Memaknai Dialog dengan Perbaikan, Bukan Seremonial Belaka

0

Timboel Siregar

Oleh: Timboel Siregar

RENCANANYA Selasa, 27 September 2022 Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan meninjau secara langsung penyaluran manfaat Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah (BSU) tahun 2022 di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kantor Pos Bau Bau dan Kantor Pos Buton. Pada peninjauan tersebut, Presiden Jokowi akan menyapa dan melakukan dialog dengan para pekerja/buruh penerima BSU 2022.

Dalam keterangan pers yang disampaikan hari ini Menteri Tenaga Kerja (Menaker) menegaskan bahwa BSU 2022 ini dalam rangka meringankan para pekerja/buruh dalam memenuhi keperluan sehari-hari sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

BSU ini adalah pengalihan subsidi BBM yang diterima langsung oleh para pekerja/buruh. Mudah-mudahan BSU ini memberikan manfaat yang besar untuk para pekerja/buruh di Indonesia, demikian harapan Bu Menaker.

Rencana kunjungan dan dialog langsung Presiden Jokowi dengan para buruh/pekerja penerima BSU 2022 merupakan kesempatan yang baik bagi Presiden untuk mendapat informasi langsung dari pekerja/buruh yang memang terdampak dengan adanya kenaikan harga BBM ini.

Demikian juga bagi pekerja/buruh, ini kesempatan baik bagi pekerja/buruh menyampaikan masalah daya beli mereka yang turun akibat kenaikan upah minimum di 2022 yang rata-rata sekitar 1,09 persen tergerus oleh inflasi yang sampai Agustus lalu sudah mencapai 4,69 persen (year on year). Itu pun inflasi secara umum, kalau inflasi pangan sudah mencapai 8,93 persen.

Faktanya saat ini Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) sebagai organisasi kaum pekerja tetap melakukan aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Penolakan ini cukup mendasar karena tergerusnya daya beli pekerja/buruh. Apalagi kenaikan harga BBM ini pun akan berdampak di 2023 nanti, sementara sebentar lagi (di bulan Nopember) para Gubernur akan menetapkan upah minimum 2023 yang proses penentuan kenaikannnya masih menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dengan rumus penentuan upah minimum di Pasal 26 PP Nomor 36 tahun 2021, kenaikan upah minimum 2023 tidak akan jauh dari kenaikan upah minimum 2022, yaitu sekitar 1 persenan.

Saya berharap para pekerja/buruh yang diajak dialog dengan Pak Presiden memaparkan fakta turunnya daya beli mereka yang berdampak pada kesejahteraan mereka, dan meminta agar Pak Presiden memperbaiki ketentuan tentang kenaikan upah minimum 2023 nanti, yaitu dengan memberikan kesempatan bagi SP/SB dan Pengusaha melakukan survey pasar terhadap 64 KHL (Kebutuhan Hidup Layak) dan merundingkan kenaikan upah minimum 2023.

Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), Pemerintah diharuskan membuka ruang negosiasi lagi dengan pekerja/buruh terhadap UU Cipta Kerja dan semua regulasi operasionalnya, yang salah satunya PP Nomor 36 Tahun 2021.

Seharusnya Pemerintah sudah memulai perundingan tersebut tetapi sampai saat ini belum ada juga proses perundingan sehingga proses penentuan upah minimum 2023 masih menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021. Hal ini sudah dinyatakan Bu Menaker dihadapan Komisi IX DPR RI beberapa waktu yang lalu.

Jadi di masa transisi ini pekerja/buruh harus meminta Pemerintah tidak memberlakukan PP Nomor 36 Tahun 2021 tetapi lakukan proses survey pasar, dan SP/SB dengan Asosiasi Pengusaha menegosiasikan hasil survey pasar tersebut untuk menentukan kenaikan upah minimum 2023. Saya berharap pekerja/buruh yang diajak dialog berani mengutarakan hal ini.

Terkait dengan pernyataan Ibu Menaker bahwa BSU 2022 ini dalam rangka meringankan para pekerja/buruh dalam memenuhi keperluan sehari-hari sebagai akibat dari kenaikan harga BBM, tentunya pekerja/buruh yang terdampak tidak hanya pekerja/buruh yang terdaftar aktif di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tetapi juga pekerja/buruh yang belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Faktanya masih banyak pekerja/buruh yang belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, dan fakta ini merupakan cerminan dari lemahnya kinerja pengawas ketenagakerjaan yang tidak mampu menegakkan hukum atas regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan yang mewajibkan seluruh pekerja/buruh formal menjadi peserta seluruh program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Menurut BPS 2021, jumlah pekerja formal sebanyak 49 juta namun yang menjadi peserta aktif di program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) sekitar 22 juta orang. Kepesertaan aktif di BPJS Ketenagakerjaan selama ini relatif sebesar 20 jutaan, dan ini menjadi fakta tentang lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan.

Saya berharap Pak Presiden mengkritisi data kepesertaan aktif ini dan menanyakan tentang kinerja Kementerian Ketenagakerjaan cq. Pengawas Ketenagakerjaan atas masalah ini. Bukankah seluruh regulasi tentang jaminan sosial ketenagakerjaan mewajibkan seluruh pekerja/buruh formal ikut BPJS Ketenagakerjaan, dan Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor  2 Tahun 2021 yang menginstruksikan Menteri Ketenagakerjaan, salah satunya, meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan kepada pemberi kerja.

Selain masih rendahnya kepesertaan pekerja formal di BPJS Ketenagakerjaan, masih ada PDS (perusahaan daftar sebagian) upah. Dan masalah PDS upah ini sudah diinstruksikan juga dalam Inpres Nomor  2 ini agar mensinergikan pemanfaatan data perpajakan dengan data di BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan kepatuhan pemberi kerja.

Semoga dialog Pak Presdien dengan pekerja/buruh penerima BSU 2022 tidak sekadar seremonial belaka tetapi ada upaya Pemerintah untuk memastikan daya beli pekerja/buruh tidak terpuruk, dan Pak Presiden juga mengevaluasi pelaksanaan Inpres Nomor  2 Tahun 2021 sehingga seluruh pekerja/buruh benar-benar menjadi peserta aktif di program BPJS Ketenagakerjaan. [Penulis adalah Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia/Oki]

 

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *