November 24, 2024

DPRD Jangan Jadi Penjilat Bupati

0

Edi Hardum

Oleh : Edi Hardum, advokat, tinggal di Jakarta; anggota Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (Iska)

 

ADA yang gembira, ada yang sedih. Ada yang menerima kekalahan, ada yang tidak”. Inilah kalimat pendek untuk menggambarkan situasi pasca Pemilihan Umum 2019.

Yang menang pasti bergembira sampai saat ini. Sebaliknya, yang kalah pasti sedih, bahkan yang mengerikan adalah menyalahkan pihak lain atas kekalahan yang didapat.

Tulisan ini hanya membahas calon legistif (caleg) DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih dan tidak terpilih serta harapan ke depan.

Menjadi anggota DPRD Kabupaten dan Kota termasuk Provinsi merupakan jabatan yang diburu banyak orang. Berdasarkan informasi yang penulis kumpulkan terutama di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), utamanya di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur), latar belakang ekonomi orang-orang yang maju jadi caleg DPRD Kabupaten umumnya pas-pasan untuk ukuran di kampung.

Bahkan ada yang lama menjadi pengangguran dan memilik banyak utang. Memang ada sebagian yang sudah bekerja bagus dan berpenghasilan yang lumayan setiap bulan. Umumnya seperti ini adalah caleg yang sudah bekerja di kota-kota besar di Indonesia. Mereka terpanggil menjadi caleg benar-benar ingin memajukan daerah.

Berdasarkan latar belakang ekonomi dan informasi yang dikumpulkan, penulis berkesimpulan, mereka-mereka yang maju menjadi caleg lebih didorong, pertama, ingin memperbaiki ekonomi keluarga; kedua, ingin menjadi kaya. Yang dibayangkan sang caleg adalah bisa memegang sejumlah proyek, maka dengan itu mendapatkan uang uang banyak, sehingga bisa jalan-jalan ke mana saja suka. Ketiga, ingin memajukan daerah. Motivasi seperti ini pasti sangat paham dengan fungsi anggota DPRD.

Karena beda motivasi atau mungkin motivasi sama, maka dalam satu kampung atau satu desa bahkan satu keluarga besar, memiliki lebih dari satu orang menjadi caleg. Akibatnya, antar anggota keluarga saling mempengaruhi atau tarik menarik (pengaruh) untuk mendukung siapa dari anggota keluarga yang maju jadi caleg.

Dalam konteks hubungan keluarga, sebagian besar orang di kampung memilih caleh bukan dengan alasan rasional seperti sang celeg berkompeten; tetapi irasional yakni karena hubungan keluarga. Biar pun sang caleg sama sekali tidak mempunyai kemampuan, yang penting anggota keluarga. Atau ada yang memilih caleg karena serta sang caleg menebar uang. Atau karena Sang caleg menyangggupi bangun rumah adat dan sebagainya.

Karena hal seperti inilah Pasca Pemilu 2019 ini di sejumlah desa dan kampung di Manggarai terjadi kesenjangan perasaan. Ada yang senang sekali sambil memuji Tuhan, ada yang sedih sambil menyalahkan pihak lain, bahkan marah kepada Tuhan. Akibat jauh dari kesenjangan perasaan ini adalah terjadinya permusuhan antara pihak yang menang dan pihak yang kalah. Tidak saling tegur sapa, dan sebagainya.

Anggota DPRD Korup !

Berdasarkan testimoni sejumlah orang dan berbagai tulisan yang penulis baca, sebagian besar anggota DPRD di Indonesia, terutama DPRD di Indonesia Timur, lebih utama lagi di NTT, sering melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di Manggarai Raya (Mangarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur), Kepala Dinas dan anggota DPRD sudah menjadi rahasia umum “bagi-bagi” proyek. Sehingga jangan kaget kalau ada masyarakat yang mendapat perlakuan tidak adil oleh preman atau oleh oknum eksekutif atau oleh aparat penegak hukum di Manggarai tidak mungkin anggota DPRD-nya turun membela atau minimal mengadvokasi. Karena dalam pratiknya mereka bukan wakil rakyat tetapi pemburu rente.

Berikut sepenggal cerita permainan korupsi di daerah yang berkolusi antara pemborong, pejabat Pemda dan DPRD. ”Pertama-tama Pemda dan DPRD memutuskan APBD yang didalamnya terdapat proyek atau kegiatan pengadaan barang dan jasa. Berapa hari sebelum RAPBD disetujui DPRD, dokumen sudah beredar di kalangan pemborong, dan mulai kasak-kusuk dan mulai mengincar proyek A,B,C, D atau E dan sebagainya. Pendekatan mulai dilakukan oleh para pemborong kepada bupati, kepala dinas terkait, Kepala Bagian Penyusunan Program, pimpinan asosiasi atau siapa pun yang mampu mendapatkan proyek. Setelah APBD disetuju DPRD, bupati atau gubernur…atau orang kepercayaannya mengundang para asosiasi untuk mengadakan rapat tidak resmi. Lalu dibagi-bagilah proyek. Mana proyek murni dan mana proyek titik dipilah-pilah.Yang dimaksud proyek murni adalah proyek yang memang kebutuhan riil masyarakat berdasarkan kajian skala prioritas yang disusun berjenjang dari hasil musyarah pembangunan desa, musyarakat kecamatan sampai rakor di kabupaten yang dikoordinasikan oleh Bapeda. Sedangkan proyek titipan adalah proyek yang berdasarkan usulan pejabat atau anggota DPRD atau oknum tertentu yang pertimbangannnya bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat tetapi karena desakan pejabat tertentu atau anggota DPRD yang ingin memperoleh komisi atau fee besar dari proyek tersebut…” (Hadi Supeno, 2009: 53).

Langgengnya korupsi di daerah juga dilanggengkan dengan adanya forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Forum ini tidak ada gunanya untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari tindak pidana korupsi karena forum ini lebih bersifat mengakomodir persengkokolan di bawah payung atas nama keamanan, ketenteraman dan ketegangan masyarakat.

Di tingkat kabupaten Forum ini terdiri Bupati/Wakil Bupati, Ketua DPRD (pimpinan DPRD), Kapolres/Wakapres, Dandim, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) bahkan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Sehingga tidak heran, banyak sekali pejabat daerah tidak terjerat korupsi. Kalau pun ada hanya satu dua dan itu pun paling tinggi setingkat kepala dinas, sedangkan bupati / wakil bupati tidak tersentuh.

Harapan

Tidak bisa dipungkiri anggota DPRD melakukan korupsi, juga tidak terlepas dari dorongan masyarakat terutama masyarakat yang memilihnya. Dalam pikiran masyarakat, tugas anggota DPRD adalah mendatangkan uang kepada mereka. Setiap sang anggota Dewan hadir di kampung mereka, harus bisa menyembelih seekor hewan (kambing atau babi kalau di NTT) untuk makan bersama. Atau paling tidak sang anggota dewan harus bisa membantu keuangan atau bahan bangunan untuk membangun rumah ibadah, rumah adat dan sebagainya.

Sebaliknya sang anggota dewan tidak bisa “tegas” kepada masyarakat pemilihnya karena ia takut tidak terpilih lagi pada periode berikutnya. Maka karena itulah, yang dipikir sang anggota dewan adalah bagaimana melacurkan diri kepada bupati dan para kepala dinas supaya bisa mendapatkan proyek.

Untuk itu, saya sarankan, pertama, masyarakat harus tahu tugas dan fungsi anggota DPRD, yakni, (1) legislasi. Fungsi ini diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah bersama-sama bupati. (2) Fungsi anggaran. Fungsi ini diwujudkan dalam membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama bupati. (3) Fungsi pengawasan. Fungsi ini diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan Kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

Kedua, tugas masyarakat adalah mengontrol anggota DPRD agar menjalankan fungsi tersebut terutama fungsi kontrol. Masyarakat mengontrol dengan cara melapor ke aparat penegak hukum atau media massa atau pers semua tindakan anggota DPRD yang menyimpang.

Ketiga, anggota DPRD harus mengontrol setiap proyek yang dilaksanakan pemerintah, seperti penyaluran proyek harus merata, dikerjakan dengan benar. Tidak boleh ada mark up, dan sebagainya. Seluruh anggota DPRD jangan jadi penjilat bupati atau wali kota !

Keempat, seluruh anggota DPRD harus paham fungsi dan tugas serta wajib menjalankan fungsi dan tugas yang sudah digariskan undang-undang. Setiap anggota DPRD terpilih harus menghilangkan motivasi menjadi anggota dewan untuk menjadi kaya. Setiap anggota dewan harus memikirkan bagaimana agar daerah maju.

Kelima, tugas lain untuk semua anggota DPRD terpilih adalah mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum agar memberantas penyakit masyarat di daerah seperti perjudian. Supaya bisa mengontrol pemerintah dan aparat penegak hukum dalam hal judi ini, anggota DPRD-nya harus tidak berjudi (anti judi).

Di NTT terutama di Manggarai Raya, banyak sekali Aparatur Sipil Negera (ASN) dan anggota DPRD rajin berenang dalam perjudian. Di Manggarai Barat seorang mantan narapidana kasus judi juga terpilih menjadi anggota DPRD Pemilu 2019 ini. Ya, ini tentu memprihatinkan. Namun, kita berharap Polri tetap tegas hal yang satu ini.

Kepada seluruh caleg yang terpilih dan keluarganya, jangan terlalu eforia dalam kemenangan. Kepada yang kalah, janganlah bersedih, karena kekalahan hanyalah kemenangan yang tertunda. Kalau benar-benar ingin membangun daerah, kumpulkan “tenagamu”, maju lagi kesempatan berikutnya. Selamat !!

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *