July 27, 2024

Refleksi tentang Impeachment

0

(COMBO) This combination of pictures created on November 06, 2020 shows Democratic presidential candidate Joe Biden attending various campaign events in the United States. - With results showing Democratic challenger Joe Biden edging closer to victory on Friday November 06, 2020, US President Donald Trump made a series of fraud allegations without evidence on Thursday night in a speech that was widely condemned. Biden was on the verge of winning the White House after taking the lead in the potentially decisive state of Pennsylvania, as Trump showed no sign of being about to concede the bitterly contested race. Pennsylvania, and its 20 electoral votes, would be enough to vault the 77-year-old Biden past the magic number of 270 votes in the Electoral College, which determines the White House race. (Photos by AFP)

Todung Mulya Lubis

AMERIKSA SERIKAT bukan lagi negara adidaya yang dikagumi dunia. Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Demokrasi yang baru saja diluncurkan oleh Transparency International dan The Inteligence Unit of The Ecconomist tak memberikan tempat terhormat kepada Amerika.

Di sana banyak korupsi, dan tak pula bisa dirujuk sebagai kampiun demokrasi. Negara-negara Skandinavia sekarang merajai papan atas negara terbersih dari korupsi dan negara paling demokratis. Tapi apapun yang terjadi di Amerika selalu menarik perhatian, secara intelektual dan emosional.

Pemilihan Presiden yang berekor pada klaim curang dan insureksi ke Capital Hill menjadi berita paling dibaca karena tak pernah terjadi presiden petahana mengklaim pemilihan presiden curang, tak pernah ada presiden petahana memprovokasi pendukungnya untuk melakukan insureksi dan menguasai Capitol Hill.

Apa yang terjadi pada tanggal 6 Januari 2021 di Capitol Hill adalah tragedi nasional, a national embarrasment, tonggak kemunduran demokrasi dalam bentuknya yang purba. Seorang politisi mengatakan apakah dia sedang melihat peristiwa di Belarus?

Joe Biden sudah menjadi Presiden, Donald Trump gagal menghentikan pelantikan Biden sebagai Presiden meski dia sudah menggiring massanya menduduki Capitol Hill seolah mereka sedang melakukan revolusi dan kudeta.

Beberapa orang meninggal dunia, dan tak terbilang yang luka-luka. Dunia tercengang melihat insureksi yang terjadi di negara yang dianggap mahaguru demokrasi. Incitement yang dilakukan Trump adalah insureksi, pemberontakan, attempted cue. Karena itu Trump harus dimakzulkan (impeach).

Kongres yang dimotori oleh Partai Demokrat bergerak cepat menjatuhkan impeachment kepada Trump dimana selain anggota Kongres Partai Demokrat ikut pula bergabung 10 anggota Kongres Partai Republik. Impeachment itu disebut sebagai bipartisan impeachment. Itu terjadi sebelum pelantikan Biden sebagai Presiden. Seharusnya impeachment itu diproses di Senat semasa Trump masih menjabat Presiden tetapi Senator Mitch McConnell, Ketua Senat pada waktu itu, mengatakan bahwa Senat tak akan memproses impeachment karena sibuk mempersiapkan pelantikan Presiden terpilih Biden.

Senat akan menerima berkas impeachment dari Kongres seusai pelantikan, dan baru setelah itu proses impeachment itu bisa dilakukan. Persoalannya adalah apakah impeachment bisa dilakukan terhadap seseorang yang tak lagi menjabat sebagai presiden ? Inilah pertanyaan konstitusional yang menyelimuti semua anggota Kongres dan Senat termasuk para ahli hukum konstitusi.

Setahu saya impeachment itu adalah forum yang disediakan oleh konstitusi untuk memberhentikan presiden yang sedang menjabat, dan karena itu saya tak terlalu antusias mengikuti proses impeachment. Mayoritas anggota Senat dan Kongres Partai Republik menafsirkan impeachment secara sempit, dan hanya beberapa saja yang menganggap bahwa impeachment terhadap mantan Presiden bisa dilakukan, dan sudah ada preseden untuk itu.

Praktis semua anggota Senat dan Kongres dari Partai Demokrat menganggap impeachment bisa dilakukan karena apa yang dilakukan Trump sudah melewati batas, melanggar konstitusi dan hukum, menciderai republik, menggoyahkan pilar-pilar bernegara dan berbangsa. Memang incitement yang dilakukan Trump sangat telanjang dan all out, dia tak menerima kalah, dan dia melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk tetap bertahan di sepatu kekuasaan.

Pidatonya Trump membakar dan menyulut kemarahan, dan itu dilakukan bukan hanya pada tanggal 6 Januari 2021 tetapi jauh sebelum itu. Tweets yang dikeluarkannya begitu berbahaya membuat orang cemas bahwa akan ada perang saudara, bahwa Amerika akan terpecah (padahal Amerka sudah terbelah, divided society).

Pasukan media sosialnya bekerja menggergaji dan menterror masa pendukungnya untuk bergerak. Fight like hell. If you dont fight like hell you will not have a country anymore. Dia berjanji bersama para perusuh dan memuji mereka sebagai patriot.

Mendengar dan membaca pidato dan tweetnya, saya tak bisa percaya apakah saya salah membaca atau memang Amerika sedang bergolak ? Syukurlah bahwa berbagai platform media social seperti Facebook, Youtube dan Twitter melakukan banning secara permanen (inipun saya tak mengerti kok ini bisa dilakukan).

Saya bisa menerima ‘temporary banning’ tetapi ‘permanen banning’ adalah pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran demokrasi. Namun harus diakui setidaknya pada waktu-waktu itu ’banning’ ikut merem kegaduhan dan kemarahan.

Apa yang terjadi di Capitol Hill dunia sudah tahu dan melihatnya. It was very ugly. Terlepas dari polemic setuju atau tak setuju impeachment itu digelar, faktanya impeachment akhirnya berhasil dilangsungkan dimana impeachment manager dari Kongres menyampaikan dakwaanya dengan komprehensif dan menggetarkan, membuat siapapun yang melihat video dan footages yang ditampilkan terpana.

Tak terbayang apa yang terjadi kalau para perusuh berhasil menemukan anggota Kongres, Senat dan Wakil Presiden Mike Pence. Tak terbayang kesalahan dan keteledoran kecil akan membuat hitam semua proses demokrasi di Amerika.

Para perusuh yang sangar, berang dan bersenjata tajam pasti membuat nyali ciut. Bendera Confederate yang dibawa kedalam Capitol Hill menghidupkan kembali keterbelahan Amerika, penolakan terhadap ide Amerika sebagai ’melting pot’ dari semua immigrant yang berlabuh di Amerika mengejar ’American dream’.

Mendengar dan melihat apa yang disajikan Impeachment Manager vonnis impeachment harus dijatuhkan (beyond any reasonable doubt). Pembelaan oleh kuasa hukum (lawyer) Trump sangat lemah karena hanya menekankan bahwa tak ada incitement dan apa yang diucapkan oleh Trump dilindungi oleh ‘the First Amendment’.

Playing devil advocate role, Trumps defense’s lawyers argued that the impeachment trial should be conducted in accordance with due process of law. Tapi semua itu tak terjadi. Meski Impeachment Manager dan Defense Lawyer diberikan waktu yang seimbang, para Senator kedua partai juga diberikan waktu yang seimbang, memang aspek due process of law tak kita temukan karena memang impeachment proceeding ini pada dasarnya bukanlah proses pengadilan.

Tapi adalah salah kalau mengharapkan impeachment proceeding sebagai proses peradilan biasa. Impeachmengt proceeding adalah proses politik yang memang ada dasar konstitusionalnya, dan dalam keadaan impeachment proceeding dilakukan terhadap president petahana maka Ketua Mahkamah Agung akan memimpin prosesnya. Tetapi Ketua Mahkamah Agung John Robert tak bersedia memimpin impeachment proceeding ini karena yang akan diimpeache sudah tak lagi menjabat sebagai Presiden.

Karena itu yang memimpin proses impeachment proceeding ini adalah anggota Senat Partai Demokrat tertua, Senator Patrick Leahy. Itupun perannya lebih sebagai ‘time keeper’. Lantas apa yang ingin dicapai dengan impeachment proceeding ini karena tak akan ada yang diimpeach ? Mayoritas Senator Partai Republik tetap menganggap impeachment proceeding ini ‘unconstitutional’ sementara semua Senator Partai Demokrat ditambah beberapa Senator Partai Republik menganggap impeachment proceeding ini ‘constitutional’. Tetapi tujuan utama impeachment proceeding ini adalah menghukum Trump untuk tak bisa maju lagi pada pemilihan presiden mendatang. Selain itu adalah untuk menggambarkan betapa Amerika dalam bahaya kalau insureksi seperti ini tak diungkapkan dan tak dipersoalkan. Setidaknya sejarah harus ditegakkan.

Apa yang terjadi? Impeachment tak berhasil dijatuhkan. Trump has been acquitted karena proponent impeachment tak bisa mendapatkan 17 suara Partai Republik seperti yang dipersyaratkan. Harus ada 67 suara untuk menjatuhkan impeachment.

Mayoritas sederhana (50+1) tak bisa menjatuhkan impeachment. Hasil pemungutan suara menunjukkan 57 suara setuju impeachment, 43 suara tak setuju impeachment. 100 Senator yang terdiri dari masing-masing 50 Senator mewakili Partai Republik dan Partai Demokrat, yang menjadi juri telah menjatuhkan putusan, membebaskan Trump.

Apakah Trump bebas dari civil liability dan criminal liability? Belum tentu. Pemimpin Minoritas Senat, Senator Mitch McConnell mengatakan bahwa tanggung jawab hukum bisa diproses melalui peradilan biasa. Tapi secara politik Trump telah dihukum, secara moral dia tak akan bisa lagi memimpin Partai Republik. Dia telah kehilangan legitimasinya, dan berjalannya waktu dia juga akan kehilangan otot politiknya. Mitch McConnell mengatakan bahwa insureksi yang terjadi tanggal 6 Januari adalah provokasi dan incitement dari Trump, disgraceful, disgraceful dereliction of duty. Tapi Mitch McConnell ikut memutuskan ’acquittal’ Trump walau dia mengatakan bahwa Trump bersalah, hanya saja forumnya tidak berada di Senat.

Lagipula, kata Mitch McConnell bahwa yang melakukan insureksi ke Capitol Hill hanya ratusan orang, janganlah menghukum 74 juta pemilih Trump yang berdiam di rumah mereka. At the end, hanya satu orang yang bertanggung jawab yaitu Trump. Ini kata-kata Mitch McConnell,

“Anyone who decries his awful behaviour is accused of insulting millions of voters. That is an absurd deflection. Seventy-four million Americans did not invade the Capitol. Hundreds of rioters did. Seventy-four million American did not engineer the campaign of disinformation and rage that provoked it. One person did. Just one”.

Tentu anggota Kongres dan Senat dari Partai Demokrat tak setuju. It is what it is. Proses impeachment ini adalah proses politik, bukan proses hukum. Fakta-fakta hukum tak sepenuhnya menentukan suara para Senator dan anggota Kongres. Politik menjadi panglima. Hasil pemungutan suara adalah cermin politik Amerika yang terbelah, bukan kebenaran yang terungkap. Semua itu adalah bagian dari ’political bargaining’ menuju tahun 2022 ketika pemilihan sela dilakukan, saat mana akan menentukan peta pemilihan presiden di tahun 2024.

Inilah cara pandang yang lebih realistis. Jadi jangan heran melihat absennya due proccess of law, jangan heran melihat para Senator yang jadi juri mengajukan pertanyaan (tak hanya mendengar), jangan heran melihat Senator Partai Republik menemui defense lawyer di kamarnya.

Pada peradilan biasa itu tak terjadi, dan tak boleh terjadi. Proses impeachment adalah proses politik yang diputuskan oleh ’political bargaining’ para pihak. In conclusion: we are not talking about facts. We are talking about politics like it or not. [Sumber: Facebooks Todung Mulya Lubis]

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *