July 27, 2024

Jakarta Banjir, Bukan Sepenuhnya Salah Anies

0

Edi Hardum

Oleh : Edi Hardum, Journalist and Lawyer, anggota Presidium Iska Indonesia

Curah hujan di Jakarta dan sekitarnya pada Selasa (31/12/2019) dan Rabu (1/1/2020), sangat lebat. Akibatnya Jakarta dan beberapa tempat di sekitar Jakarta, terendam banjir. Banjir kali ini sepertinya lebih mengerikan dibandingkan dengan banjir-banjir yang dialami Jakarta dan sekitarnya pada tahun-tahun yang telah lewat.

Akibat banjirnya Jakarta, banyak orang menyalahkan Gubernur DKI, Anies Baswedan. Apa benar karena kesalahan Anies ? Bagi saya, Anies bersalah, namun tidak sepenuhnya ia bersalah.

Jakarta merupakan Kota Banjir. Mengapa disebut Kota Banjir ? Pertama, sejak zaman penjajahan Belanja Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini diserang banjir. Karena itulah, pada tahun 1914 penjajahan Belanda membangun pintu air Manggarai, yang selesai tahun 1918 dan diresmikan tahun 1919.

Pintu Air Manggarai bermanfaat untuk mengalihkan air Ciliwung ke ke Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah Barat Laut di daerah Karet Kubur, kemudian dilanjutkan ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di muara (Pluit). Dalam pengoperasiannya, Pintu Air Manggarai terkait erat dengan Pintu Air Karet.

Pintu Air Manggarai terkait dengan pembangunan Kanal Banjir Barat (KBB), dimulai dengan adanya ide menghubungkan Kali Krukut dengan Kali Ciliwung, sehingga mengalihkan aliran air yang selama ini menggenangi Menteng dan Weltevreden. Dengan pengaturan air sejak dini dari bagian selatan Jakarta, diharapkan beban banjir di pusat kota pada masa itu lebih ringan.

Kedua, hampir setiap musim hujan tiba masyarakat Jakarta terutama yang bertempat tinggal di bantaran kali, terutama Kali Ciliwung pasti terkena banjir. Sejak Indonesia merdeka, Sungai Ciliwung tercatat membawa bencana banjir sering kali yaitu pada tahun 1976, 1984, 1994, 1996, 1997, 1999, 2001, 2007, 2008 dan 2014, 2017 dan 2019 akhir dan awal 2020.

Mengapa Jakarta selalu diserang banjir. Pertama, 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Hal ini terjadi karena terus menurunnya permukaan tanah Jakarta sebagai akibatnya masifnya pembangunan gedung bertingkat dengan sedotan air tanah yang banyak. Sampai saat ini, pembangunan gedung bertingkat di Jakarta masih berlangsung.

Kedua, terjadi pendangkalan 13 sungai yang melewati Jakarta, terutama pendangkalan Sungai Ciliwung sepanjang 120 km (dari hulu sampai hilir). Sungai-sungai ini menjadi dangkal karena masyarakat membuang sampah ke sungai. Selain itu, mereka mendirikan bangunan di atas badan sungai.

Ketiga, penggundulan hutan di sektor hulu, yakni di Puncak, Bogor. Pembangunan vila dan perumahan di Puncak, Bogor berlangsung sejak lama, bahkan sejak Orde Baru, dan bertambah massif di zaman reformasi.

Keempat, terjadinya pedangkalan di hilir, yaitu utara Jakarta, serta naiknya air laut (rob). Air laut naik, juga disebabkan karena pantai sudah diubah jadi perumahan mewah serta sebagian sudah direklamasi. Hal ini terjadi sejak zaman Orde Baru.

Jakarta Bebas Banjir

Program Jakarta bebas banjir digulir sejak lama, terutama zaman SBY, dan semakin kencang sejak Joko Widodo menjadi Presiden RI.

Langkah yang diambil yakni, pertama, sektor hulu, dengan membongkar vila-vila di Puncak, Bogor. Pemerintah yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (Kempupera) bersama Pemkab Bogor, sejak tahun 2013 – 2015 membongkar ratusan vila-vila liar di Puncak.

Langkah lain di sektor hulu ini, Kempupera bersama Pemkab Bogor Waduk Ciawi dan Sukamahi. Sampai awal tahun 2020 ini, progres pembebasan tanah untuk dua waduk tersebut di atas 90% dan progres pembangunan fisik saat ini mendekati 45%. Kedua waduk ini akan tuntas pembangunannya akhir tahun 2020. Kedua waduk itu dapat mengurangi volume kiriman air ke Jakarta hingga 30%.

Kedua, sektor tengah, yakni normalisasi 13 sungai yang membelah Jakarta dan sekitarnya, terutama Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, mengatakan, normalisasi bertujuan mengembalikan lebar Ciliwung menjadi normal, yaitu 35-50 meter, diikuti penguatan tebing, pembangunan tanggul, serta jalan inspeksi selebar 6-8 meter di sepanjang sisi sungai. Kapasitas tampung air menjadi hampir tiga kali lipat yakni dari 200 m3/detik menjadi 570 m3/detik.

Saat ini lebar Ciliwung saat ini hanya 20-30 meter akan menjadi lebih lebar hingga 50 meter. Selain itu, di sisi kanan dan kiri tanggul akan dibangun jalan inspeksi selebar 7,5 meter. Dengan demikian, total lebar sungai menjadi 65 meter.

Paling tidak pemerintah sudah berbuat untuk semua lebih baik. Sungai sudah relatif lebih bersih, meski masih butuh proses panjang untuk mengembalikan ke fungsi semula.
Sejak 2015, normalisasi kali dilakukan sepanjang 24,1 km dari TB Simatupang hingga Manggarai.

Namun, sayang seribu sayang, kegiatan normalisasi ini terhenti sejak Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI. Anis tidak setuju dengan normalisasi sungai, tetapi ia ingin naturalisasi sungarai. Namun, praktiknya seperti apa, Anis tidak tunjukan. Di sinilah kesalahan Anis !

Basuki mengatakan, DKI Jakarta terkena banjir parah pada Rabu (1/1/2020) karena belum optimalnya pembangunan prasarana pengendalian banjir, dimana sejak tahun 2017 belum dapat dilakukan normalisasi pada keempat sungai karena kendala pembebasan lahan.

Ia mengatakan, program Pengendalian Banjir Sungai Ciliwung sudah ditangani 16 km dari rencana keseluruhan 33 km. Dari pengamatan area pada hari Rabu (1/1) pukul 15.00 – 16.30 WIB, tampak bahwa area sekitar sungai yang telah dilakukan normalisasi sungai relatif aman.

Sedangkan pada area sekitar sungai yang belum dilakukan normalisasi dalam kondisi tergenang banjir (misal di Bidara Cina). Demikian halnya pada Sungai Cipinang yang belum dinormalisasi, area sekitar juga tergenang banjir.

Menurut Basuki, untuk percepatan pelaksanaan Sudetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Sungai Cipinang, telah diajukan perbaikan penetapan lokasi (penlok) dari Kempupera dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung – Cisadane Ditjen Sumber Daya Air ke Gubernur DKI pada tanggal 26 Desember 2019. “Masyarakat setempat telah menyetujui pemanfaatan lahan untuk kelanjutan pembangunan sudetan sepanjang 600 meter dari keseluruhan 1.200 meter,” kata dia.

Untuk pengendalian banjir Kota Bekasi dan sebagian Kabupaten Bekasi, Kempupera sudah membuat Perencanaan Pengendalian Banjir Kali Bekasi dimana pada tahun 2020 akan dilakukan value engineering terhadap perencanaan tersebut dan segera ditindaklanjuti dengan pekerjaan fisik konstruksinya.

Basuki mengatakan, daerah terdampak banjir pada Rabu (1/1), terparah di DKI Jakarta berada pada empat Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Krukut, Sungai Ciliwung, Sungai Cakung, dan Sungai Sunter. Untuk penanganan darurat bersama pihak terkait, telah difungsikan pompa, karung pasir, bronjong dan tanki air agar kawasan dan prasarana publik terdampak dapat segera berfungsi kembali. Pada tahun 2016, Basuki mengatakan, kalau pengerjaan normalisasi tidak berhenti maka Jakarta bebas banjir mulai tahun 2018.

Pengerjaan normalisasi, kata Basuki, dilakukan untuk mengembalikan lebar kali sekitar 50 meter. Kapasitas air yang semula 570 meter kubik per detik diharapkan juga bisa berkurang sebanyak 60 meter kubik per detik dengan adanya sodetan Ciliwung.

Selain itu, pintu air Manggarai yang semula dua pintu saat ini telah ditambah menjadi tiga pintu, kapasitasnya menjadi 510 meter kubik per detik. Jadi kalau ada air lewat 470 meter kubir per detik, ya sudah lewat saja.

Ketiga, pada hilir. Pemerintah sudah lama membangun tanggul laut pengaman pantai Jakarta atau pengembangan terpadu pesisir Ibu Kota negara yakni, National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Giant Sea Wall terus dikebut. NCICD fase A bertambah dua kilometer pada akhir 2017. Sampai saat ini masih berlangsung pembangunannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka adalah berlebihan kalau banjir Jakarta kali ini disalahkan sepenuhnya kepada Anies Baswedan. Sektor hulu dan hilir juga belum tuntas pembangunannya.

Alasan sebagai Ibu Kota Negara

Sudah tahu Jakarta selalu langganan banjir, Mengapa penjajahan Belanda dan pemerintah Indonesia menetapkan Jakarta sebagai pusat pemerintahan atau Ibu Kota Negara ?
Sebelum dibaptis dengan nama Jakarta, sebelumnya bernama Sunda Kelapa, yang merupakan kota pelabuhan. Pada 22 Juni 1527, Pangeran Fatahillah menghancurkan Sunda Kelapa. Selanjutnya ia membangun Kota Jayakarta di area Sunda Kelapa. Itulah alasan Hari Ulang Tahun Jakarta dirayakan setiap 22 Juni.

Pada 1619, VOC yang dipimpin oleh orang Belanda, Jan Pieterszoon Coen merebut dan menduduki Jayakarta. Selanjutnya pihak VOC mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Batavia dibangun mirip dengan kota-kota di Belanda, yaitu dibangun dalam bentuk blok, masing-masing dipisahkan oleh kanal dan dilindungi oleh dinding sebagai benteng, dan parit. Batavia ini selesai dibangun pada 1650.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan menundukkan Belanda, Jepang mengubah nama Batavia menjadi Djakarta. Jepang bertekuk lutut kepada AS dan sukutunya, maka di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan. Karena segala pusat pemerintahan sebelumnya (masa pendudukan Belanda dan Jepang) berpusat di Jakarta, akhirnya Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Pada 4 Januari 1946, Ibu Kota Indonesia yang sebelumnya ditetapkan di Jakarta berpindah ke Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena kondisi Ibu Kota Jakarta sudah tidak kondusif setelah berbagai peristiwa pasca kemerdekaan.
Hampir dua tahun lamanya Soekarno dan beberapa pendiri bangsa menjalankan roda pemerintahan di Yogyakarta sebagai Ibu Kota, hingga akhirnya dikembalikan lagi ke Jakarta.

Nah, bisakah pemerintah dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI membangun Jakarta seperti yang dirancang Belanda agar bebas banjir ? Jawabannya bisa ! Yang terpenting lakukan seperti seperti yang direncanakan dari sektor hulu, tengah dan hilir !

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *