Ombudsman RI: Desentralisasi Potensi EBT Mendorong Transisi Energi
JAKARTA – Indonesia memiliki target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional pada tahun 2025. Kebijakan ini, yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030, merupakan upaya yang jelas menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Indonesia sedangkan pembangkit listrik EBT mengambil porsi 14,69% dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional.
Demikian disampaikan Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto saat menjadi pembicara dalam Konferensi dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Grand Sahid Jaya pada Sabtu (19/8/2023).
Dikatakan, tren penyediaan pembangkit listrik dalam 10 tahun terakhir mengindikasikan adanya komitmen pemerintah dalam menyediakan energi listrik yang lebih bersih, mulai dari menyediakan pembangkit listrik yang bersumber dari EBT, mengenalkan teknologi Clean Coal Technology (CCT), hingga mengenalkan pembangkit Variable Renewable Energy (VRE) yang memiliki karakteristik intermittent, dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
“Namun demikian, saat ini Indonesia masih bergantung pada penggunaan batubara PLTU untuk kontrak jangka panjang hingga tahun 2050. Selain itu, masih banyak daerah di Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) yang masih belum terjangkau listrik. Dari segi rasio elektrifikasi, apakah sudah faktual masuk ke seluruh desa di Indonesia?” ujar Hery.
Turut hadir sebagai pembicara Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto; VP Pertamina Energy Institute PT Pertamina, Hery Haerudin; VP Transisi Energi dan Perubahan Iklim PT PLN Persero, Anindita Satria Surya.
Dalam paparan berjudul “Perspektif Pelayanan Publik Dalam Transisi Energi”, Hery menjelaskan bahwa pengembangan EBT di Indonesia memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah potensi EBT yang cukup besar namun lokasi yang tersebar.
“Sosialisasi dan edukasi yang sistemik dan berkesinambungan diperlukan untuk meminimalkan resistensi masyarakat terhadap proyek pembangkit listrik berbasis EBT. Selain itu, tantangan lainnya adalah ketersediaan pinjaman lunak di dalam negeri yang masih terbatas, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pendukung khususnya di wilayah Indonesia Timur, ketergantungan pada teknologi dan perangkat EBT dari luar negeri yang masih tinggi, serta tidak semua pembangkit listrik EBT dapat terintegrasi dan terkoneksi dengan sistem ketenagalistrikan setempat, terutama untuk pembangkit listrik yang memiliki karakteristik intermittent,” jelas Hery.
Hery mengungkapkan bahwa dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, jaminan ketersediaan energi listrik yang andal, cukup, berkualitas, dan ekonomis menjadi prasyarat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif, memperkuat industri, dan menciptakan sektor bisnis yang sehat.
“Dalam bisnis perusahaannya harus dibuat sehat, harus didukung oleh regulasi-regulasi yang memungkinkan industri kelistrikan tumbuh secara sehat, pelanggan juga harus dilayani secara sehat,” tegas Hery.
Lebih lanjut, Hery mengatakan bahwa tren pergeseran penggunaan sumber energi fosil yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara ke sumber energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, dan energi air menjadi semakin penting karena masalah lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam BBM fosil yang semakin menipis.
“Transisi energi juga mencakup upaya untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Upaya transisi energi melibatkan kebijakan pemerintah yang mendukung sumber energi terbarukan dan memberikan insentif untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Dorongan Electrifyng Lifestyle sebagai solusi di lini tengah dengan berbasis baterai dengan bahan baku nikel menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan BBM fosil. Namun di level hulu pembangkit listriknya masih mengandalkan batubara di PLTU, sementara di level hilir belum disiapkan pengelolaan limbah baterainya,” jelas Hery.
“Transisi energi di Indonesia melalui beragam potensi EBT yang dimiliki setiap daerah perlu pola desentralisasi potensi EBT. Mengingat setiap daerah memiliki sumber daya yang beragam. Harus dilakukan Pilot Project pada tiap daerah sebagai percontohan, utamanya daerah 3T. Jika RUU EBT yang nantinya akan disahkan, diharapkan bisa membantu stakeholder dalam mewujudkan transisi energi di tiap daerah. Singkatnya, perlu dioptimalisasikan sumber daya tiap daerah guna mewujudkan energi terbarukan,” lanjut Hery.
Hery menegaskan bahwa RUU EBT diperlukan sebagai regulasi komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan, di samping capaian target NDC dan NZE serta mendukung pembangunan green industry dan pertumbuhan ekonomi nasional. Hery mengungkapkan urgensi RUU EBT adalah dapat memberikan kesempatan akses partisipasi kepada masyarakat dalam penyediaan energi terbarukan.
Menurut Hery peran penting dari RUU EBT antara lain adalah, memberikan kesempatan akses dan/atau partisipasi kepada masyarakat untuk penyediaan dan pemanfaatan EBT. Pemanfaatan yang bisa melibatkan masyarakat adalah dalam pemanfaatan pengembangan berbagai energi terbarukan seperti panas bumi, air, surya, laut, dan bioenergi.
“Bilamana dipahami secara menyeluruh, RUU EBT dapat mendorong TKDN atau Tingkat Komponen Dalam Negeri sehingga menjaga agar harga EBT masih bisa kompetitif. RUU EBT juga dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBET di Indonesia beserta program pendukungnya. Selain itu juga bisa mengoptimalkan sumber daya EBT dan memperkuat tata kelola EBT. Adanya RUU EBT ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor EBET untuk berinvestasi di Indonesia.
Lebih jauh, saya berharap RUU EBT dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBT dan program pendukungnya, mengoptimalkan sumber daya EBT, memperkuat kelembagaan dan tata kelola EBET, serta menciptakan iklim investasi kondusif bagi investor EBET,” tutup Hery.
Selain RUU EBT, Hery juga menyebutkan bahwa Revisi UU Migas diperlukan untuk menjadi penopang peningkatan pendapatan negara. Hery menjelaskan bahwa dinamika perumusan Revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ini pada dasarnya menyoal perlu atau tidaknya perubahan atas peraturan dan kelembagaan migas. Faktor cadangan migas yang menipis dan produksi yang menurun membuat upaya untuk menyelesaikan polemik ini terasa semakin penting.
“RUU Migas harus menjadi salah satu penopang pendapatan negara yang pada prinsipnya keberadaan RUU Migas di tengah kondisi saat ini harus menjadi salah satu pendorong untuk membangun kesadaran semua pihak. Pada saatnya diharapkan Undang-Undang yang dilahirkan itu bisa mendorong peningkatan percepatan pendapatan negara. Saat ini, tata kelola migas di Indonesia sudah diatur oleh UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 menggantikan UU Pertamina Nomor 8 Tahun 1997. Untuk itu, dibutuhkan upaya kuat dalam meningkatkan iklim investasi migas di Indonesia melalui penyempurnaan dasar kebijakan UU Migas,” ujar Hery.
Hery melanjutkan dengan menjelaskan statistik laporan masuk di Ombudsman RI terkait bidang energi. Pada tiga tahun terakhir (2021-2023) laporan masyarakat yang diterima pihaknya didominasi pengaduan pada bidang kelistrikan 637 laporan, air minum 313 laporan dan pertambangan 227 laporan.
“Pengesahan RUU EBT dan RUU Migas menjadi penting. Hal ini merupakan kunci transisi energi, Ombudsman mempunyai kewenangan memberikan saran perbaikan dalam perumusan peraturan perundang-undangan baik kepada pemerintah maupun DPR RI,” tutup Hery. [TVP]