekspornya sebesar USD2,5 miliar sepanjang tahun lalu,” sebut Putu. Pemerintah menargetkan ekspor dari industri furnitur tumbuh menembus USD5 miliar pada tahun 2024.
Di samping itu, industri furnitur merupakan salah satu sektor padat karya dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 143 ribu orang dari 1.114 ribu perusahaan. Data terakhir pada Desember 2022 mencatatkan utilisasi industri furnitur berada di angka 74,16 persen.
Dirjen Industri Agro menegaskan, pihaknya telah memiliki dua strategi agar kinerja industri furnitur nasional semakin berdaya saing global, yakni melalui pengoptimalan pasar domestik dan memperluas tujuan ekspor ke pasar nontradisional. Menurutnya, strategi pertama dapat secara efektif dilakukan mengingat konsumen furnitur dalam negeri terutama untuk kelas menengah terus bertambah seiring membaiknya industri properti dan bisnis hospitality.
“Kemudian konsumsi belanja pemerintah melalui pemanfaatan produk ber-TKDN juga sedang gencar digalakkan oleh pemerintah,” jelasnya. Hal ini yang juga dapat menjadi kesempatan pelaku industri furnitur kita meningkatkan pasarnya di dalam negeri.
“Pemerintah juga memfasilitasi melalui penyelenggaraan business matching untuk mempertemukan para pelaku industri dengan para pengguna produk dalam negeri, seperti dari instansi pemerintah dan BUMN. Industri furnitur menjadi salah satu sektor andalan untuk mendukung kantor-kantor pemerintah dan sekolah,” paparnya.
Untuk strategi kedua, lanjut Putu, merupakan bentuk keniscayaan dikarenakan pasar tujuan ekspor tradisional saat ini masih terganggu akibat resesi. “Di sisi lain, pasar nontradisional sangat potensial untuk dikelola, misalnya India dan kawasan Timur Tengah, di mana pertumbuhan sektor propertinya masih relatif stabil,” imbuhnya.
Sejalan dengan tema JIFFINA 2023, yakni “The Power of Eco-lifestyle for Global Market”, semakin tingginya environmental awareness dari konsumen furnitur diharapkan dapat mendorong para pelaku industri untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam produksinya sehingga bisa lebih efisien, ramah lingkungan, namun tetap dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan untuk masyarakat. “Dengan inovasi-inovasi produksi yang lebih efisien maka konsumen dalam negeri juga akan dapat menikmati produk furnitur berkualitas karya anak bangsa,” ujar Putu.
Berikan solusi
Industri furnitur nasional turut mengalami dampak melemahnya pasar global akibat situasi geopolitik yang terjadi karena perang Rusia dan Ukraina. Inflasi yang disebabkan oleh kondisi resesi menyebabkan turunnya daya beli konsumen di negara-negara importir yang terdampak perang tersebut, terutama negara-negara kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
“Dalam rangka memperbaiki pasar global dan meningkatkan pasar dalam negeri furnitur, kami sangat menyadari bahwa industri ini masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Berdasarkan aspirasi dari para pelaku industri, kami menyerap beberapa isu pokok yang dihadapi oleh industri furnitur dan kerajinan dalam negeri saat ini, dan berupaya untuk memberikan solusinya,” papar Dirjen Industri Agro.
Isu pertama, yakni permasalahan domestik terkait dengan rantai pasok ketersediaan bahan baku. Guna menjamin ketersediaan dan stabilitas pasokan bahan baku, Kemenperin melakukan upaya perbaikan rantai pasok bahan baku industri furnitur dengan fokus penyediaan akses yang lebih baik terhadap bahan baku industri furnitur sehingga tercapai pola rantai pasok bahan baku furnitur yang ideal.
“Langkah yang dijalankan antara lain, meminimalkan biaya dan lead time produksi, serta memacu kualitas bahan baku sesuai kebutuhan industri furnitur,” ujar Putu. Saat ini yang sudang dilaksanakan adalah memfasilitasi Pusat Logistik Bahan Baku Industri Furnitur serta melakukan koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait isu kemudahan akses bahan baku industri furnitur.
Isu kedua, terkait dengan teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Di sisi teknologi, Ditjen Industri Agra edang melaksanakan program restrukturisasi mesin dan peralatan industri pengolahan kayu. “Output dari program ini adalah terfasilitasinya perusahaan dalam mendapatkan potongan harga berupa penggantian (reimburse) sebagian dari harga pembelian mesin dan/atau peralatan,” terangnya.
Sedangkan, dalam rangka mendukung penyediaan tenaga kerja terampil, Kemenperin mencetak SDM-SDM kompeten di industri furnitur melalui pendirian Politeknik Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kendal, Jawa Tengah. “Kurikukum di politeknik Kemenperin bersifat dinamis, disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Karena itu, kami aktif membuka ruang kerja sama dengan asosiasi industri dalam penyusunan kurikulum agar lulusan politeknik kami benar-benar memenuhi kebutuhan pasar kerja,” tandasnya.
Isu ketiga adalah pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang sudah diakui dalam perdagangan kayu antara Uni Eropa dan Indonesia serta Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT-VPA). Pemerintah Indonesia akan mendorong mutual recognition assessment (MRA) yang bisa mengakomodasi pengakuan standardisasi Indonesia di negara tujuan dan sebaliknya.
Dengan demikian, produk yang akan diekspor tidak perlu melalui tahap penilaian tambahan selama telah memenuhi kriteria penilaian di dalam negeri. “Untuk sektor UMKM, biaya SVLK nantinya ditanggung oleh pemerintah,” jelasnya.
Kemenperin juga akan mendukung sepenuhnya upaya penguatan orientasi ke pasar domestik karena sudah semestinya industri nasional menjadi raja di negeri sendiri. “Kebijakan P3DN dan TKDN, substitusi impor, program-program peningkatan kapasitas, semuanya kami intensifkan sebagai wujud nyata keberpihakan pemerintah agar industri dalam negeri dapat berdaulat, maju, dan berdaya saing. Kami juga mendukung kegiatan-kegiatan promosi agar dapat terus dilakukan dan disemarakkan, baik promosi di pasar domestik maupun pasar ekspor nontradisional,” imbuhnya. [TVP]