Kapolri Harus Serat Pelaku Human Trafficking ke Meja Hijau
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Sampai saat ini masih banyak pelaku perdagangan manusia (human trafficking) yang tidak tersentuh hukum. “Yang ditangkap umumnya hanya sopir, sedangkan pimpinan perusahaan perdagangan manusia sulit tersentuh hukum. Mereka sepertinya menyuap oknum aparat,” kata Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa.
Gabriel mengatakan itu dalam diskusi virtual dengan tema,”Kupas Tuntas Kasus Human Trafficking yang Mengeksploitasi Manusia sebagai Komoditas”, Sabtu (21/8/2021).
Gabriel menyebut sejumlah kasus perdagangan manusia yang melibatkan petinggi perusahaan seperti ada sebuah kasus di Nusa Tenggara Timur (NNT). Seorang polisi yang membongkar dugaan kejahatan perusahaan yang bersangkutan justru sempat dipenjara oleh Polda NTT, namun pihak perusahaannya malah tidak.
Selain itu, ada kasus human trafficking yang sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya tahun 2019, namun sampai sekarang tidak jalan. “Saya minta pihak Polda Metro Jaya segera tuntaskan laporan kami,” kata dia.
Ia mengatakan, pihaknya melaporkan kasus calon pekerja migran dari Kalimantan Barat yang diiming-iming akan dinikah orang kaya di Tiongkok.
Namun, ketika sampai di Tiongkok ternyata dijadikan sebagai budak dan pekerja seks. “Pak Kapolri mohon control kinerja anak buahnya dalam menindaklanjuti kejahatan seperti ini,” kata dia.
Direktur S2P2 Kawasan Amerika dan Pasifik, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Servulus Bobo Riti mengatakan, sampai saat ini perdangan manusia berkedok pengiriman pekerja migran Indonesia masih marak.
Dalam satu tahun terakhir ini, kata dia, BP2MI selamatkan 800-an calon PMI yang siap diberangkatkan secara ilegal ke sejumlah negara. “Terduga pelaku kami sudah laporkan ke Mabes Polri, dan penyelidikan masih berlangsung,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Servulus mengatakan, pemerintah daerah terutama Nusa Tenggara Timur (NNT) secara konseptual sudah sangat bagus, namun dalam pelaksanaan di lapangan belum dilakukan.
Menurut Servulus banyaknya orang NTT termasuk Indonesia umumnya menjadi PMI di negara orang seperti Malaysia karena ada factor pendorong yakni kemiskinan ekonomi, dan factor penarik karena banyak kebutuhan tenaga kerja di negara tertentu seperti Malaysia dan negara-negara Arab.
Agar kemiskinan di daerah terutama daerah NTT berkurang bahkan hilang, kata dia, pemerintah daerah harus menciptakan lapangan pekerjaan. Selain itu mendidik dan melatih penganggur supaya memiliki keahlian sesuai potensi yang berada di daerah.
Servulus meminta agar pemerintah bangun Balai Latihan Kerja (BLK) dan memanfaatkannya. Menurut Servulus banyak BLK di NTT tidak dimanfaatkan tetapi justru jadi kandang kambing dan sapi. “Ini miris sekali,” kata dia.
Sementara penulis buku,”Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI”, Siprianus Edi Hardum, yang ikut berbicara dalam acara yang diselenggarakan Serikat Pemuda NTT itu, mengatakan, masih maraknya perdagangan manusia berkedok pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) karena belum tegaknya hukum.
Selain itu, kata Edi yang sudah mendatangi sejumlah negara penempatan PMI ini terlalu banyak yang terlibat dalam mengambil untung pengiriman TKI secara secara melangar peraturan perundang-undangan.
Pihak-pihak yang diduga terlibat itu, kata Edi, adalah oknum dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), oknum-oknum kepala dinas tenaga kerja kabupaten dan kota, oknum petugas imigrasi, oknum polisi dan oknum TNI serta oknum dari perusahaan penyalur PMI atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).
“Selama masih banyaknya oknum dari sejumlah lembaga pemerintah dan aparat penegak hukum bekerja sama dengan PJTIK nakal, maka sebagusnya apa pun peraturan perundang-undangan, maka kasus human trafficking sulit diberantas atau hilang dari bumi Indonesia,” kata wartawan senior ini.
Edi menyayangkan sampai saat ini masih marak pengiriman PMI illegal. Maraknya pengiriman PMI illegal, kata dia, berarti amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI tidak jalan.
Beberapa hal penting dalam UU tersebut, yakni, pertama, dibentuk Desa Migran Produktif (Desmigratif). Program Desmigratif ini sebenarnya sudah dijalankan Kemnaker sejak 2016.
“Namun program ini sepertinya kurang efektif, buktinya masih maraknya calon PMI ilegal yang digerebek BP2MI dan Kemnaker sendiri,” kata dia.
Kedua, adanya desentralisasi pelayanan calon PMI dan PMI. Banyaknya calon PMI ilegal dan PMI ilegal di luar negeri program desentrasasi ini tidak jalan.
Ketiga, Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu (LP2T) yang dibangun di sejumlah ibu kota provinsi dan kabupaten seperti di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), di Indramayu, Jawa Barat. “LP2T ini sampai saat ini sepertinya kurang maksimal juga,” kata alumnus S2 Ilmu Hukum UGM ini. [TVP/RH]