March 12, 2025

Paradoks Joko Widodo: Belajar dari Politik Indonesia

0

Oleh:ย  ๐นr๐‘Žn๐‘  ๐ด ๐ทj๐‘Žl๐‘œn๐‘”

Joko Widodo dicintai dan dibenci selama satu dekade. Hasil Pilpres 2014 membuktikan hal itu. Lima tahun kemudian, tahun 2019, mendapatkan suara terbanyak dengan sedikit ketegangan berdarah pasca penetapan hasil. Dalam perbandingan, yang benci dan sayang, selisihnya tidak begitu besar.

Kelompok satunya memandang Jokowi sebagai gambaran orang kecil, bukan dari dinasti pendiri negara, dan tentu saja toleransi-nya Nusantara dengan Islam yang damai. Ada juga yang memujinya setinggi Soekarno, putra sang fajar dari Solo. Apalagi dirinya diusung dan dikitari kader-kader banteng yang militan, dan juga aktivis-intelektual sipil yang mencari kedudukan dalam kekuasaan.

Satunya lagi, menemukan pada Jokowi sesuatu yang kosong, dipaksakan ke depan panggung yang telah dipersiapkan rapi, menjadi sosok yang bukan dirinya. Bukan karena riwayatnya di luar sejarah lahir besarnya bangsa tetapi kecepatan merangkak ke pusat kuasa dianggap tidak biasa. Mengikuti ucapan Prabowo 2014, Jokowi adalah presiden boneka.

Joko widodo, alias Mulyono, sebagai berhala politik, tidak terpisah dari percakapan tentang Megawati dan Prabowo. Juga dengan SBY sampai pada tingkat tertentu. Mereka adalah tiga wajah kekuatan politik Indonesia pasca Reformasi. Tentu dengan cerita persekutuan dan pengkhianatan, yang berulang kali terjadi, di antara mereka.

Megawati dan Jokowiย  ibarat cerita tragedi, dari cinta menjadi benci. Diawali gelak tawa Puan Maharani, dan diakhiri isak tangis Hasto. Lain halnya dengan Prabowo, seperti parodi atau komedi, dari benci yang tak terbendung, lalu rindu meniru sampai teriakan Hidup Jokowi. Sementara SBY punya kisah baperan sendiri. Sebagai parpol oposisi, diganggu Moeldoko, kepala Staf Kepresidenan Jokowi dan nyaris bubar. Lalu dengan berat hati bergabung dengan Jokowi dalam Kabinet Merah Putih-nya Prabowo-Gibran setelah merasa dikhianati Nasdem-nya Surya Paloh, PKS dan Anies Baswedan.

๐“๐ž๐ซ๐›๐ž๐ง๐ญ๐ฎ๐ค๐ง๐ฒ๐š ๐๐ž๐ซ๐ก๐š๐ฅ๐š ๐๐จ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ค

Joko Widodo adalah proksi, semacam cermin, aset bersama, untuk saling bertarung antara Mega dan Prabowo setelah bubarnya MegaPro 2009. Bagi Prabowo, ada janji yang dilanggar namun bagi Mega janji itu tak berlaku lagi. Ini tentang Gerindra mendukung Jokowi-nya PDIP bersama Ahok, dan ketum parpol berlambang kepala garuda itu akan diusung Teuku Umar sebagai capres.

Pada Pilpres 2014, Jokowi yang didampingi Jusup Kalla adalah Megawati melawan Prabowo dengan cawapres Hatta Rajasa besan SBY. Abaikan parpol penggembira lainnya, Jokowi pendatang baru keluar sebagai presiden terpilih bersama Kalla yang tidak diusung Golkar yang sarat konflik internal. Narasi kunci selama pilpres antara lain birokrasi bersih, pemerintahan populis dan membangun dari desa. Termasuk isu antagonis seperti pemimpin elit versus pemimpin rakyat, juga isu HAM, dan toleransi sebagai predikat yang dilekatkan pada Jokowi-Ahok dua tahun sebelumnya.

Di sana Jokowi terhadirkan sebagai kisah sukses otonomi daerah warisan good governance-nya 10 tahun SBY dan keislaman Nusantara di tengah gencarnya radikalisme dan upaya de-radikalisasi. Sama seperti Ahok mantan Bupati Belitung Timur, sang presiden terpilih identik dengan rajin berkerja, tak banyak bicara, bersih dari KKN dan merakyat. Sebagai kontras, di mata pemuja Jokowi, Prabowo dihubungkan dengan banyak bicara, militeristik, pelanggar HAM, dan pewaris Orde Baru-nya Soeharto.

Jokowi sebagai simbol penjaga keberagaman menjadi unsur pemberhalaan yang paling merusak ikatan sosial. Periode 2016-2019, Islam dan nasionalisme dipertentangkan sedemikian rupa, yang memuncak pada pilkada Jakarta 2017. Dua peristiwa penentu, kasus hukum penistaan agama oleh Ahok dan aktivitas Gerakan 212. Muncul dua kekuatan reaksioner yang paling dibenci Sukarno selama masa Demokrasi Parlementer, yaitu Islam-fobia dan nasionalis-fobia, selain komunis-fobia.

Tidak saja Islam dikontraskan dengan nasionalisme, tetapi lebih dari itu, Islam sendiri dibelah menjadi dua, Islam Nusantara dan Islam Arab. Islam akhirnya mengalami rasialisasi, agama dihubungkan dengan ras, pribumi dan bukan pribumi. Ini pun paralel dengan China-aseng dan kristiani-minoritas yang dianggap mengendalikan ekonomi Indonesia. Jokowi, bukan pemersatu, tapi antagonis atau pemecah, terhadap Islam Politik yang dianggap bukan Indonesia, bukan Nusantara.

Pilpres 2019 adalah puncak dari drama politik antara Megawati dan Prabowo. Jokowi ditampilkan sebagai populis yang nasionalis sementara Prabowo pembawa suara umat Islam, mayoritas yang terzolimi. Benturan narasi dan aksi-aksi yang menegangkan, bahkan sarat kekerasan dan campur tangan negara, kerap terjadi. Dengan berat hati Prabowo mengakui kekalahannya. Sementara bagi pemuja Jokowi, dengan pembuktian hasil di kotak suara, sang presiden adalah segala-galanya, mendekati hakikat dewa-dewa. Selalu benar, tak bisa salah dan tak bisa dipersalahkan.

Namun semuanya berubah ketika Prabowo bergabung dalam pemerintahan Indonesia Maju-Jokowi dan Maโ€™ruf Amin. Megawati dan PDIP berpuas diri, merasakan puncak kesuksesan dari sejarah kepartaiannya, dalam kabinet tambun, dengan tersisa Demokrat dan PKS di luar pagar istana.

Inilah momen mati suri demokrasi. Jokowi menjadi berhala bagi segala hal. Antagonisme Islam dan nasionalisme tidak lagi beredar di Istana dan Senayan. Tak peduli dengan kekecewaan pendukung garis kerasnya, Prabowo mulai mengurus pertahanan negara. Kembali memperlihatkan diri sebagai nasionalis, anasir ideologis yang dikompromikannya sejak 2014 sampai 2019. Kekuatan sipil kritis dibungkam dan dikriminalisasi demi kelancaran UU sapu jagat Cipta Kerja.

Setelah pandemi Covid 19 berakhir 2022, makin tersingkap istana dikuasai tentakel oligarki. Luhut, Bahlil, Airlangga, Zulhas, Pratikno dan Prabowo sendiri jadi pemain utama, untuk urusan industri ekstraksi, industri pertanian, ekonomi digital dan industri pertahanan. Merekalah yang sesungguhnya memimpin negara. Sekaligus menyiapkan segala hal untuk aksi cawe-cawe 2023-2024.

Sorot mata rakyat diarahkan pada kehebatan sang berhala, berubah dari people president menjadi global player. Jokowi plesiran ke berbagai negara. Katanya untuk misi dunia damai dan menggaet investor asing. Tanah dan air Indonesia dijual ke mana-mana, tapi sedikit yang berminat. Xi Jinping dan investor China jadi andalan, sementara IKN dan PSN lain akhirnya digarap penuh sembilan naga dan BUMN sendiri.

Sebagiannya sekarang mangkrak setelah tanah warga dirampas atau dibeli murah. Food estate jadi tragedi nasional, industri manufaktur kalah bersaing dan orang miskin kota meningkat tajam. Namun Prabowo tak mengakui semua kegagalan Jokowi. Dia tak peduli karena bagi dirinya, justru pemberhalaan Jokowi dan kebangkrutan negara adalah dua prasyarat utama dirinya menjadi presiden setelah sepuluh tahun menanti.

Setidaknya dari hasil sirekap di kotak suara cawe-cawe, Prabowo mengalahkan Megawati dengan merebut Jokowi dari kandang banteng. Juga mengalahkan para pendukung setianya pada dua pilpres sebelumnya yang mencari suaka politik pada sosok Anies Baswedan.

๐‡๐ข๐ค๐ฆ๐š๐ก ๐๐ž๐ฆ๐›๐ž๐ฅ๐š๐ฃ๐š๐ซ๐š๐ง

Berhala politik bernama Jokowi sedang dihancurkan hari ini, tapi Prabowo menaungi guru politiknya itu dengan otoritas presidensialisme. Teriakan Hidup Jokowi pada acara HUT Gerindra, serta tunduk sujud pada sang guru dalam peresmian Danantara, adalah peristiwa penting dari drama politik di antara keduanya bersama Megawati yang belum selesai.

Danantara adalah sebuah pertunjukan parodi kekuasaan. Jokowi, yang bukan lagi simbol rakyat itu, adalah sejenis parasit politik yang dibutuhkan oleh metabolisme kekuasan dalam koalisi tambun. Dirinya hadir sebagai gladiator di antara gladiator utama, ketum Gerindra dan penasihat Demokrat. Tentu bersama Megawati, petarung terpenting, di luar Istana yang merasa telah dikhianati dan kembali disudutkan dengan peristiwa Retret kepala daerah. Peristiwa terkini yang membenturkan Teuku Umar dan Istana negara, juga mengecek soliditas internal partai banteng menjelang kongres.

Tersisa di balik runtuhnya berhala populis ini, adalah Jokowi sebagai tiga cerita sejarah politik Indonesia selama satu dekade.

Pertama, dirinya adalah kisah tragis dari berubahnya euforia otonomi daerah berkuasa di pusat sampai kepada pemusatan kembali 2014-2025. Jokowi dibayangkan sebagai kisah sukses desentralisasi yang layak memerintah negara, tidak elitis dan memberdayakan desa, memperkuat daerah, wilayah perbatasan dan tertinggal. Namun di akhir pemerintahan oligarkisnya otoritas kembali terpusat, dengan segala komplikasi hukum, ruang gerak fiskal dan politik pembangunan.

Persis di situ kehadiran Gibran, sebagai Walikota Solo, adalah kisah yang sama seperti bapaknya, hanya saja dengan prasayat yang berbeda. Jokowi digerakkan oleh cerita sukses desentralisasi, sementara Gibran digendong ke istana wapres dengan tangan-tangan kekuasaan presiden, pamannya hakim MK dan tukar guling bersama Prabowo.

Kedua, Jokowi adalah metafor tentang Islam dan nasionalisme yang dengan sengaja dijadikan menu politik elit dan polarisasi elektoral 2014-2019. Pancasila, ideologi yang sudah jelas dan bulat ini, dijadikan aset politik, diperebutkan dalam duel antara narasi keumatan dan kewarganegaraan, untuk mendefenisikan apa itu identitas Indonesia, identitas bangsa.

Ketiga, Jokowi tiada lain adalah vanishing mediator, suatu proksi politik yang cepat atau lambat menghilang, tak dapat berdiri sendiri selain disebabkan oleh tidak terhasilkannya kesepakatan politik antara Megawati dan Prabowo. Jokowi tak lebih dari obyek yang diperebutkan, tujuh tahun pertama bagi Megawati dan empat tahun berikutnya bagi Prabowo, setidaknya sampai hari ini.

Sebagai vanishing mediator bagi pewaris Sukarno dan Soeharto ini, segala yang banal secara etis dan eksepsional secara politik terpaksa harus dilakukan. Konstitusi dibuat darurat, bisa diperalat, marwah kepresidenan dicemari dengan cawe-cawe, dan garis batas antara sipil dan militer dilanggar dengan sengaja dan terencana.

Sekarang Jokowi, naked emperor, sang raja tiran yang telanjang itu, memperlihatkan aksi-aksinya dari dalam kintal kekuasaan, yang telah dipersiapkan selama akhir periode kedua. Dia tak punya parpol tetapi punya jasa, rahasia dan kaki tangan taipan dan partai cokelat. Aksinya terus meneror Megawati, tiada lain karena dirinya tahu persis ada faksi-faksi berseteru di kandang banteng dan ada kejahatan bersama yang siap dicicil ke KPK. Terpenting dirinya tetap mengendalikan sumber daya negara dan tentakel konglomerat.

Jokowi bukan inkarnasi rakyat lagi, tapi bagian dari pusat yang terpisah. Tiada yang lebih penting lagi selain memastikan Gibran dan keluarganya berakar pada bangunan istana, bukan gorong-gorong. Tentu sebagai benteng pertahanan terhadap kemarahan rakyat, perburuan PDIP dan perpecahan dalam koalisi yang gemuk, rakus dan terbiasa saling berkhianat.

Dalam kanibalisme politik ini, yang juga diciptakannya sendiri, Jokowi, kedua anaknya dan mantunya Bobby Nasution dapat terbunuh dalam gelanggang. Rencananya membuat partai barangkali sudah terlambat untuk para pemujanya yang telah sadar. Duduk manis dalam Danantara dan disanjung Bowo boleh jadi jaminan terkini yang menenangkan dirinya.

Jokowi tentu menikmati balas dendam antara Mega dan Prabowo. Sebagai oposisi, Mega tentu kehilangan sumber daya ekonomi, tetapi modal politiknya makin membesar dengan kemarahan rakyat dan demostrasi mahasiswa. Sementara bagi Prabowo, kehadiran Jokowi adalah ambiquitas, sikap tak jelas, yang diperlukan untuk bisa sepenuhnya mengendalikan pemerintahan. Jokowi akan ditinggalkan bilamana tekanan rakyat dan oposisi tak terbendung. Ini pun suatu perjudian yang harus terus-menerus dideteksi secara online dan di depan istana setelah kooptasi sosial dan akomodasi politik dilakukan.

Pada akhirnya masa depan politik Jokowi, sama halnya masa depan kepresidenan Prabowo, tidak sepenuhnya ditentukan oleh manuver di antara mereka sendiri. Apalagi, berada di dalam koalisi yang rentan tersebut, dengan ambisi masing-masing menuju pilpres 2029. Bersatunya PDIP dengan gerakan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil adalah ancaman politik yang paling mencemaskan istana. Ditambah lagi jika Anies Baswedan bergabung ke PDIP atau membentuk partai sendiri.

Pada momen hidup atau mati bagi kekuasaannya, Prabowo boleh jadi tidak bersedia berakhir seperti Soeharto bapa mantunya atau Sumitro bapaknya sendiri yang terusir ke luar negeri karena ikut mendukung Pemberontakan PRRI. Dia tak mau ditinggalkan sendirian. Karena itu, mengeluarkan Jokowi dari persekutuan jahat ini adalah penyucian diri dan pembelaan terakhirnya. Jika itu terjadi, maka Jokowi, berhala politik satu dekade, ambruk dengan sendirinya, menjadi catatan sejarah Indonesia. [Penulis adalah R๐‘’s๐‘’a๐‘Ÿcโ„Že๐‘Ÿ, C๐‘’n๐‘กe๐‘Ÿ ๐‘“o๐‘Ÿ ๐‘ƒe๐‘Žc๐‘’ ๐‘Žn๐‘‘ ๐‘†e๐‘u๐‘Ÿi๐‘กy S๐‘กu๐‘‘i๐‘’s].

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *