Tolak Permenaker No Work No Pay

0

Timboel Siregar

Oleh: Timboel Siregar

 

Diberitakan kalangan pengusaha meminta Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang No Work No Pay. Alasan yang dibangun kalangan pengusaha adalah untuk menurunkan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini.

Ketentuan tentang No work no pay diatur dalam pasal 93 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini masih berlaku dan mengikat seluruh pelaku hubungan industrial, yaitu pemerintah, pengusaha dan pekerja.

Adapun bunyi Pasal 93 ayat (1), upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Jadi point dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) tersebut adalah no work no pay dilakukan bila pekerja tidak mau bekerja. Di luar ketentuan Pasal 93 ayat (1) tersebut pekerja yang tidak bekerja karena keinginan pengusaha harus tetap dibayar upahnya.

Bila dalam kondisi saat ini yang katanya akan ada resesi, dan pengusaha akan merumahkan para pekerjanya maka sesuai ketentuan tersebut pihak perusahaan tetap harus membayar upah termasuk membayar iuran seluruh program jaminan sosial agar pekerja tetap memiliki pendapatan dan tetap terlindungi oleh jaminan sosial.

Kalaupun perusahaan melakukan PHK dan terjadi perselisihan PHK maka perusahaan pun harus tetap membayar upah pekerja sampai adanya putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 157A UU Cipta Kerja.

Selama pandemi Covid-19 dan hingga saat ini, pengusaha yang merumahkan pekerja kecenderungannya tidak membayar upah pekerja, dan kalau pun dibayar upah ditentukan sepihak oleh pengusaha dengan nilai jauh di bawah upah normal. Ketika dirumahkan lalu dikatakan telah terjadi PHK, pihak pengusaha mengatakan tidak terjadi PHK, namun upah tidak dibayarkan lagi. Tindakan pengusaha yang tidak membayar upah pekerja adalah sebuah pelanggaran, dan ini terus dibiarkan pemerintah.

Pelanggaran yang dilakukan pengusaha ini seharusnya ditindak oleh pengawas ketenagakerjaan, namun seperti kita ketahui peran pengawas ketenagakerjaan sangat lemah sehingga pekerja terus menjadi korban.

Saya menilai permintaan adanya permenaker tentang no work no pay oleh pengusaha ini adalah upaya melegalkan tindakan pengusaha untuk tetap merumahkan pekerja tanpa membayar upah.

Dirumahkan tanpa upah membuat pekerja tersandera. Di PHK tidak tetapi tidak dibayar upahnya. Kalau diPHK maka pekerja memiliki kepastian, yaitu berhak mendapat kompensasi PHK (yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak), mendapat manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dapat mencairkan JHT, dan dapat pelayanan JKN maksimal 6 bulan dari BPJS Kesehatan tanpa membayar iuran.

Yang terjadi saat ini justru dirumahkan tanpa upah dan iuran jaminan sosial tidak dibayar lagi, tetapi pekerja tidak di PHK. Ini yang membuat pekerja jadi menderita. Tanpa upah dan tanpa perlindungan sosial.

Kalau dikatakan Permenaker no work no pay akan menghindari PHK maka saya pastikan itu tidak benar. Itu hanya upaya untuk legalkan pelanggaran terhadap upah pekerja.

Saya meminta Kemnaker tidak membuat Permenaker tentang no work no pay. Adapun alasannya, secara Yuridis, Permenaker tidak boleh melanggar Pasal 93 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 karena kedudukan UU lebih tinggi dari Permenaker.  Dari alasan sosiologis, pekerja dirumahkan tanpa upah merupakan tindakan pelanggaran HAM pekerja untuk membiayai kehidupannya beserta keluarga.

Saya juga mendesak pengawas ketenagakerjaan menegakkan hukum atas tindakan pengusaha yang tidak membayar upah pekerja. Secara filosofis kehadiran negara untuk melindungi pekerja. Negara harus hadir dengan menindak pengusaha yang tidak membayar upah pekerja. Tidak membayarkan upah pekerja dapat diproses pidana maupun perdata. [Penulis adalah Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia – Opsi].

 

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *