Kejahatan Seks di Sampar, Polisi Bekerja Lamban
Oleh : Edi Hardum, S.H, M.H., salah satu penasehat hukum korban
“Anak-anak di Kampung Sampar dan sekitarnya sudah tidak bebas lagi bermain di halaman rumah dan lapangan yang lumayan jauh dari rumah. Orang tua dan anak-anak takut predator kejahatan seks terhadap anak”.
Kata-kata ini keluar dari mulut seorang warga Sampar, Jose (44 tahun), kepada penulis, Minggu (9/2/2020). Menurut Jose, ketakutan orang dan anak-anak di Kampung Sampar dan sekitarnya didasari karena pelaku kejahatan seksual yang diduga dilakukukan PK (laki-laki 55 tahun, sudah beristri) terhadap anak perempuan berumur 9 tahun Rensi (bukan nama sebenarnya) di Kampung Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Manggarai, NTT, pada Jumat, 1 November 20019 sampai saat ini polisi belum menangkapnya. Sebelum kejadian ini, anak-anak di kampung itu dan sekitarnya bebas bermain.
“Warga Kampung Sampar dan sekitarnya takut sama terduga pelaku. Kalau polisi belum juga menangkap pelaku kasus ini, maka bisa saja pelaku merasa kebal hukum dan mengulangi perbuatannya kepada anak-anak lainnya,” kata Jose.
Kekhawatiran masyarakat Sampar dan sekitarnya sebagaimana diceritakan Jose, tidaklah berlebihan. Sebab, seorang penjahat dibiarkan berkeliaran, akan terus melakukan kejahatan yang sama, bahkan bisa melahirkan penjahat-penjahat baru.
Dalam hukum dijelaskan bahwa tujuan dari penegakan hukum adalah, pertama, untuk menegakkan peraturan perundang-undangan. Kejahatan seks terhadap anak sudah jelas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang atau hukum dibuat untuk ketertiban masyarakat, melindungi semua warga negara. Dalam konteks ini dua UU ini melindungi anak-anak Indonesia dari semua tindak pidana terutama kejahatan seks.
Kedua, asas manfaat. Salah satu tujuan ditegakkan hukum adalah karena manfaatnya dirasakan masyarakat. Masyarakat menjadi aman dan nyaman. Anak-anak tidak perlu takut lagi bermain di halaman rumah bahkan jauh dari rumahnya, karena hukum pasti melindungi.
Ketiga, asas keadilan. Hukum ditegakkan untuk keadilan. Salah satu pemangku kekuasaan di Kerajaan Romawi, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (sekitar 43 tahun tahun sebelum masehi), mengeluarkan sebuah semboyan dalam penegakan hukum yakni fiat justitia ruat caelum, yang berarti hukum (keadilan) harus ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Semboyan ini diadopsi oleh semua negara terutama negara demokrasi. Ciri utama demokrasi adalah hukum sebagai panglima.
Kembali ke kejahatan seks di Sampar, sejauh mana polisi melakukan penyelidikan ? Sejak kejadian sampai saat ini belum menunjukkan progres yang berarti. Polisi bekerja lamban. Kenapa ?
Pada Kamis (12/12/201), Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) atas kasus tersebut.
Kegiatan olah TKP Kamis siang itu dipimpin Kanit PPA satuan Reskrim Polres Manggarai Bripka Antonius Habun dan dihadiri para kuasa hukum korban, yakni Romo Marten Jenarut dan Valens Dulmin.
Bripka Antonius Habun menegaskan, pihaknya melakukan olah TKP kasus itu untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan sesuai ketentuan Pasal 5, ayat (2), pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 11, pasal 16, pasal 18 ayat (1) dan pasal 19 ayat (1) Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP) dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Laporan Polisi Nomor : LP/243/XI/2019/Kab. Manggarai, 7 Nopember tahun 2019.
“Unit PPA satuan Reskrim Polres Manggarai ada dan hadir dalam melakukan tindakan hukum berupa mendatangi tempat kejadian perkara pidana pencabulan terhadap anak yang terjadi pada hari Jumat, 1 Nopember tahun 2019 sekitar pukul 09.30 di dalam kapela ( tempat ibadah ) kampung Sampar, Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng dan pada hari Sabtu 2 Nopember tahun 2019 pada Kapela yang sama,” kata Bripka Antonius Habun.
Lalu bagaimana hasilnya ? Polisi sebaiknya terbuka kepada masyarakat mengenai perkembangan penyelidikan kasus ini. Sebab, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui. Ingat tugas polisi, melindungi, menegakan hukum. Kesigapan dan keterbukaan polisi dalam setiap tindakannya terkait tugasnya, merupakan ekspresi kehadiran negara dalam melayani dan melindungi masyarakat.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kasus pelecehan itu dilakukan di dalam Kapela (gereja) dimana pelaku memasukan jari tangannya ke kemaluan korban kelas III SD itu, yang menyebakan kemaluan korban luka-luka. Polisi sudah melakukan visum et repertum terhadap korban dan hasilnya benar kemaluan korban mengalami luka rubek.
Masyarakat tentu menunggu dan berharap, Polres Manggarai dapat membekuk pelaku kejahatan tersebut. Semoga ! xx