Bony Hargens

Boni Hargens, Analis Politik

KONSEKUENSI terburuk dari kartelisasi oligarkis adalah partai terpisah dari masyarakat sipil. Gerakan sipil jadi gerakan yang soliter, dan kadang liar, karena kehilangan sambungannya dengan negara, yaitu parpol.

Media sosial telah membentuk watak demokrasi kontemporer. Tiktok, aplikasi jaringan sosial berupa video musik pendek yang lagi trendi, kini memabah di lingkaran politisi. Dalam industri elektoral, itu sah saja—apalagi menjelang pilkada serentak di 270 daerah tahun ini! Fenomena apa itu sesungguhnya?

Menjelaskan kompleksitas demokrasi kekinian rupanya tak cukup dengan memahami dalil post-truth politics sebagai jawaban atas kegamangan ontologis demokrasi sebagai sistem politik. Para pembela demokrasi di masa lampau sebetulnya sudah menduga bahwa bahaya terbesar demokrasi di masa kini dan masa depan bukan lagi komunisme ataupun otoritarianisme, melainkan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi pada dirinya mengandung virus yang dapat membunuhnya dari dalam. Ada ahli yang melihat virus itu melekat pada prinsip demokrasi an sich. John Stuart Mill (1859), misalnya, melihat prinsip mayoritas sebagai elemen problematis karena menguak dua hal serentak: penindasan minoritas dan tirani mayoritas.

Sejarah telah membenarkan anggapan Mill bahwa demokrasi per se mengandung daya despotik. Aksi penolakan pembangunan masjid di Minahasa, Sulawesi Utara, dan protes renovasi Gereja Katolik di Karimun, Riau, hanya cuilan kisah terbaru yang menguak akurasi ramalan Mill tentang despotisme mayoritas.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengunjungi Uskup Keuskupan Pangkal Pinang Adrianus Sunarko, Kamis (27/2/2020). Dalam kunjungan tersebut dibahas konflik yang terjadi dalam renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.

Kaum Hobbesian boleh saja membantah dengan mengatakan ”untuk itulah negara hadir dengan perangkat hukumnya agar perilaku liar manusia dapat ditertibkan untuk menjamin konformitas sosial”—tapi faktum politik begitu telanjang bahwa sering kali negara kalah (atau pura-pura kalah) dengan gerombolan begundal yang memakai jubah mayoritas untuk mengacaukan demokrasi (Pancasila).

Prinsip lain demokrasi adalah kesetaraan, yang tentunya pilar-pilar fondasional demokrasi, bahwa tiap orang sama di hadapan negara. Suara pengemis jalanan dan koruptor di ruang kekuasaan sama ketika masuk bilik suara. Dalil ini berkelindan dengan aspek kebebasan individual dalam demokrasi, terutama setelah suntikan postulat ”kebebasan” kaum liberalis di abad ke-20 sehingga siapa pun yang andal dapat meraih kekuasaan.

Oligarkisasi adalah virus lain yang tumbuh subur dalam tubuh demokrasi tanpa pernah bisa dimatikan. Segelintir orang kuat mengendalikan politik untuk memperkaya diri dan mengandalkan kekayaannya untuk mempertahankan status quo. Lingkaran setan itu terus bergerak siklis tiada henti. Ketika pengorganisasian politik menjadi tuntutan yang mutlak, partai tak mau ketinggalan.

Kekuasaan tak cukup berada di tangan individu, maka perlu ada partai sebagai organizing power yang memperkuat landasan dari status quo itu. Partai kartel (Katz & Mair, 1993, 1995, 2009) muncul dengan tujuan profesionalisasi politik dan meningkatkan kualitas demokrasi melalui relasi interpenetratif negara-partai.

Ide dasarnya, negara mendukung partai secara finansial untuk mendongkrak peran partai dalam pembangunan demokrasi. Tapi, faktanya, partai menjadi bagian konspiratif dari negara dan membangun ikatan simbiotik lintas partai untuk mengeruk sumber daya negara.

Implikasinya, pemilu sekadar sandiwara elitis untuk memenuhi prosedur demokrasi. Ritual politik hanya menguntungkan segelintir orang kuat yang selalu sama dari periode ke periode. Untuk konteks Indonesia, situasinya lebih rumit dan unik.

Seperti tertuang dalam disertasi doktoral saya di Universitas Walden, AS, berjudul ”Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia” (2019), kartelisasi yang menjadi kecenderungan terkini dalam dinamika demokrasi Indonesia tak sepenuhnya menyangkut teori ”partai kartel” dalam konsep Barat yang dimunculkan Katz dan Mair, tetapi sebuah tendensi percampuran atau perkawinan silang oligarki dan kartel politik.

Oligarki memanfaatkan partai sebagai instrumen untuk membangun kartelisasi, tapi tujuannya bersifat oligarkis. Mereka yang bermain adalah para oligark yang ingin memperkaya dan memperkuat posisi tawar pribadi sekaligus kelompok (partai).

Bendera partai politik peserta Pemilu 2019 memenuhi pinggiran jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (5/4/2019). Jelang pelaksanaan Pemilu 2019, alat peraga kampanye partai politik, calon anggota legislatif, hingga calon presiden bertebaran di berbagai sudut kota.

Kartelisasi oligarkis adalah istilah yang saya gunakan untuk menggambarkan betapa cara-cara kartel diterapkan oligarki untuk menguasai sumber daya negara—melalui relasi interpenetratif antara negara dan partai—demi tujuan parsial, entah pribadi atau organisasional.

Ritual politik hanya menguntungkan segelintir orang kuat yang selalu sama dari periode ke periode.

Konsekuensi terburuk

Konsekuensi terburuk dari kartelisasi oligarkis adalah partai terpisah dari masyarakat sipil. Gerakan sipil jadi gerakan yang soliter, dan kadang liar, karena kehilangan sambungannya dengan negara, yaitu parpol. Selain itu, sebagian gerakan sipil adalah rekayasa neokorporatis yang di dalamnya negara dan partai turut punya andil merekayasa gerakan sipil jadi gerakan elitis.

Dalam kondisi gerakan sipil yang cenderung liar, besar peluang agensi baru muncul dan menggantikan peran negara. Sejauh ini, oposisi politik dan ormas tertentu tampak melihat ini sebagai peluang dan mengapitalisasi keadaan ini untuk memompa sentimen anti-pemerintah yang dengan mudah menjadi ”anti-negara”.

Maka, jangan terkejut kalau mencuat banyak narasi terbaru yang bertendensi memisahkan agama dan negara, atau setidaknya dengan nada ”kritis” mempertanyakan relevansi Pancasila dengan agama.

Hal yang seharusnya ”haram” di negara Pancasila karena Pancasila itu sendiri pada dasarnya abstraksi, sari pati nilai-nilai keagamaan. Pertentangkan agama dan Pancasila ibarat memisahkan matahari dari sinarnya.

Radikalisme berjubah agama yang terus berkembang di abad ke-21 tak selalu berkaitan dengan isu penghormatan martabat manusia yang dibahas Fukuyama (2018), tetapi sering kali malah agenda politik untuk kepentingan elektoral. Para pecundang memanfaatkan ruang (a) gerakan sipil yang gamang, (b) oposisi politik parlemen yang rapuh, dan (c) konspirasi negara-partai yang terlalu korup untuk melancarkan propaganda anti-demokrasi, anti-Pancasila.

Ribuan buruh dari tujuh serikat buruh di Sumsel berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Sumsel, Rabu (11/3/2020). Mereka menuntut agar RUU Cipta Lapangan Kerja tidak disahkan.

Implikasi buruk lain, simplifisme nilai-nilai demokrasi—penyederhanaan yang mengarah ke pendangkalan hakikat demokrasi itu sendiri. Demokrasi tak lebih sekadar urusan pemilu sehingga ”demokrasi substansial” digeser oleh kehadiran ”demokrasi elektoral” yang menjadikan pemilu tak lebih sekadar prosedur meraih kekuasaan.

Setelah 2004, wajah demokrasi elektoral kita dipadati para selebritas yang memasuki arena pemilu. Sekarang, semua politisi berlomba menjadi selebritas untuk meraih dan mempertahankan dukungan pemilih.

Aplikasi Tiktok mewakili perilaku dan watak kekinian para politisi kita yang gandrung berlomba mempercantik diri dan memasarkan wajah bertopeng di medsos, termasuk media arus utama. Mereka menghindari kesan ”politisi berwajah keras dan berdahi kerut” seperti para pendahulu yang memang keras berpikir untuk bangsa dan negara.

Politikus di zaman milenial ini lebih peduli penampilan daripada mutu dan integritas, meski masih ada yang masih peduli isi kepala dan hati nurani! Panggung politik bukan pentas hiburan. Sepatutnya politikus tak perlu sok imut di depan rakyat.

Politikus di zaman milenial ini lebih peduli penampilan daripada mutu dan integritas, meski masih ada yang masih peduli isi kepala dan hati nurani!

Mereka dituntut secara moral oleh jabatannya untuk mempertanggungjawabkan seluruh kinerjanya di hadapan rakyat. Maka, mereka mesti berkeringat, bekerja keras, berkerut dahi, berpantang, berpuasa, termasuk tahu malu.

Jujur saja, kalau kita masih sensitif dengan nurani sosial masyarakat, orang hari ini tak begitu bangga dengan jabatan politik karena persepsi tentang kekuasaan sudah terlalu kelam. Lihat saja! Koruptor muncul di televisi dengan wajah tersenyum sambil melambai-lambai seperti jawara kembali dari medan tempur. Padahal, perutnya kenyang mengidap darah rakyat.

Kontradiksi macam ini mengekalkan kemuakan kolektif masyarakat pada praksis politik. Di tengah situasi macam ini, narasi ”membumikan Pancasila”, ”NKRI harga mati”, atau ”merah putih selamanya” akan sulit menembus dan mengendap di sanubari publik.

Teladan politik adalah segalanya. Presiden Jokowi diunggulkan dari awal karena ia mewakili antitesis dari praksis politik yang borjuis dan korup macam itu. Tampilannya biasa dan kerjanya keras. Itu yang mestinya menjadi ciri khas kepemimpinan politik di semua level hari ini. Pancasila akan terasa hidup, tak hanya di bumi, tapi juga di langit, apabila elite politik belajar hidup membumi bersama rakyat. [Tulisan ini sudah disiarkan Harian Kompas, Jumat, 27 Maret 2020]

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *