Ketua Umum IKPI: Judul RUU KUP Harus Disesuaikan Kembali
Jakarta, Topvoxpopuli.com.com – Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengapresiasi dan menyambut baik terhadap Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini masih dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Namun sebagai mitra strategis Direktorat Jenderal Pajak, IKPI wajib dan berhak memberikan sejumlah masukan terkait RUU KUP tersebut.
RUU KUP yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah bersama DPR, tidak hanya berisi substansi materi tentang perubahan UU KUP itu sendiri, namun juga terdapat UU Pengampunan Pajak, perubahan UU PPh, perubahan UU PPN, perubahan UU Cukai, dan UU Pajak Karbon.
Ketua Umum IKPI, Mochamad Soebakir mengatakan, judul RUU KUP harus disesuaikan kembali, karena di dalamnya juga termasuk UU Pengampunan Pajak, perubahan UU PPh, perubahan UU PPN, perubahan UU Cukai dan UU Pajak Karbon. Hal ini guna terjadi harmonisasi antara judul Undang-Undang dengan materi muatan di dalamnya.
“Pasal 20A, disarankan untuk bantuan yang diberikan atau bantuan yang dimintakan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada negara mitra perlu dipertegas dan dibatasi hanya terhadap utang pajak yang belum kedaluwarsa penagihannya,” katanya, Jakarta, Jumat (27/8).
Pelaksanaan penagihan hendaknya harus sesuai dengan UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kemudian, Pasal 27, ketentuan pengaturan sanksi denda 100 persen dalam Pasal 27 ayat (5d) dan ayat (5f) disarankan untuk dihapus, karena Wajib Pajak yang mencari keadilan tidak sepatutnya dikenakan sanksi denda.
“Namun jika tetap ingin dipertahankan, maka demi keadilan, Wajib Pajak juga diberikan imbalan atas kesalahan fiskus dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Besarnya imbalan dan persyaratannya sama persis dengan ketentuan dalam pengenaan sanksi denda,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan memaparkan, pada pasal 27, khususnya terkait ketentuan pengaturan sanksi denda 100% dalam Pasal 27 ayat (5d) dan ayat (5f) disarankan untuk dihapus, karena wajib pajak yang mencari keadilan tidak sepatutnya dikenakan sanksi denda.
Namun jika tetap ingin dipertahankan, maka demi keadilan, wajib pajak juga diberikan imbalan atas kesalahan fiskus dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Besarnya imbalan dan persyaratannya sama persis dengan ketentuan dalam pengenaan sanksi denda.
“Kalau dari kami, usulannya ini tidak perlu dikenakan 100%. Toh ini juga upaya hukum yang luar biasa bagi wajib pajak dalam mencari keadilan,” kata Ruston Tambunan dalam diskusi panel yang menjadi rangkaian kegiatan ulang tahun IKPI ke-56, Jumat (27/8/2021).
Terkait pasal 32A, disarankan khusus untuk wajib pajak orang pribadi tidak perlu ditunjuk sebagai pemotong dan pemungut pajak, karena hal ini akan membebani administrasi wajib pajak orang pribadi, kecuali wajib pajak orang pribadi yang memilih menyelenggarakan pembukuan atau diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
“Kemudian pengaturan penunjukan pemotong pajak disarankan diatur dalam UU PPh dan pengaturan penunjukan pemungut PPN disarankan diatur dalam UU PPN,” kata Ruston.
Berikutnya pasal 37B s.d. 37I yang mengatur tentang UU Pengampunan Pajak. Guna keberhasilan program pengampunan pajak ini, menurut IKPI perlu memberikan fasilitas seperti yang telah diberikan dalam Pasal 11 jo Pasal 15 jo Pasal 21 UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengampunan Pajak.
Perlu juga penegasan atas perlakuan untuk harta yang diperoleh sebelum 1 Januari 1985
dan mekanisme untuk masuk ke sistem perpajakan agar dapat dikontrol oleh Direktorat Jenderal Pajak.
“Untuk pasal 44, disarankan untuk dihapus karena penangkapan telah diatur dalam KUHAP dan penyitaan telah diatur dalam UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,” jelasnya.
Berikutnya terkait pasal 44B, dalam mengutamakan ultimum remedium, penghentian perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan, disarankan agar membebaskan juga dari sanksi pidana denda, namun tetap diharuskan untuk membayar denda pajak yang seharusnya terutang ditambah dengan sanksi denda sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan.
Label pidana dalam putusan hakim berupa pidana denda menurutnya dapat merusak reputasi pengusaha dan akan dapat berimplikasi pengusaha tersebut tidak mempunyai prospek bisnis yang baik ke depannya.
Rasio Pajak
Sementara Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga, dalam acara yang sama mengatakan, rasio pajak di Indonesia masih terbilang rendah. Hanya 9,76% itu sudah termasuk bea cukai dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Hestu Yoga Saksama menilai angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan tax ratio di berbagai negara maju seperti di Eropa yang mencapai 20% – 30%.
Idealnya tax ratio di Indonesia di level 18%. Namun ada kemungkinan potensi pajak ini tidak bisa digali karena adanya underground ekonomi atau pelanggaran yang tidak terdeteksi.
“Paling tidak jika realistis tax ratio bisa 14,4%, nah itu yang mau kita kejar,” kata Hestu dalam acara diskusi virtual, Jumat (27/8/2021).
Hestu menjelaskan banyak tantangan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menarik pajak ini. Misalnya untuk penarikan PPh banyak wajib pajak yang melaporkan rugi di SPT sudah terjadi sejak 2012 lalu.
Kemudian juga banyak WP yang melapor rugi 5 tahun berturut-turut dan jumlahnya terus meningkat. Lalu banyak juga WP badan yang menggunakan skema penghindaran pajak, sementara di sisi lain Indonesia belum memiliki instrumen penghindaran pajak yang komprehensif.
Sedangkan dari sisi PPh orang pribadi dalam lima tahun terakhir untuk pajak yang di atas 30% sangat kecil yaitu 1,42%. “Kita lihat di media banyak jumlah orang kaya bertambah, tapi melihat yang terjadi (pajaknya) tidak seperti itu,” jelas dia.
Kemudian dari PPN, memang Indonesia tidak terlalu buruk dari kinerja PPN ini. Indonesia sendiri bisa mengumpulkan 63,58% dan ruangnya masih cukup lebar.
Tantangan berikut adalah, Indonesia masih terlalu banyak memiliki pengecualian atas barang dan jasa. Saat ini ada 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa. Lalu terlalu banyak fasilitas PPN yang dibebaskan alias tidak dipungut.
Hal ini menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB. Selanjutnya tarif PPN 10% dinilai sangat rendah dari tahun 84 tarif PPN 10% tidak pernah berubah. Rata-rata negara di dunia tarifnya sudah 15,4% secara bertahap. 9TVP/David]