Omnibus Law Bukan Penentu Tunggal Datangkan Investor
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bukan satu-satunya faktor yang bisa mendatangkan investor ke Tanah Air dan menciptakan lapangan pekerjaan. “Faktor penentu lainnya adalah bagaimana menghilangkan kebiasaan pungutan liar (pungli), kebiasaan transaksional dan lamban bekerja,” kata Staf Khusus untuk Urusan Ekonomi dan Investasi Transportasi kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia, Wihana Kirana Jaya.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengatakan itu dalam seminar dengan tema,”Penyederhanaan Perizinan Berusaha, Persyaratan Investasi, Kemudahan Berusaha” di Kampus S2 UGM, Jakarta, Rabu (11/2/2020).
Tampil sebagai pembicara lain dalam acara yang diselenggarakan Perhimpunan Organisasi Alumni PTN Indonesia itu adalah Direktur Eksekutif Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng; Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Sukarmi; dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto. Seminar yang dihadiri banyak itu dimoderatori Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika.
Omnibus Law adalah suatu Undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar. Ada yang menyebut Omnibus Law adalah penyederhanaan peraturan perundang-undangan. Menurut Wihana, Omnibus Law adalah aturan main yang belum berfungsi secara penuh. “Apa pun aturannya kalau masih transaksional ya susah. Ini yang terjadi di negara kita sampai saat ini,” kata dia.
Wihana menyebut penyakit birokrasi lama masih mengidap Indonesia saat ini yakni patron klien, perizinan lama dan harus ada setoran segala.
Menurut Wihana, yang menjadi penentu lain untuk mendatangkan investor adalah ketersediaan infrastruktur, ketersedian energi seperti gas, air dan sebagainya.
Senada Sukarmi mengatakan, Omnibus Law tidak menyelesaikan permasalahan terkait investasi di Indonesia. Masalah utama sulitnya investor datang ke Indonesia, kata perempuan berhijab ini adalah rapuhnya penegakkan hukum di Indonesia. “Percuma aturan hukum bagus kalau penegakkan hukum amburadul,” kata dia.
Sukarmi sendiri menyangsikan draf Omnibus Law menjadi UU yang bagus. Pasalnya, kata dia, waktu terlalu singkat. Di Selandia Baru dan Australia, kata dia, membuat Omnibus Law memakan waktu puluhan tahun. “Indonesia mau kurang dari setahun ? Hasilnya pasti tidak bagus,” kata dia.
Ia menegaskan, Omnibus Law adalah cara penyederhaan sejumlah UU menjadi satu UU di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, seperti Inggris, AS, Australia, Malaysia, dan sebagainya. Sedangkan Indonesia menganut sistem hukum civil law sama dengan Perancis dan Belanda. Sukarmi mempertanyakan naskah akademis dari Omnibus Law ini. ”Ya mungkin ada Omnibus Law-nya namun saya takut Omnibus Law berbicara lain, rumusan pasal-pasalnya berbicara lain. Ini sering terjadi. Naskah akademis hanya formalitas belaka,” kata dia.
Sedangkan Endi Jaweng optimistis dengan rancangan Omnibus Law yang sedang berlangsung. Sebab, kata dia, berdasarkan data KPPOD hambatan investasi di daerah sampai saat ini sebesar 32,6% karena masalah perizinan, sebesar 17,3% masalah lahan, dan sebesar 15,2 % masalah regulasi dan kebijakan.
Endi berharap, dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini maka semua hambatan itu dihilangkan.
Namun Endi berharap, Omnibus Law cipta lapangan kerja ini jangan sampai terjadi resentralisasi sistem pemerintahan. Artinya kewenangan daerah semuanya dipangkas seperti terjadi zaman Orde Baru.
Endi juga mengkritisi bahwa dalam membahas draf Omnibus Law ini tidak melibatkan banyak pihak seperti serikat pekerja dan organisasi masyarakat yang bergerak dalam lingkungan hidup. “Namun, belum terlambat untuk pemerintah agar semua pihak terlihat dalam perumusan,” kata dia. [TVP/RH]