Dinamika Etika dan Kekuasaan Pipres 2024 Atas Kesaksian Franz Magnis-Suseno
Oleh: Jeannie Latumahina, Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak ( RPA ) Partai Perindo
DALAM peta politik Indonesia yang terus berubah, sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 telah menjadi panggung penting bagi para pemangku kepentingan. Di tengah-tengah persidangan yang penuh dengan debat hukum yang mendalam, kesaksian dari Franz Magnis-Suseno, seorang filsuf dan teolog yang dihormati, menarik perhatian karena tidak hanya menyoroti aspek teknis dari sengketa Pemilu, tetapi juga mengangkat isu etika dan moralitas dalam politik.
Romo Magnis, dengan keberaniannya, mengkritik penggunaan bantuan sosial (bansos) dalam kampanye Pemilu, yang ia anggap sebagai pencurian dari hak rakyat untuk memilih secara adil dan bebas dari pengaruh. Kesaksiannya menimbulkan diskusi tentang batasan antara kegiatan pemerintahan dan politik elektoral.
Lebih lanjut, Romo Magnis menyuarakan kekhawatiran terhadap perilaku kekuasaan yang mirip dengan pimpinan mafia, di mana Presiden yang menggunakan kekuasaannya demi keuntungan sendiri atau keluarganya adalah tindakan yang merendahkan martabat demokrasi.
Beliau menegaskan bahwa presiden harus bertindak demi keselamatan semua, bukan hanya mereka yang memilihnya, dan bahwa segala kesan bahwa Presiden memakai kekuasaan demi keuntungan sendiri atau keuntungan keluarganya adalah hal yang fatal.
Dalam sidang yang berlangsung, Romo Magnis juga menjabarkan lima pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh salah satu kubu dalam pemilu, menyoroti pentingnya etika dalam politik dan bagaimana pelanggaran tersebut dapat menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Di usia 87 tahun, Romo Magnis tetap aktif berkarya dan menyuarakan pemikirannya. Dedikasi dan kecintaannya terhadap Indonesia tercermin dalam berbagai karya dan pemikirannya yang mencerminkan realitas sosial dan budaya bangsa. Kesaksiannya di MK menjadi bukti komitmen seumur hidupnya terhadap nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Sidang MK terkait Pilpres 2024 ini menjadi momen penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Kesaksian dari tokoh-tokoh seperti Franz Magnis-Suseno memberikan perspektif yang mendalam tentang bagaimana pemilu di Indonesia dapat dan seharusnya dilaksanakan.
Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk merefleksikan dan memperbaiki sistem pemilunya, memastikan bahwa setiap suara dihitung dengan adil dan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mempengaruhi masa depan negaranya.
Dalam konteks ini, pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang “cawe-cawe” dalam Pilpres 2024 telah menimbulkan diskusi tentang nepotisme dan etika bernegara. Istilah “cawe-cawe” yang diucapkan Jokowi saat bicara tentang Pilpres 2024 diartikan sebagai ikut campur dalam hal tertentu. Meskipun Jokowi menegaskan bahwa cawe-cawe yang dimaksudnya masih dalam koridor aturan dan tidak akan melanggar Undang-Undang, pakar hukum tata negara menyatakan bahwa campur tangan tersebut melanggar etika bernegara.
Penggunaan dana bantuan sosial, yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Sosial, menjadi topik penting dalam diskusi ini. Program Keluarga Harapan (PKH) adalah contoh dari program pemberian bantuan sosial bersyarat yang ditujukan untuk membantu keluarga miskin dan ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat PKH.
Program ini dirancang untuk memberikan akses kepada keluarga miskin, terutama ibu hamil dan anak, untuk memanfaatkan berbagai fasilitas layanan kesehatan dan pendidikan yang tersedia di sekitar mereka. Namun, ketika dana tersebut digunakan untuk tujuan politik, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan akuntabilitas dalam penyaluran bantuan sosial.
Berikut adalah lima pelanggaran etik berat yang disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno dalam sidang MK: pertama, pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden. Romo Magnis menilai bahwa pendaftaran putra sulung Presiden Jokowi sebagai cawapres merupakan pelanggaran etik berat.
Kedua, keberpihakan Presiden Joko Widodo dan abuse of power menurut Romo Magnis, dengan keberpihakan Presiden Jokowi dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap paslon tertentu melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dipegang oleh seorang presiden.
Ketiga, penggunaan Dana Bantuan Sosial oleh Kementerian Sosial disoroti ikut Romo Magnis bahwa penggunaan dana bantuan sosial, yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Sosial untuk membantu keluarga miskin, tidak boleh digunakan untuk tujuan politik.
Keempat, pelanggaran terhadap Etika Pencalonan ditegaskan oleh Romo Magnis bahwa pencalonan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etik juga merupakan bagian dari pelanggaran etik berat itu sendiri.
Kelima, pelanggaran terhadap netralitas dan independensi Presiden, dikritisi Romo Magnis sebagai tindakan Presiden yang telah memakai kedudukannya, kekuasaannya, untuk memberi petunjuk pada aparatur sipil negara, polisi, militer, dan lain-lain, guna mendukung salah satu paslon dengan memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, sebagai pelanggaran etik yang berat.
Merujuk dari kesaksian Romo Magnis, tentunya kita diingatkan akan tanggung jawab kolektif kita sebagai warga negara dalam menjaga integritas dan kehormatan proses demokrasi. Kesaksian Franz Magnis-Suseno bukan hanya sekadar refleksi dari masa lalu, tetapi juga sebuah panggilan untuk masa depan yang lebih cerah, di mana keadilan, transparansi, dan kebenaran menjadi pilar utama dalam membangun bangsa.
Semoga setiap langkah yang kita ambil, dan setiap keputusan yang akan diputuskan oleh sidang MK, sungguh diarahkan untuk kesejahteraan bersama dan keutuhan Indonesia yang kita cintai. Marilah kita memastikan bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama, dan setiap mimpi memiliki kesempatan yang sama untuk diwujudkan, dan bukan karena tujuan melanggengkan kedudukan serta kekuasaan yang dimilikinya.
Tentunya kita semua berharap Keputusan Sidang MK terkait Pemilu 2024, akan sungguh mencerminkan tujuan daripada agenda gerakan Reformasi 98 untuk menjaga nilai demokrasi Indonesia dari bahaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).xx