KPK Diminta Telusuri Kejanggalan Pengurusan Blokir Akses PT di Kemkumham
Jakarta, Topvoxpopuli.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menelusuri dugaan kejanggalan terkait biaya pengurusan blokir akses Perseroan Terbatas (“PT”) yang sangat besar di Direktorat Jenderal Adminsitrasi Hukum Umum (“Dirjen AHU”) Kementerian Hukum dan HAM RI. \
Dugaan kejanggalan ini terungkap dari fakta yang tertuang dalam gugatan perkara perdata dengan register Nomor 745/Pdt.G/2021/PN. Jkt. Pst. tanggal 01 Desember 2021 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Dalam materi gugatan tertulis dengan jelas soal hal itu. Jadi KPK perlu menelusuri,” kata Bonifasius Gunung, SH, kuasa hukum dr. Haji Prihandono, selalu tergugat dalam perkara itu dalam keterangan tertulisnya, Senin (31/1/2022).
Direktur PT Sasangga Banua Banjar (“PT SBB”), Sanjaykumar Mohan Pai selaku penggugat telah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap dr. Haji Prihandono selaku tergugat.
Dalam gugatannya, kata Boni, dijelaskan antara lain, bahwa untuk mengurus pemblokiran di kementerian Hukum dan HAM RI, penggugat telah mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sanjaykumar Mohan Pai melalui kuasa hukumnya Sri Joeliastoeti, S.H. beralasan bahwa karena akses PT SBB di Kementerian Hukum dan HAM RI telah diblokir atas permohonan dr. Haji Prihandono, maka seluruh biaya untuk membuka blokir tersebut harus dibayar oleh dr. Haji Prihandono kepada PT. Sasangga Banua Banjar.
Boni menegaskan, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemblokiran dan Pembukaan pemblokiran Akses Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkumham RI Nomor 19 Tahun 2017 tidak menentukan jumlah biaya administrasi pembukaan blokir akses PT oleh Menteri melalui Dirjen AHU.
Latar belakang
Bahwa atas gugatan dari dr. Haji Prihandono, kata dia, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan nomor: 600/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst. tanggal 17 April 2018, yang pada intinya menyatakan: (1) tidak sah, cacat, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum apapun setiap perubahan akta perseroan oleh PT. SBB; dan (2) menghukum PT. SBB untuk membayar seluruh kerugian materil sebesar Rp. 29.275.000.000,00 (dua puluh sembilan miliar dua ratus tujuh puluh lima juta rupiah).
Bahwa setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, dr. Haji Prihandono mengajukan permohonan pembatalan pencatatan akta dan pemblokiran akses nomor: Ist./V/2018 tanggal 31 Mei 2018 kepada Menteri Hukum dan HAM RI.
Oleh karena surat ini tidak ditanggapi, maka dr. Haji Prihandono mengajukan pengaduan tentang tindakan maladminsitrasi kepada Ombudsman RI tanggal 06 November 2018.
Bahwa pada 3 Desember 2018, Kementerian Hukum dan HAM RI mengeluarkan surat nomor: AHU.2.UM.01.01.4555, perihal: Pembatalan Surat Keputusan dan Surat Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan/atau Data perseroan PT. Sasangga Banua Banjar kepada Yulita Harastiati, S.H., Notaris di Bogor dan ditembuskan kepada dr. Haji Prihandono. Dari surat inilah diketahui bahwa permohonan yang diajukan oleh dr. Haji Prihandono ditolak.
“Bahwa pada saat yang bersamaan, yaitu 10 September 2018, PT. SBB mengajukan perlawanan terhadap putusan nomor: 600/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst. tanggal 17 April 2018, yang teregister nomor: 600/Pdt.Plw/2018/PN.Jkt.Pst,” kata Boni.
Dalam perkara perdata perlawanan ini, kata dia, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai sebagaimana Akta Perdamaian tanggal 12 Desember 2019 Nomor: 600/Pdt.Plw/2019/PN.Jkt.Pst.
Pada intinya, Akta Perdamaian tersebut berisi: (1) PT. SBB berkewajiban untuk membayar royalty kepada dr. Haji Prihandono sebesar USD 0,50/metric ton dari hasil produksi batubara; (2) PT. SBB wajib memproduksi batu bara sebanyak minimal 15.000 metric ton setiap bulannya terhitung sejak bulan April 2020; (3) jika PT. SBB tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka dr. Haji Prihandono berhak mencampuri urusan produksi dan penjualan batubara pada areal pertambangan PT. SBB.
Bahwa setelah tiba waktunya untuk berproduksi (April 2020), PT. SBB ternyata tidak menjalankan kewajibannya dengan alasan bahwa akses PT. SBB dalam status terblokir di Kementerian Hukum dan HAM RI. Pada bulan Mei 2020, PT. SBB meminta dr. Haji Prihandono untuk mengajukan surat kepada Menteri Hukum dan HAM RI agar peblokiran akses dibuka. Dengan itikad baik, dr. Haji Prihandono memenuhi permintaan PT. SBB agar mereka bisa segera bekerja.
Bahwa menurut keterangan PT. SBB sendiri dalam gugatannya, permohonan dr. Haji Prihandono ini tidak dikabulkan. Pemblokiran kemudian dibuka atas permohonan PT. SBB sendiri, yang untuk itu mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp 1.000.000.000,00.
Keberatan
dr. Haji Prihandono tentu saja sangat keberatan dengan tuntutan PT. SBB untuk membayar biaya pengurusan peblokiran sebesar Rp. 1.000.000.000,00 itu.
Fakta tentang adanya biaya ekstra untuk pengurusan pemblokiran sebesar Rp. 1.000.000.000,00 sebagaimana tertuang dalam gugatan tersebut, semakin menguatkan dugaan dr. Haji Prihandono terkait adanya dugaan ‘permainan’ di balik penolakan permohonan pemblokiran oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
“Pertanyaannya adalah: (1) jika benar Kementerian Hukum dan HAM RI telah memblokir akses PT. SBB atas permohonan dr. Haji Prihandono, mengapa Menteri Hukum dan HAM RI melalui Dirjen AHU justru meminta notaris yang ditunjuk oleh PT. SBB, yaitu Yulita Harastiati, S.H., Notaris di Bogor untuk mengajukan permohonan pembatalan akses? (2) mengapa tidak ada pemberitahuan secara resmi (lisan atau tulisan) kepada dr. Haji Prihandono mengenai adanya pemblokiran akses PT. SBB tersebut? (3) mengapa informasi adanya pemblokiran ini justru diketahui pada saat (April-Mei 2020) PT. SBB harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan Akta Perdamaian? (4) apakah hal ini justru mengonfirmasi adanya dugaan konspirasi antara PT. SBB dengan Kementerian Hukum Dan HAM RI untuk meghambat terwujudnya pemenuhan hak hukum dr. Haji Prihandono?,” kata Boni.
Sejumlah pertanyaan tersebut, kata Boni, haruslah dijawab oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.
Oleh karena itu, kata dia, dr. Haji Prihandono meminta KPK untuk menelusuri dugaan adanya tindak pidana penyuapan dan atau gratifikasi terkait pengurusan pemblokiran akses PT. SBB di Kementerian Hukum dan HAM RI. [TVP/HR]