February 19, 2025

Paradoks Prabowo:  Ideologi, Politik dan Ekonomi

0

Presiden Prabowo Subianto

Oleh: Frans Djalong, pemikir politik

Hari ini, setelah seratus hari berkuasa, Prabowo harus mengelola paradoks dalam dirinya sendiri. Pemerintahannya gemuk, korup dan sarat konsesi jahat—sekaligus koalisi raksasa, hasil cawe-cawe Mulyono yang menjadikannya presiden bersama wapres Gibran alias Fufufafa. Dia ingin rakyat makmur dan Indonesia yang kuat, seperti slogannya selama pesta demokrasi yang dalam kata-katanya sendiri, mahal dan melelahkan. Sang presiden sedang mencari jalan keluar.

Tak terbantahkan, Prabowo adalah nasionalis cerdas dan komandan tempur yang berpikir strategis dan berani mati. Terbukti di medan tempur Papua dan Timor-Timur selama Orde Baru.

Baca Juga: Pemerintahan Prabowo – Gibran Mengembalikan Dwifungsi TNI

Lahir dan dibesarkan dalam sejarah Indonesia, dari Kakek RM Margono Djojohadikusumo salah satu pendiri NKRI dan Bank Negara Indonesia. Kedua pamannya gugur bersama Mayor Daan Mogot dalam Pertempuran Lengkong 1946. Lalu ayahnya sendiri, Sumitro, arsitek pembangunan tiga periode, dari masa Revolusi Kemerdekaan, Orde Lama sampai Orde Baru.

Bagi Indonesia pasca suksesi Suharto 1998, Prabowo berubah menjadi penggerak demokrasi, setelah difasilitasi Megawati kembali ke tanah air dari Eropa dan Timur Tengah.

Tiga kali bertarung sebagai capres, sekali sebagai cawapres-nya Megawati 2008, sudah lebih dari cukup membuktikan militansinya. Tidak saja kehendak untuk berkuasa, tetapi tak kalah penting, menghentikan pengeroposan kedaulatan negara oleh kekuatan ‘asing’ dan ‘aseng’. Prabowo adalah anak ideologis Sukarno dan anak mantu Suharto.

Selain PDIP dan Nasdem-nya Surya Paloh, Gerindra, parpol besutannya sejak 2008, dikenal sangat disiplin, kaderisasi berlapis dan terbebas dari seteru internal.

Setidaknya satu dekade terakhir, bisa dibandingkan dengan kisruh internal Demokrat-nya SBY dan AHY yang melibatkan Moeldoko dari Istana-nya Jokowi. Seteru faksi ideologis dalam internal PKS yang melahirkan Gelora-nya Anies Matta dan Fahri Hamzah, atau perang dingin antara PKB-nya Cak Imin dan PBNU warisan Gus Dur yang dikudeta.

Seteru internal serupa, kontrol PAN oleh Zulkifli Hasan mendorong Amien Rais membentuk Partai Umat. Kisruh internal PPP yang makin melemah, dan tak asing lagi, saling kudeta secara berkala dalam Golkar sebelum dan setelah Pilpres/Pileg sampai pada drama suksesi Airlangga ke Bahlil di bawah ancaman sprindik KPK.

Satu hal pasti, Prabowo tidak ikut cawe-cawe dalam urusan partai lain. Karena itu dirinya terbebas dari dendam berlarut-larut di kalangan petinggi parpol yang tentu secara psikologis dapat mengganjal koalisi pemerintahannya.

Tapi sekarang, sang presiden, dalam kuasa presidensialisme gemuk, adalah pusat yang ambigu. Mengelola ketegangan antara konsolidasi oligarki yang mencari suaka politik dalam presidensialisme Prabowo dan konsolidasi demokrasi dari gerakan masyarakat sipil yang menuntut sang presiden kembali pada konstitusi.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Bawaslu Selidiki Dugaan Keterlibatan Polisi Pasang Spanduk Gibran

Setelah seratus hari, bersama dengan makin tersingkapnya cara kerja 𝑑𝑒𝑒𝑝 𝑠𝑡𝑎𝑡𝑒, negara di dalam negara warisan Jokowi-Luhut-Bahlil, Prabowo berada di garis batas, sebagai bagian dari masalah atau jalan keluar. Makan bergizi bukan solusi tapi bisnis pencitraan dari wapres asam sulfat, juga bukan slogan perang terhadap korupsi dengan memaafkan para pejabat tinggi asalkan uang pajak rakyat dikembalikan.

Lebih dari sekadar pangkas anggaran dan berhemat, Prabowo adalah solusi terbaik, senjata pamungkas untuk memberantas kejahatan terstruktur, sistematis, dan berlapis-lapis. Dari pusat sampai daerah, mesin ekonomi-politik oligarki terlembaga secara intensif, melalui garis komando parpol dan birokrasi, sejak pemberlakuan UU sapu jagat Cipta Kerja dan  tata kelola pembangunan berbasis kedaruratan pasca Covid 19.

Kuasa presidensialisme bisa meretas dan berantas tentakel deep state yang sesungguhnya rentan diceraiberaikan dan dihabisi satu-persatu.

Di satu sisi, sang presiden memiliki otoritas penuh  mengelola dan menertibkan kerakusan para pihak yang saling mencakar dan menelikung dalam koalisi tambun—ancaman permanen dalam rezim tanpa ideologi bersama ini. Di sisi lain, sang presiden menjadi harapan sekaligus solusi masyarakat sipil untuk mengoreksi perilaku otoritarian, ekstraktif dan oligarkis dari komplotan elit nasional yang meloloskannya ke Istana Negara.

Baca Juga: Terimakasih Prabowo

Presidensialisme sebagai resep pamungkas mensyaratkan Prabowo dibebaskan terlebih dahulu dari tiga paradoks fundamental dalam genesis kekuasaannya—Ideologi, Ekonomi dan Politik. Ketiga paradoks itu, berkelindan dalam suatu kesatuan, justru ditemukan dengan menggunakan parameter ideologi, ekonomi dan politik yang dirumuskan Prabowo dalam bukunya sendiri Paradoks Indonesia (2017).

Setidaknya dalam buku itu sang presiden adalah gambaran Sukarno, sang ideolog anti-imperialisme luar-dalam dan politisi anti-oligarki dan gambaran Hatta, sang pelopor ekonomi kerakyatan untuk Indonesia berdikari (bukan ekonomi trickle down-effect dari Sumitro, bapaknya sendiri, arsitek Repelita Orde Baru-nya Suharto).

Menghadap-hadapkan dua Prabowo boleh jadi langkah awal mengatasi paradoks Indonesia dengan pertama-tama mengatasi paradoks Prabowo itu sendiri.

Baca Juga: Didik J. Rachbini: Pemerintahan Prabowo akan Lebih Nasionalis

𝐏𝐚𝐫𝐚𝐝𝐨𝐤𝐬 𝐈𝐝𝐞𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢

Prabowo sejatinya adalah seorang pemimpin ideologis yang militan dan visioner. Dari segi ini, Prabowo bisa dianggap terbaik setelah Sukarno. Pikiran cemerlangnya tidak lebih dari kesaksian untuk mencari titik temu antara Orde Baru dan Orde Lama—bagian integral dari hidupnya sendiri.

Namun demikian, politik nasional pasca pilres 2019 memaksanya melakukan kompromi ideologis dengan rezim Jokowi yang makin otoriter dan korporatis. ‘Keberlanjutan’ akhirnya menjadi narasi politik elektoralnya, sebagai bagian dari ‘Jokowisme’, sekaligus sebagai pembeda dari narasi besar ‘perubahan’ yang diusung Anies Baswedan-Iskandar Muhaimin. Pada tingkat tertentu, terbedakan dari Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Berbeda dari narasi perubahan yang menegaskan kedaulatan rakyat, narasi keberlanjutan mempromosikan kedaulatan negara. Pesan politik Prabowo tak terbedakan lagi dari pernyataan-pernyataan Luhut yang mengabaikan hak rakyat berpendapat dan melancarkan kritik publik. Prabowo ikut menilai ketidakpuasaan rakyat terhadap sejumlah PSN adalah bagian dari infiltrasi asing.

Baca Juga: Dalam Perkara Nomor 90 yang Muluskan Gibran, MK Salahgunakan Kewenangan

Terjadi pergeseran tak terduga, dari anti-imperialisme menjadi anti-demokrasi. Dalam keberlanjutan, negara dipertentangkan dengan rakyat. Atau setidaknya kapitalisme negara bekerja melayani lapisan-lapisan masyarakat yang diandaikan dan dibuat tak berdaya.

Setelah seratus hari berkuasa, Prabowo dipaksa keluar dari paradoks ideologis terutama karena oligarki, dengan kedok teknokrasi dan disrupsi geopolitik, ternyata makin terbukti mengendalikan Istana dan kebijakan strategis nasional. Prabowo harus mengatasi paradoks ini.

Tidak ada pilihan lain selain Asta Cita diterjemahkan ke dalam kebijakan strategis baru. Paradigma keberlanjutan harus segera dikoreksi karena makin nyata menjadikan Indonesia negara gagal. Keluar dari paradoks ini adalah prioritas sebelum akhirnya Indonesia bubar tahun 2030 sebagaimana pernah diramalkannya sendiri pada tahun 2018.

𝐏𝐚𝐫𝐚𝐝𝐨𝐤𝐬 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤

Jalan Prabowo menuju Istana adalah jalan kompromi politik pasca Pilpres 2019. Atas nama rekonsiliasi elit nasional dan stabilitas politik pemerintahan, dia bersedia dipimpin Jokowi dengan kapasitas visioner yang tak sebanding dirinya, sekaligus meninggalkan pendukung utamanya sejak Pilpres 2014.

Katanya sendiri, ingin belajar dari Jokowi yang pernah dinilainya sebagai capres boneka pada tahun 2014, lawan politiknya dua dekade.

Penilaiannya tidak keliru. Setidaknya pada periode kedua, Jokowi makin mantap sebagai presiden boneka oligarki. Dipolesi citra akrobatik, dari raja blusukan menjadi presiden ‘goes internasional’ pasca Covid-19, sang presiden diminta berkhianat pada partainya sendiri PDIP.

Tidak saja menolak status petugas partai, Jokowi dan lingkaran terdalam Istana membuat percobaan presiden tiga periode sampai harus membegal konstitusi untuk meloloskan puteranya sendiri sebagai wakil presiden.

Prabowo barangkali bukanlah pelaku utama dalam sirkus politik oligarkis ini, tetapi capres yang paling diuntungkan. Seperti perkataanya sendiri tahun 2014, ‘syarat untuk berkuasa di Indonesia harus pintar berbohong, bersandiwara dan pencitraan’. Prabowo akhirnya membohongi dirinya sendiri dan ikut bersandiwara.

Taktik elektoralnya menjadi terbatas: sepenuhnya mengandalkan cawe-cawe Jokowi dan mesin parpol koalisi ketimbang merebut kembali simpati para pendukung setianya yang telah menjadi bagian dari gerakan perubahan Anies Baswedan.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Bawaslu Selidiki Dugaan Keterlibatan Polisi Pasang Spanduk Gibran

Singkat cerita, Prabowo menang Pilpres dengan dua jurus cawe-cawe Jokowi. Pertama, perilaku otoritarian berupa pembajakan institusi negara. Kedua, aksi totalitarian dalam manipulasi ketokohan Prabowo sebagai inkarnasi Jokowi.

Prabowo harus keluar dari paradoks politik ini. Asta Cita tidak boleh tersandera balas jasa, baik kepada Jokowi maupun tentakel deep state bersama ‘sembilan naga’.

Kalau semasa pemilu 2023-2024 Prabowo berkata ‘ibarat klub sepakbola, kita ini adalah klub-nya Jokowi’, maka setelah seratus hari berkuasa, sang presiden sebaiknya membentuk klub inti-nya sendiri. Kalau terlampau pelik, setidaknya segera menggalakkan revolusi mental di kalangan para pemain lama dari klub Jokowi.

𝐏𝐚𝐫𝐚𝐝𝐨𝐤𝐬 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢

Prabowo mewarisi kejahatan ‘Jokowinomics’, sebuah istilah mentereng  untuk menggambarkan seakan-akan infrastruktur PSN multisektor yang dikerjakan BUMN dan industri ekstraksi ugal-ugalan otomatis membuat rakyat banyak bekerja, sejahtera dan bahagia.

Ibarat kotak pandora makin terbuka, bau busuk korupsi, kolusi dan nepotisme rupanya jauh lebih menyengat dari aroma belalang goreng-nya Dadan Hindayana, Kepala Badan Gizi Nasional, untuk  makan siang generasi Indonesia Emas 2045. Lalu sang presiden terpaksa mengelola anggaran terbatas dengan membatasi anggaran pada sektor dan urusan yang boleh jadi strategis dan harus diprioritaskan.

Kabinet Merah Putih dibikin tambun untuk balas jasa. Sementara para pengendali utama Jokowinomics yang gagal itu tetap diberi peran serupa atau berganti jabatan pada kementerian/badan baru tanpa ada koreksi menyeluruh terhadap IKN dan ratusan PSN  bermasalah.

Komplotan tetap sama, kultur birokrasi dan cara kerja tak berubah, tetapi sang Presiden mengharapkan hasil yang berbeda. Dalam tata kelola tambal-sulam ini  belanja kabupaten diminta berhemat tanpa ada evaluasi sejauh mana otonomi daerah berkontribusi bagi ekonomi provinsi dan nasional.

Hashim Djojohadikusumo dan Luhut BP adalah sinyal terkini dari paradoks ekonomi Prabowo. Adik kandung sang presiden menyebut program pembangunan Jokowi konyol dan boros, sementara Luhut, otak-nya Jokowinomics, malah diberi peran strategis sebagai ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN).

Alih-alih melakukan koreksi terhadap developmentalisme Jokowi, politisi merangkap pengusaha tambang dan kendaraan listrik ini malah mendorong Prabowo untuk menjadikan trickle down effect ala Repelita Orde Baru sebagai panduan kebijakan ekonomi makro.

Baca Juga: PTUN  Jakarta Terima Gugatan PMH TPDI dan Perekat Nusantara Soal Nepotisme Jokowi

Visi ekonomi yang bertolak belakang dalam komunitas kebijakan Prabowo adalah sinyal awal adanya disorientasi pembangunan. Gagasan Hashim lebih serupa dengan analisis makro Mari Pangestu, wakil ketua DEN, dan masih membawa semangat koreksi ekonomi-politik yang diarusutamakan Faisal Basri, Rizal Ramli dan Thomas Lembong.

Di lain pihak, Luhut bersama Bahlil dan tokoh simpul oligarki lainnya, berbagi pandangan yang tak terbedakan dari Sri Mulyani, bendahara negara. Yaitu, bergerak dari cara berpikir manajer perusahaan mengelola ekonomi negara, sebagaimana diharapkan Bank Dunia dan IMF. Bergabung ke dalam BRICS, bagi Luhut tak lebih dari sekadar memperluas pasar dagang dan investasi.

Prabowo harus keluar dari paradoks ekonomi ini dengan melakukan 𝑑𝑟𝑎𝑖𝑛 𝑡ℎ𝑒 𝑠𝑤𝑎𝑚𝑝, memutus mata rantai bisnis-politik-birokrasi. Tanpa mengurangi balas jasa politik, peran Luhut dan kelompoknya dalam produksi kebijakan ekonomi dibatasi dan diganti ke urusan lain untuk tidak melanggengkan konflik kepentingan di kalangan pejabat negara.

Swasembada pangan dan swasembada energi tidak akan tercapai tahun 2029 apabila transparansi dan akuntabilitas kelola kebijakan semata diserahkan kepada proses hukum dan keputusan hakim.

Baca Juga: Prabowo – Sandiaga Uno Deklarasi Menang Pilpres untuk “Fait Accompli” Politik

Mengakhiri curah gagasan ini, disimpulkan kembali, paradoks Prabowo hari ini adalah paradoks Indonesia. Kuasa presidensialisme-nya hadir sebagai jalan keluar, tanpa sang presiden harus lagi bersandiwara dan berbohong. Indonesia butuh Prabowo nasionalis cerdas dan ahli strategi perang dalam medan tempurnya sendiri yang paradoksal.

Berburu Jokowi tanpa membedah paradoks Prabowo ibarat terperosok dalam lubang sejarah politik yang sama. Jokowi dan Jokowinomics menggerogoti visi nasionalisme kerakyatan yang pernah dicetuskannya untuk mengatasi paradoks Indonesia.

Dengan dukungan masyarakat sipil yang terus terkonsolidasi, sang presiden memperoleh legitimasi politik berlapis untuk tidak terjebak dalam aksi balas jasa berkedok konsolidasi dan rekonsiliasi elit nasional. Setelah seratus hari berkuasa, sudah saatnya Prabowo menjadi presiden rakyat Indonesia dan bukan lagi penerus kekuasaan Jokowi dan oligarki. xx

 

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *