RUU Cipta Kerja Atur Pekerja PHK Hanya dapat Pesangon 17 Bulan Gaji
Jakarta, Topvoxpoupuli.com [TVP]- Pemerintah dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja mengubah aturan terkait pesangon untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari nilai yang diterima, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan aturan pesangon dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono menyampikan, pada prinsipnya RUU Cipta Kerja tidak menghapus ketentuan pesangon. Pemerintah hanya melakukan adjustment (penyelarasan) mengenai formulasi perhitungannya agar lebih realistis.
“Dari perhitungan LPEM UI selalu menyampaikan, Indonesia adalah negara paling tinggi di dunia yang harus menanggung pesangon. Apa kita mau seperti ini terus? Apa tidak lebih baik kita konversi dengan jaminan bantuan sosial dan sebagainya,” kata Susiwijono saat menjadi pembicara di acara CEO Power Breakfast yang diadakan BeritaSatu Media Holdings, di Jakarta, Kamis (20/2) lalu.
Perbedaan Aturan Pesangon
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 156 ayat (2) telah diatur mengenai pemberian pesangon kepada karyawan yang di-PHK oleh pemilik usaha. Perhitungan pesangon diatur mulai dari masa kerja kurang dari satu tahun dengan uang pesangon sebesar satu bulan upah, hingga masa kerja delapan tahun atau lebih dengan uang pesangon sebesar sembilan bulan upah.
Di ayat (3), buruh dengan masa kerja tiga tahun atau lebih juga mendapatkan tambahan uang penghargaan masa kerja dengan nilai minimal dua bulan upah dan maksimal 10 bulan upah.
Sedangkan pada ayat (4), pekerja yang di-PHK juga menerima uang penggantian hak, meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjiankerja bersama.
Untuk kasus PHK tertentu, pekerja atau buruh juga bisa mendapatkan dua kali lipat uang pesangon sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Untuk kasus khusus tersebut diatur dalam beberapa pasal berikut ini, pertama, pasal 163 ayat (2) menyebutkan, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164 ayat (3) menyebutkan, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166 menyebutkan, dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan dua kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), satu kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167 ayat (5) menyebutkan, dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 169 ayat (1) menyebutkan, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih; tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Pada ayat (2) disebutkan, pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 172 UU menyebutkan, pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas dua belas bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Bila mengacu pada UU Ketenagakerjaan, uang pesangon yang diterima pekerja yang terkena PHK maksimal 28 bulan, ditambah uang penggantian hak.
Pesangon dalam RUU Cipta Kerja
Di dalam RUU Cipta Kerja Pasal 156 ayat (2), perhitungan pesangon juga diatur mulai dari masa kerja kurang dari satu tahun dengan uang pesangon sebesar satu bulan upah, hingga masa kerja delapan tahun atau lebih dengan uang pesangon sebesar sembilan bulan upah. Sementara di ayat (3), perhitungan uang penghargaan masa kerja berkurang, dari maksimal 10 bulan menjadi maksimal 8 bulan.
Hak pekerja yang di-PHK untuk mendapatkan pengantian hak juga dihilangkan, sebab dalam RUU Cipta Kerja Pasal 156 ayat (1) hanya disebutkan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha hanya wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Sementara itu di UU Ketenagakerjaan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan pasal Ketentuan Pasal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 UU yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua kali lipat. Bila mengacu pada UU Cipta Kerja, uang pesangon yang diterima pekerja yang terkena PHK maksimal 17 bulan.
Meskipun lebih rendah, RUU Cipta Kerja menambahkan jaminan sosial untuk buruh yang di-PHK, antara lain Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Susiwijono menjelaskan, di dalam program ini pemerintah akan memberikan pelatihan, memberi uang saku selama enam bulan, serta job placement. Program ini khusus untuk karyawan yang perusahaannya bangkrut atau terkena PHK dan aktif membayar BPJS Ketenagakerjaan.
Ditegaskan Susiwijono, Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini juga tidak menggantikan jaminan sosial yang lain seperti Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian, melainkan sebagai pelengkap. Selain itu, manfaat ini juga bisa didapatkan tanpa perlu menambah iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Di dalam RUU Cipta Kerja Pasal 92 juga diatur mengenai pemberian sweetener atau bonus yang dalam RUU ini disebut Penghargaan Lainnya. Bonus yang diterima mulai dari satu kali upah untuk pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari tiga tahun, hingga lima kali upah untuk pekerja yang memiliki masa kerja 12 tahun atau lebih.
Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, pemberian penghargaan lainnya ini diberikan untuk satu kali dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Namun ketentuan mengenai penghargaan lainnya ini tidak berlaku bagi usaha mikro dan kecil, tetapi khusus kepada perusahaan-perusahaan menengah ke atas. [HER]