Bupati Manggarai Jangan Biarkan Upacara Adat Dilaksanakan, Sayangilah Nyawa Orang Manggarai
Ruteng, Topvoxpopuli.com – Banyak Upacara Adat/Ritus Adat yang dijalankan oleh orang Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satunya Upacara Penti/Hang Woja (syukur atas hasil panen) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budayanya.
Namun fenomena kuatnya keterikatan dan kepatuhan masyarakat Manggarai kepada adat justru berdampak pada besarnya pontensi transmisi virus.
Untuk itu, dalam situasi pandemic Covid-19 secara nasional semakin mencekam, maka pemerintah daerah harus tegas melarang pelaksanaan seluruh Upacara Adat yang mengumpul massa. Pemerintah jangan hanya bersifat mengimbau.
Penyataan ini disampaikan Dosen Filsafat Pendidikan Universitas Santu Paulus Ruteng, Manggarai, Mantovanny Tapung kepada Beritasatu.com, Kamis (1/7/2021).
Mantovany mengatakan ini selain sebagai bentuk respon dukungan atas pernyatan Bupati Manggarai, Hery G Nabit, mengenai “Pelaksanaan Upacara Adat agar Dipikirkan Kembali” di lawam Beritasatu.com, Selasa (21/6/2021), juga sebagai bagian simpulan riset sosialnya yang berjudul: “Potensi Munculnya Kerentanan Sosial Akibat Transmisi Covid-19 pada Upacara Adat dan Urgensi Pendidikan Kritis-Higienik di Manggarai”. Hasil riset sosial ini sedang dalam proses publikasi di Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI.
Upacara Adat yang dibuat oleh orang Manggarai, kata dia, memang penting untuk memelihara hubungan sosial-religius dan menjaga keseimbangan kehidupan.
Namun pada masa pandemi Covid-19, menjalankan upacara adat dengan mengadirkan dan mengumpulkan banyak orang, tentu akan berdampak negatif dan berpotensi mempercepat penularan virus.
“Berkacalah di India yang merayakan Upacara Keagamaan di Sungai Gangga yang akhirnya menewaskan banyak orang karena tertular virus. Demikian juga yang terjadi di banyak tempat di Indonesia terutama di Pulau Jawa,” kata dia.
Mantovanny menyebut sejumlah Upacara Adat di Manggarai.
Pertama, Ritus Teing Hang atau Beri Makan Lelulur dalam bentuk sesajen. Acara ini biasanya menghadirkan 20 – 30 orang, serta lamanya acara sekitar 5 – 6 jam.
Modus peluang transmisi dalam acara ini terjadi kontak fisik, percikan ludah, alat makan dan minum, hewan korban.
Kedua, Acara Kunduri atas Orang yang Meninggal Dunia atau Acara Keelas. Acara ini dihadiri sekitar 300 – 500 orang dari berbagai kampong, desa bahkan dari luar daerah sebagaimana banyaknya anggota tersebar mencari pekerjaan atau mencari peluang hidup.
Lamanya acara ini berlangsung antara 48 – 50 jama. Modus peluang transmisi dalam acara pasti kontak fisik, percikan ludah, alat makan-minum, hewan korban.
Ketiga, Acara Penti atau Hang Woja. Acara ini biasanya dihadiri 7.00 -1.000 orang dan umumnya tergantung banyaknya warga Gendang (rumah adat yang hadir). Acara ini berlangsung 72 – 80 jam. Modus peluang transmisi dalam acara pasti kontak fisik, percikan ludah, alat makan-minum, hewan korban.
Keempat, Acara Laki/Wai (Pernikahan Adat). Acara ini dihadiri sekitar 150 – 200 orang dan berlangsung 4 – 5 jam.
Modus peluang transmisi dalam acara ini adalah terjadi kontak fisik, percikan ludah, alat makan-minum, hewan korban, materi mahar (belis).
Menurut Mantovanny, mengumpulkan banyak massa dan menciptakan kerumunan saat melakukan ritus adat, agama dan acara keluarga seperti kumpul kope (kumpul uang) pernikahan, sambut baru, kelas, dan lain-lain pada massa pandemi bukan merupakan langkah yang bijak.
“Namun, karena upacara adat dan acara-acara lainnya sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya orang Manggarai, maka langkah penting yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan higienik kritis,” kata dia.
Cara untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan higienik kritis, kata dia, bisa dengan pendekatan lunak (soft approach) melalui himbauan dan kotbah di rumah-rumah ibadat, melakukan promosi dari rumah ke rumah, dari satu komunitas adat ke komunitas adat yang lain.
Tetapi bisa juga pendekatan yang keras (hard approach) dengan membuat dan menerapkan aturan hukum yang jelas sebagai rujukan dalam membuat sanksi bagi yang melanggarnya; atau secara berkelanjutan membuat patroli masker dan membubarkan kerumunan yang dianggap tidak perlu.
Selain itu, menurut Mantovanny tipikal masyarakat Manggarai adalah masyarakat peniru atau pemodel. Mereka baru mau melakukan sesuatu kalau para tokoh-tokoh publik adat, agama, akademisi dan pemerintah memberi contoh atau praktik baik (best practice) terkait dengan penerapan protokol kesehatan pada masa pandemi ini.
Jika ada tokoh-tokoh publik adat, agama, akademisi dan pemerintah seperti bupati dan anggota DPRD yang justru tidak memberi model yang baik, maka hal tersebut bisa memantik ketidakpatuhan sosial (social disobedience), bahkan mengarah pada sikap indiferensi sosial atau sikap acuh tak acuh pada masyarakat Manggarai. “Jadi kesadaran kritis higienik dan menjalankan prokes selama pandemi ini harus mulai dari para tokoh publik, sehingga masyarakat juga bisa meniru dan menjadikan sebagai rujukan berperilaku di tengah masyarakat dan keluarga,” kata dia.
Menurut Mantovanny, meskipun upacara adat tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Manggarai karena berbagai tujuan mulianya, namun bentuk kerumunan di masa pandemi Covid-19, sangat potensial mempercepat penularan virus.
Penularan virus Corona bisa melalui kontak anggota tubuh, percikan ludah, alat makan minum, hewan korban, barang mahar, dll. Bila tidak dibatasi dan dilaksanakan dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat, maka kegiatan upacara adat ini dapat menjadi klaster penyebaran virus yang baru.
Dengan meningkatnya eskalasi penyebaran virus ini, maka masyarakat potensial juga mengalami kerentanan sosial. Kerentanan sosial ini tampak pada tindakan irasional, kriminal, dan apatis.
Untuk itu, tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat untuk selalu menyadarkan masyarakat dengan membuat aturan, sosialisasi, promosi diseminasi dan pendidikan kritis-higienik tentang bahaya Covid-19 dan pentingnya mengikuti protokol kesehatan, seperti mengurangi kerumunan, menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.
Dengan pendidikan kritis-higienik ini, masyarakat Manggarai umumnya dan masyarakat adat khususnya, menyadari secara kritis bahwa terlibat dalam setiap acara adat merupakan bagian dari tanggung jawab sosial, tetapi menjaga kesehatan diri, keluarga dan lingkungan merupakan tanggung jawab etis kemanusiaan ketika masih ada di muka bumi ini.
Mantovanny menegaskan, sebagai sebuah hasil riset fenomenologis, tulisan ini masih belum cukup mendalam dan representatif. Penelitian ini membuka ruang untuk riset lebih lanjut, yang bisa mengritisi sekaligus menyempurnakan tulisan ini. [TVP/RH]