Usul Refredum Aceh Sama dengan Tindakan Makar
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Pujakessuma) Nusantara, Suhendra Hadikuntono, menyatakan, organisasinya menolak keras ide referendum Aceh seperti yang dilontarkan mantan Wakil Gubernur Aceh yang juga mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati. Wacana memisahkan diri dan NKRI melalui referendum adalah makar, sehingga kita tolak,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (1/6/2019).
Secara yuridis, kata Suhendra, ide referendum Aceh tidak memiliki pijakan, karena sejumlah aturan yang bisa menjadi landasannya sebagaimana referendum Timor Timur telah dicabut, misalnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) RI Nomor 8 Tahun 1998 yang isinya mencabut TAP MPR RI No 4 Tahun 1993 tentang Referendum, dan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1999 yang mencabut UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. “Jadi isu referendum di dalam hukum positif di Indonesia sudah tidak relevan lagi,” jelas pendiri Hadiekuntono Institute (Reseach-Intelligent-Spiritual) ini.
Di pihak lain, kata Suhendra, ide referendum Aceh itu bisa ditafsirkan sebagai ajakan makar atau memisahkan diri dari NKRI, sehingga pelakunya bisa dijerat dengan hukuman mati.
Sebagaimana disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Suhendra, makar punya beberapa arti, yakni akal busuk atau tipu muslihat; perbuatan atau usaha dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan sebagainya; dan perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah yang sah.
Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), lanjut Suhendra, makar adalah kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan makar, tegas Suhendra, diatur KUHP di Pasal 104, 107 dan 108. “Ancaman pidana terhadap penggerak makar adalah hukuman mati,” terangnya.
Secara politik, kata Suhendra, sebagai bagian dari demokrasi, ide referendum itu sah-sah saja, namun secara yuridis tidak bisa diterapkan, karena segala aturan yang mengatur tentang referendum telah dicabut. “Pendek kata, wacana referendum Aceh itu inkonstitusional,” cetusnya.
Secara psikologis, tambah Suhendra, ide referendum yang dilontarkan Muzakir Manaf tidak lebih dari manifestasi atas kekecewaannya terhadap hasil Pemilu 2019, baik pemilihan umum legislatif maupun pemilihan presiden. “Calon presiden yang dia dukung kalah, sehingga kecewa,” tukasnya.
Di pemilu legislatif, masih kata Suhendra, perolehan suara Partai Aceh yang dipimpin Muzakir Manaf terus mengalami penurunan. Pada Pemilu 2009 saat pertama kali ikut pemilu, Partai Aceh mandapat 33 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Pemilu 2014 mendapat 29 kursi, dan Pemilu 2019 ini tinggal 18 kursi.
Suhendra juga menyoroti kebijakan Presiden BJ Habibie pada 1999 yang mengizinkan referendum Timor Timur yang ia nilai keliru, karena hanya menyerahkan nasib wilayah yang kini menjadi negara tersendiri dengan nama Timor Leste itu hanya kepada rakyat Timor Timur, bukan kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. “Kalau nasib wilayah provinsi diserahkan hanya kepada rakyat provinsi masing-masing, ego kedaerahan akan muncul, sehingga Aceh pun bisa demikian, nasibnya akan seperti Timor Timur yang lepas dari Indonesa. Semestinya referendum untuk sebuah wilayah itu melibatkan seluruh rakyat Indonesia,” urainya.
Ia mengatakan, teori global paradoks di mana di era globalisasi ini ada kecenderuangan masyarakat justru ingin menjadi entitas yang lebih kecil dan eksklusif berdasarkan politik identitas seperti suku, agama, dan wilayah.
|