Denda Adat Kasus Laos, dan Advokat yang Diusir !

0

Edi Hardum, SH, MH, salah satu kuasa hukum Eki.

Oleh : Edi Hardum, SH, MH, salah satu kuasa hukum Eki

Pada Kamis, 25 Oktober 2018, sore, di Kampung Kaca, Desa Nampar Macing, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaksanakan acara Adat Bayar Denda.

Rensi Ambang (RA) bersama istrinya, Maria Karolina Alfa dan anaknya, Ronald Ambang, pelaku penyanderaan, pengeroyokan dan pemukulan (persekusi) terhadap Melkior Merseden Sehamu alias Eki (27 tahun) membayar denda adat kepada Eki dan keluarga serta warga Golo Tado dan sekitarnya dengan satu ekor kerbau dan uang sebesar Rp 35 juta.

Edi Hardum, SH, MH, salah satu kuasa hukum Eki.

Satu ekor kerbau dan uang Rp 35 juta itu diserahkan langsung oleh istri Rensi Ambang, Maria Karolina Alfa (44) kepada Tua Golo Tado (Kepala Adat Tado), Yosef Tote, mewakili Eki dan keluarganya. Sedangkan RA sendiri tidak bisa hadir karena masih ditahan polisi dalam kasus itu sejak 26 September 2018.

Acara itu disaksikan oleh sejumlah tetua Adat Tado lainnya, Tua Golo Nobo, Maksimus Hambur, bapak dari Rensi Ambang, Simon Ambang, tante dari Rensi Ambang, Moni Ambang, adik dari Rensi Ambang, Ani Ambang, kuasa hukum dari Eki, Janggat Yance, Hironimus Ardi, S.Edi Hardum (saya sendiri) serta ratusan warga Kampung Kaca dan sekitarnya.

Sebelum dilaksanakan Kamis (25/10), pada Minggu (21/10), kedua belah pihak melakukan negosiasi mengenai besaran denda. Waktu itu, pihak Eki sebagai korban, meminta pihak pelaku (Rensi Ambang) agar membayar uang sebesar Rp 150 juta sesuai dengan ketentuan Adat Kempo, karena sesuai dengan perbuatan RA yang kejam terhadap Eki. Namun, karena pihak RA terus melakukan tawaran, maka pihak korban pun bersedia dibayar hanya dengan Rp 35 juta dan satu ekor kerbau.

Sehari setelah acara ini berlangsung, sebagian masyarakat terutama warganet memberi tanggapan yang sebagian besar, yang berkomentar atas berita soal denda itu, menyatakan puas dan sepakat dengan besaran denda itu. Namun, komentar yang menjengkelkan dan menyesatkan publik adalah komentar dari Plasidus Asis de Ornay, orang yang mengaku masih sebagai kuasa hukum Rensi Ambang.

Asis, demikian panggilan Plasidus Asis de Ornay, sebagaimana dilansir Floresa.co, pada 27 Oktober 2018, mengatakan, denda seekor kerbau tidaklah etis.

Menurutnya, denda adat kerbau bukan untuk menyelesaikan kasus seperti itu, tetapi untuk mahar kawin. “Itu kan permintaan pihak legal (pengacara) pihak sebelah, Yance dan kawan-kawan. Itu tidak etis (minta kerbau). Saya tidak melihat substasi adat Manggarai dari permintaan (kerbau) oleh pihak Eki. (Budaya Manggarai) telah bergeser,” kata Asis saat dihubungi Floresa.co, Sabtu, 27 Oktober 2018.

Lebih lanjut Asis mengatakan,” …..“Setahu saya, yang namanya “Wunis Peheng” itu paling besar uang 10 juta dan satu ekor babi saja,” jelas Asis. Namun, ia memilih tidak terlalu jauh mengurus proses adat tersebut. Menurutnya, selagi keluarga RA mampu maka proses tersebut sah. “Kalau klien saya bayar segitu, berarti mampu. Tidak jadi soal,” tutupnya….”.

Asis Sudah Dipecat RA dan Keluarganya

Perlu diketahui, pada Kamis, 25 Oktober 2018 itu, sesaat sebelum acara resmi Bayar Denda dilaksanakan, pertama, saya sebagai salah satu kuasa hukum Eki menanyakan kepada pihak RA akan kuasa hukum mereka. “Nia kuasa hukum dite, Pak Asis ?” tanya saya, yang saat itu didampingi Pak Willy Grasias, wartawan beritasatu.com. “Poli usir le hami ge,” jawab Simon Ambang, bapaknya Rensi Ambang. Yang menanyakan seperti itu, bukan hanya saya, ada juga yang lain. Pertanyaan ini muncul karena Saudara Asis tidak kelihatan hadir dalam acara itu.

Jawaban itu diafirmasi oleh Moni Ambang dan Any Ambang yang juga hadir di lokasi. Moni Ambang adalah tante dari Rensi Ambang. Sedangkan Any Ambang adalah adik dari Rensi Ambang.

Dipecatnya Asis sebagai kuasa hukum ini diceritakan secara detail oleh Any Ambang kepada saya, dalam perjalanan dari Kampung Kaca menuju Labuan Bajo, sehabis acara itu. Penulis dan Willy Grasias menumpang mobil mereka ke Labuan Bajo. Waktu itu, Any Ambang ditemani dan disetir oleh suaminya.

Menurut Any dan suaminya, Asis dipecat karena keberadaannya sebagai kuasa hukum justru merugikan pihak Rensi Ambang, yakni membuat pernyataan yang bersifat mengadu polisi dan kuasa hukum Eki di media massa dan media sosial, yang menjadi “bola” adalah Rensi Ambang.

Minggu, 28 Oktober 2018 siang, rekan saya, Yance Janggat mengontak saya, agar segera menanggapi pernyataan Asis. Saya mengatakan, sejak Sabtu, 27 Oktober 2018 malam saya sudah geram dengan pernyataannya. Dalam kontak telepon, saya minta Pak Yance agar kembali menanyakan Bapak Simon Ambang atau Moni Ambang apa benar saudara Asis sudah dipecat sebagai kuasa hukum. Tiga puluh menit kemudian, Pak Yance memberitahu, bahwa Bapak Simon Ambang menegaskan, Asis telah dipecat sebagai kuasa hukum.

Oleh karena itu, Asis berkomentar ke publik dengan menyebut diri sebagai kuasa hukum RA dan keluarga, cacat hukum dan melanggar kode etik advokat. Untuk hal ini, saya dan rekan advokat kuasa hukum Eki lainnya sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah lebih lanjut.

Bedah Substansi

Substansi pernyataan Asis adalah bayar satu ekor kerbau dan uang Rp 35 juta tidak etis. Pertama, berbicara etis dan tidak etis, jelas mengacu pada konsep benar-salah, baik-buruk, indah-jelek.  Benar menurut hukum belum tentu benar secara secara adat. Benar secara hukum namun tidak baik menurut adat atau kebiasaan masyarakat.

Dalam kasus Loas, RA versus Eki, kalau kita membedah perbuatan RA, sungguh ia dan istri serta anaknya dijerat pasal berlapis. Karena itulah, walaupun agak terlambat, RA mengambil langkah denda adat. Saya salut dan menghargai langkah ini.

Denda Adat ini, sebagaimana ditulis dalam Akte Perjanjian, bertujuan, salah satunya semoga dapat meringankan hukuman untuk RA oleh hakim (aparat penegak hukum).

Kedua, saudara Asis, berbicara dengan titik tolak kebiasaan Adat Manggarai. Saudara Asis lupa, atau malas bertanya soal Adat Kempo. Adat Kempo kalau dalam hal denda, salah satunya seperti kasus RA versus Eki, beda dengan Manggarai umumnya. Nilai dendanya lebih tinggi dibanding Manggarai umumnya.

Kalau di Kedaluan Nggalak (saya dari Kedaluan Nggalak), denda kepada Rensi Ambang dalam kasus yang dimaksud : satu ekor babi (ela wase lima) dan uang paling tinggi 20 juta. Saya tanya teman-teman dari kedaluan lain di Manggarai juga begitu. Lantas, apa kita bisa paksakan Adat Kempo harus sama dengan Adat Kedaluan lain di Manggarai ? Oh tidak ! Itu sudah berlaku turun temurun di Kempo.

Oleh karena itu, saudara Asis, mengatakan, denda dalam kasus di atas tidak etis, sama dengan menghina Tetua Adat Tado khususnya, Adat Kedaluan Kempo umumnya serta juga menghina korban (Eki) serta kuasa hukumnya !

Ketiga, pada Kamis, 25 Oktober 2018 itu, sebelum Akta Perjanjian ditandatangai pihak Rensi Ambang dan Eki serta para saksi, naskah Perjanjian itu dibacakan dan didiskusikan bersama antara pihak RA dan Eki serta para tetua adat serta kuasa hukum Eki.

Setelah semuanya setuju dengan isinya poin per poin, lalu ditandatangani. Jadi pihak Eki tidak memaksakan kehendak kepada pihak RA.

Memang saya dan teman-teman sebagai kuasa hukum Eki, sangat senang kalau kuasa hukum pihak RA hadir dalam acara itu, dalam konteks mendiskusikan materi atau isi naskah perjanjian. Dalam konteks itulah sejak awal kami, dalam acara itu menanyakan keberadaan kuasa hukum pihak RA.

Dan perlu diketahui, dalam acara penyerahan Denda Adat itu, seorang anggota polisi, yang bertugas sebagai reserse tidak pidana umum di Polsek Lembor, hadir. Sang polisi ini hadir, atas permintaan penyidik kasus RA versus Eki di Polres Manggarai. Jadi, siapa yang berbicara bahwa denda adat ini tidak etis, sungguh berlebihan !

Sebenarnya saya, enggan berbicara kasus ini lagi, karena sejujurnya saya menjunjungi tinggi dan menghargai Rensi Ambang dan keluarganya yang telah membayar Denda Adat. Tapi, jangan sampai pernyataan Saudara Asis menyesatkan makanya perlu saya tanggapi. xxx

 

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *