MASYARAKAT  Indonesia dihebohkan dengan putusan hakim terhadap kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis. Suami aktris Sandra Dewi tersebut dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, atas perbuatan korupsi yang ditaksir merugikan negara sekitar Rp300 triliun.

Publik menyayangkan vonis pengadilan yang dinilai terlalu singkat dan tidak sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan tersebut. Masyarakat membandingkan masa hukuman yang diterima oleh Harvey Moeis dengan berbagai kasus lainnya yang lebih ringan namun dengan masa hukuman yang lebih berat.

Ramai juga di media sosial, beberapa cuitan satir netizen yang “rela dibui 6,5 tahun demi 300 triliun”.

Korupsi merupakan tindakan tercela yang merugikan, baik bagi suatu institusi, badan usaha, negara, hingga masyarakat umum. Berdasarkan KBBI, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan negara, yang dilakukan dengan cara memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Jelas, korupsi merupakan praktik kejahatan yang berdampak bagi masyarakat luas. Korupsi sama halnya dengan mencuri atau memakan harta yang bukan miliknya. Korupsi bahkan dikategorikan sebagai tindak kejahatan luar biasa sehingga sudah sewajarnya para pelaku korupsi diberi ganjaran setimpal yang dapat menimbulkan efek jera.

Ada banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak korupsi, diantaranya keinginan untuk hidup bergelimang harta tanpa bersusah payah, apalagi jika ia mengikuti tren flexing, atau pamer kekayaan ke publik.

Bisa juga karena ada dorongan dari berbagai pihak di luar dirinya untuk ikut terlibat dalam praktik buruk tersebut, termasuk dorongan dari kelompok bahkan atasan di kantor.

Ambisi yang terlalu menggebu-gebu yang tidak diimbangi dengan kesadaran etika dan moralitas bisa membuat seseorang lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan korupsi.

Faktor genetik

Di luar faktor-faktor eksternal tersebut, ada pula faktor internal masing-masing individu yang mempengaruhi perilaku korupsi tersebut.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Dejun Tony Kong, seorang Associate Professor dari Leeds School of Business, University of Colorado, USA, pada tahun 2014 silam, perilaku korupsi dapat didorong oleh faktor genetik seperti yang ia publikasikan di jurnal terindex Scopus Q1 “Personality and Individual Differences”.

Dalam studinya tersebut, ia menyebutkan bahwa perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh serotonin, suatu molekul kimia pengantar impuls atau sinyal ke sel-sel syaraf otak.

Ekspresi senyawa tersebut dipengaruhi oleh The serotonin transporter gene (5HTT) yang memiliki region polymorfisme (bentuk yang berbeda), yang terdiri atas short allele (S) dan long allele (L). Allele sendiri merupakan pasangan gen atau variasi gen yang terdapat di dalam suatu kromosom (materi genetik).

Adapun polimorfisme yang timbul tersebut yaitu 5HTTLPR-SS/SL bagi individu yang memiliki setidaknya satu short (S) allele, dan 5HTTLPR-LL bagi individu yang tidak memiliki short (S) allele. Variasi S dan L tersebut menimbulkan sikap dan tindakan yang berbeda.

Individu yang memiliki frekuensi 5HTTLPR-SS/SL yang lebih rendah ternyata memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi lebih tinggi daripada individu yang memiliki frekuensi 5HTTLPR-SS/SL yang lebih banyak.

Hal demikian disebabkan karena individu dengan jumlah allele S yang lebih sedikit memiliki tingkat kecemasan maupun ketakutan yang lebih rendah terhadap berbagai macam tindakan yang beresiko. Sehingga, mereka lebih mudah melakukan tindakan korupsi karena kemungkinan rasa takut mereka terhadap konsekuensi atau hukuman yang akan mereka dapatkan lebih rendah.

Sebaliknya, pada individu dengan jumlah allele S yang lebih banyak, mereka lebih rentan terhadap ketakutan dan kecemasan. Orang-orang dengan tipe genetik tersebut akan lebih berhati-hati dalam melakukan tindakannya termasuk praktik korupsi.

Masyarakat dengan tipe genetik tersebut cenderung untuk berusaha menghindari sanksi sosial, agama, maupun moral. Sehingga, dalam melakukan suatu kegiatan, mereka akan berpikir berkali-kali lipat terlebih dahulu mengenai resiko yang akan mereka dapatkan.

 

Faktor lingkungan

Meskipun kita memiliki kode genetik yang menentukan sifat masing-masing, penentuan karakter sendiri tak lepas dari faktor lingkungan. Sifat yang tampak dari luar merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan berperan sangat krusial dalam menentukan sifat seorang individu.

Kita tentu pernah mendengar cerita tentang dua anak kembar yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu anak dibesarkan di lingkungan yang baik dengan penuh kedamaian, sedangkan saudara kembarnya dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan tindak kriminal. Meskipun saudara kandung tersebut memiliki persentase gen yang sangat tinggi, namun sifat yang muncul nantinya akan berbeda. Hal ini disebabkan karena lingkungan tempat tinggal mereka berperan penting dalam membentuk karakter mereka ketika dewasa.

Dengan demikian, meskipun seorang memiliki allele S yang lebih banyak, belum tentu ia akan berperilaku baik dan tidak melakukan korupsi. Sebaliknya, seseorang dengan allele S lebih sedikit belum tentu ia akan menjadi seorang koruptor.

Dalam kasus ini peran lingkungan sangat mendukung perilaku koruptor tersebut. Lingkungan sendiri dapat berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan persahabatan, lingkungan kerja, hingga lingkungan dalam arti yang lebih luas lainnya.

Mekanisme on dan off

Gen sebenarnya bekerja dalam mekanisme on dan off. Artinya, kadang ia diekspresikan, kadang ia tidak diekspresikan sama sekali. Hal tersebut merupakan suatu kontrol ekspresi level molekuler yang sangat menakjubkan yang tubuh kita miliki agar keseimbangan tubuh tetap tercapai. Sederhananya, gen tahu kapan ia harus “bangun” dan kapan ia harus “tertidur”.

Gen-gen yang “tertidur” tersebut akan bangun ketika ada impuls atau sinyal yang membangunkannya. Misalnya, seseorang yang memiliki gen pembentuk tumor akan lebih rentan terkena tumor. Tapi, jika ia dapat menjaga pola hidup sehat dan menghindari faktor-faktor yang dapat membangunkan gen tersebut, maka ia akan tetap sehat.

Mekanisme kerja gen on dan off tersebut dapat kita kaitkan dengan kontrol diri terhadap perilaku korupsi. Kita adalah pengendali tubuh kita, sehingga ekspresi gen-gen yang terkait dengan perilaku tidak terpuji tersebut sebenarnya bisa kita “off”kan sedemikian rupa dengan cara menanamkan integritas diri dan kejujuran di atas segalanya.

Selain itu, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tentu kita takut akan dosa dan hukuman yang akan kita dapatkan ketika melakukan tindakan korupsi yang merugikan masyarakat.

Sehingga, kita harus dapat mengaktifkan (on) rasa takut kita terhadap suatu perbuatan yang kemudian hari akan menjerumuskan kita. Inilah yang menjadi tantangan besar kita dalam menjalani kehidupan yang penuh akan godaan.

Namun demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa apapun alasan dan faktor pendorongnya, korupsi merupakan suatu perbuatan tercela yang harus dihindari. Para pelaku korupsi pun sudah sewajarnya diberikan ganjaran hukuman yang setimpal dan seberat-beratnya agar dapat menimbulkan efek jera.

Jika tidak, perbuatan tersebut akan terus tumbuh subur di negeri ini. Sehingga menghambat implementasi SDGs di Indonesia, khususnya SDGs nomor 1 terkait dengan memberantas kemiskinan. Akibat sekelompok manusia serakah yang dengan enaknya memakan uang haram guna memperkaya dirinya, masyarakat jadi korban. [Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral, Fakultas Biologi, UGM, Awardee LPDP Program Doktor 2024]