Cegah Terorisme dengan Pendidikan Kewarganegaraan
Mataram, Topvoxpopuli.com – Proses demokrasi tanpa dibarengi struktur dan kultur yang demokratis hanya akan menjadikan proses verbal semata tanpa pemahaman yang kuat dan tidak memiliki arah.
Sehingga untuk membangun masyarakat yang demokratis perlu diciptakan prakondisi melalui edukasi dan sosialisasi berkelanjutan untuk membangun struktur sosial dan kultur yang demokratis.
Terkait dengan maraknya kembali aksi kekerasan seperti bom bunuh diri Makasar maupun di Mabes Polri serta aksi aksi tindak intoleran lainnya, maka dalam rangka mencegah dan meminimalisasi aksi serupa, Mi6 mendorong KPU, Bawaslu dan Pemda di NTB bersinergi menggalakkan kembali pendidikan kewargaannegaraan (Civic Education) untuk semua kalangan warga NTB tanpa terkecuali.
“Secara umum tujuan pendidikan Civic yaitu mendidik warga negara supaya menjadi rakyat yang baik yang dapat dinarasikan sebagai rakyat yang patriotik, setia terhadap bangsa dan negara, toleran dan demokratis,” kata Direktur Mi6 , Bambang Mei Finarwanto, Jumat ( 2/4/2021).
Civic Education, sejatinya dipahami sebagai wahana pendidikan yang didesain untuk membina dan mengembangkan sikap warganegara yang baik, cerdas, kritis dan partisipatif (smart and good citizen) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik dalam konteks lokal, regional maupun internasional.
Secara lebih sederhana, Civic Education dipahami sebagai wahana pendidikan demokrasi (democracy education) bagi warganegara.
Menurut pria yang akrab disapa Didu ini, Pendidikan Demokrasi secara substantif menyangkut soisalisasi, diseminasi, aktualisasi dan implementasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui sistem pendidikan. Bisa formal ataupun informal.
Dalam praktiknya, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) tersebut memiliki peristilahan yang berbeda, seperti Citizenship Education, Humanright Education dan Democracy Education.
Di Inggris misalnya, menyebut Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan Citizenship Education, yang pada tahun 2002 ini menjadi mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Inggris.
Bahkan di negara-negara Arab-seperti Yordania dan Sudan-istilah Civic Education diterjemahkan dengan al-tarbiyah almuwathanah dan altarbiyah al-wathaniyah.
Didu mengungkapkan, Pendidikan Kewargaan yang diidentikkan dengan pendidikan HAM (Humanright Education) mengandung pengertian aktivitas mentransformasikan nilai-nilai HAM kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran akan penghormatan, perlindungan dan penjaminan HAM sebagai sesuatu yang kodrati dan dimiliki setiap manusia.
Menurut dia, urgensi pendidikan kewarganegaraan untuk warga NTB ini sebagai bentuk komitmen para stakeholder untuk menjaga dan merawat kebhinnekaan suku dan entitas lainnya di wilayah Sunda kecil ini.
“Selain menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), pendidikan Civic diarahkan agar warga NTB dari semua lapisan memiliki civics inteliegence, sosial, emosional dan kecerdasan secara spiritual agar tidak mudah diprovokasi atau di intrik dengan hal-hal yang merugikan keberagaman,” urai Didu.
Untuk itu, lanjutnya, KPU dan Bawaslu memiliki tanggungjawab moral dan politik dalam mendorong sekaligus mengartikulasikan pendidikan civic secara berkala, sistematis dan terukur. Tidak semata mata menjadi penyelenggara pemilu yang hanya menjalankan regulator dan pengawas demokrasi prosedural saja.
“Mumpung tahun 2021/2022 tidak ada agenda pesta demokrasi, tak ada salahnya KPU/Bawaslu bekerjasama Pemda di NTB maupun stakeholder lainnya menggagas dan menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan secara reguler baik offline maupun online untuk semua lapisan warga NTB,” harap Didu.
Didu menegaskan,mengingat masih dalam situasi pandemi covid 19, maka pendidikan kewarganegaraan bisa dilakukan dengan rule model klas terbatas sesuai protokol kesehatan.
Sementara untuk kelas online pendidikan kewarganegaraan bisa disetting sedemikian rupa agar peserta didik antusias mengikuti civic education ini.
“Kurikulum Pendidikan Civic perlu disesuaikan dengan karakter entitas Suku di NTB agar mudah dan diterima. Selain itu Pengajar/ fasilitator Civic Educations perlu yang komunikatif , familiar dan Humble agar peserta didik tidak bosan/ jemu,” ulas Mantan Direktur Walhi NTB dua periode 1996- 2002.
Memanfaatkan Teknologi Animasi
Didu menambahkan, selain melalui metode kelas offline dan online, pendidikan kewarganegaraan ini bisa dilakukan melalui campaign di Medsos dengan aneka tagline singkat tapi mudah diingat agar lekat dipikiran warga NTB yang membacanya. Hal ini karena kecenderungan masyarakat kekinian menyukai hal – hal yang informatif tapi dengan gaya bahasa/ narasi yang to the point agar mudah dipahami. Bahasa yang tertele-tele , selain membosankan juga terkesan menggurui.
“Selain itu kampanye pendidikan civic bisa dilakukan dengan memanfaatkan tehnologi animasi ataupun merangkul komikus di NTB agar membuat konten-konten yang kontektual terkait kurikulum dan tujuan pendidikan civic tersebut,” paparnya.
Ia menambahkan, website atau fanpage stakeholder di NTB perlu memasukkan konten animasi yang berisi ajakan atau pesan mencerahkan dan mencerdaskan warga NTB.
Terakhir Didu mengatakan, letak kekuatan tehnologi Animasi maupun komik yakni pesannya mudah diterima dan mudah diingat atau dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat apalagi jika karakter animasi atau kartun menjadi viral, maka makin mudah pesan-pesan tersebut digemari netizen.
“Untuk itu Pemda NTB tidak ada salahnya mulai merangkul dan memanfaatkan potensi besar kreator komikus asal NTB sebagai agen pendidikan dan perubahan untuk menciptakan Generasi NTB yang Gemilang,” pungkasnya. [TVP/RH]